Showing posts with label pidana. Show all posts
Showing posts with label pidana. Show all posts

Wednesday, 16 February 2022

Mengenal Alat Bukti dan Barang Bukti:

Mengenal Alat Bukti dan Barang Bukti:

Dalam proses penyeldikan dan penyidikan terhadap suatu tindak pidana maka alat bukti dan barang bukti memiliki peran yang sangat menentukan. Alat bukti adalah segala sesuatu yang terkait secara langsung maupun tidak langsung terhadap suatu peristiwa dan atau perbuatan dimana dengan alat bukti ini dapat dipergunakan sebagai dasar pembuktian atas suatu peristiwa dan atau perbuatan yang terjadi. Didalam KUHAP alat bukti yang sah terdapat pengaturannya didalam Pasal 184 yang menyatakan alat bukti yang sah ialah :

a. keterangan saksi;

b. keterangan ahli;

c. surat;

d. petunjuk;

e. keterangan terdakwa 

Sedangkan mengenai Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan. Selanjutnya mengenai barang bukti. Barang bukti menurut Perkap No.6 tahun 2019 adalah benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud yang telah dilakukan penyitaan oleh Penyidik untuk keperluan pemeriksaan dalam tingkat penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan

Salam

Tim AHP| ADVOKAT

Konsultasikan Permasalahan Hukum Anda Bersama AHP|ADVOKAT Untuk memenuhi kebutuhan persoalan hukum anda maupun berkonsultasi dengan tim AHP |ADVOKAT. AHP|ADVOKAT telah beroperasi sejak Januari 2013. AHP|ADVOKAT sendiri merupakan konsultan hukum berpengalaman yang diisi oleh tenaga ahli di bidangnya.

Untuk berkonsultasi Anda bisa mengunjungi kantornya yang ada di GD Masindo.Jl. Mampang Prapatan Raya No.73A Jakarta Selatan. Anda juga bisa menghubungi nomor Whatsapp 081905057198. AHP|ADVOKAT telah menangani kebutuhan legal berbagai jenis perusahaan dan perorangan.

Keadilan Restoratif

 Keadilan Restoratif Sebagai Salah Satu Upaya Penyelesaian Kasus Pidana

Suatu peristiwa yang diduga merupakan suatu tindak pidana yang sudah dimulai proses penyelidikan dan atau penyidikan dapat diselesaikan diluar forum pengadilan melalui upaya keadilan restorative, dimana upaya ini merupakan salah satu upaya perdamaian diantara pelapor dan pihak terlapor untuk tidak memperpanjang permalahan diantara para pihak dan saling sepakat untuk diselesaikan dengan mufakat. Menurut Perkap No 6 Tahun 2019, upaya perdamaian yang ditempuh melalui keadilan restorative dapat dilakukan bilamana memenuhi syarat materiil dan formil. Syarat materiil meliputi:

  1. tidak menimbulkan keresahan masyarakat atau tidak ada penolakan masyarakat;
  2. tidak berdampak konflik sosial;
  3. adanya pernyataan dari semua pihak yang terlibat untuk tidak keberatan, dan melepaskan hak menuntutnya di hadapan hukum;
  4. prinsip pembatas yakni pada pelaku dan pada tindak pidana dalam prosesnya.

Prinsip Pembatas pada pelaku:

1) tingkat kesalahan pelaku relatif tidak berat, yakni kesalahan dalam bentuk kesengajaan; dan

2) pelaku bukan residivis;

Prinsip Pembatas pada tindak pidana dalam proses:

1) penyelidikan; dan

2) penyidikan, sebelum SPDP dikirim ke Penuntut Umum;

Sedangkan untuk aspek formilnya meliputi:

  1. surat permohonan perdamaian kedua belah pihak (pelapor dan terlapor);
  2. surat pernyataan perdamaian (akte dading) dan penyelesaian perselisihan para pihak yang berperkara (pelapor, dan/atau keluarga pelapor, terlapor dan/atau keluarga terlapor dan perwakilan dari tokoh masyarakat) diketahui oleh atasan Penyidik;
  3. berita acara pemeriksaan tambahan pihak yang berperkara setelah dilakukan penyelesaian perkara melalui keadilan restoratif;
  4. rekomendasi gelar perkara khusus yang menyetujui penyelesaian keadilan restoratif; dan
  5. pelaku tidak keberatan dan dilakukan secara sukarela atas tanggung jawab dan ganti rugi.

Melalui forum ini maka suatu tindak pidana dapat cepat selesai dan  memberikan keadilan bagi para pihak.

 

Salam

Tim AHP| ADVOKAT

Konsultasikan Permasalahan Hukum Anda Bersama AHP|ADVOKAT Untuk memenuhi kebutuhan persoalan hukum anda maupun berkonsultasi dengan tim AHP |ADVOKAT. AHP|ADVOKAT telah beroperasi sejak Januari 2013. AHP|ADVOKAT sendiri merupakan konsultan hukum berpengalaman yang diisi oleh tenaga ahli di bidangnya.

Untuk berkonsultasi Anda bisa mengunjungi kantornya yang ada di GD Masindo.Jl. Mampang Prapatan Raya No.73A Jakarta Selatan. Anda juga bisa menghubungi nomor Whatsapp 081905057198. AHP|ADVOKAT telah menangani kebutuhan legal berbagai jenis perusahaan dan perorangan.



Wednesday, 8 December 2021

Pandangan Advokat Aslam Fetra Hasan Mengenai Konstruksi Hukum Transaksi Modal Kerja Yang Terancam Pidana

Pandangan Advokat Aslam Fetra HasanMengenai Konstruksi Hukum Transaksi Modal Kerja Yang Terancam Pidana

Pandangan Advokat Aslam Fetra Hasan Mengenai Konstruksi Hukum Transaksi Modal kerja

Bahwa Pinjam-meminjam uang kepada Lembaga pembiayaan untuk modal kerja produksi dapat diartikan dengan transaksi kredit / pembiayaan modal kerja dimana hasil pencairan kredit digunakan untuk modal pembelian bahan-bahan baku produksi serta proses produksi dan setelah barang jadi maka barang dijual kepada pihak ketiga (Alur 1)

Bahwa setelah barang jadi tersebut dijual dan hasil penjualan diterima maka hasil penerimaan uang tersebut setelah dikurangi keuntungan yang diharapkan harus digunakan untuk menurunkan outstanding/pinjaman kepada pihak pembiayaan (kreditor), apabila ternyata uang penerimaan hasil penjualan tersebut secara sengaja tidak disetorkan kepada kreditor malahan digunakan untuk transaksi lainnya maka dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana penggelapan (Alur 2)

Pasal 372


Barangsiapa dengan sengaja memiliki dengan melawan hak sesuatu barang yang sama sekali atau sebagiannya termasuk kepunyaan orang lain dan barang itu ada dalam tangannya bukan karena kejahatan, dihukum karena penggelapan-------------

Sekian dan terima kasih

Tim AHP ADVOKAT

Sumber:

KUHPIDANA dan Klik Tulisan Rekan Advokat Aslam Fetra Hasan

Rekan Advokat Aslam Fetra Hasan

Sumber Gambar: Klik Tulisan Modal Kerja Dibawah:

Modal Kerja

Sunday, 6 June 2021

Arti Kesengajaan

 Arti Kesengajaan 


Merujuk kepada M.v.T. (Memorie van Toelichting), disebutkan “Pidana pada umumnya hendaknya dijatuhkan hanya pada barang siapa melakukan perbuatan yang dilarang, dengan dikehendaki dan diketahui”. 

Dalam pengertian ini disebutkan bahwa kesengajaan diartikan sebagai : “menghendaki dan mengetahui” (willens en wetens). Artinya, seseorang yang melakukan suatu tindakan dengan sengaja, harus menghendaki serta menginsafi tindakan tersebut dan/ atau akibatnya. Jadi dapatlah dikatakan, bahwa sengaja berarti menghendaki dan mengetahui apa yang dilakukan. Orang yang melakukan perbuatan dengan sengaja menghendaki perbuatan itu dan disamping itu mengetahui atau menyadari tentang apa yang dilakukan itu dan akibat yang akan timbul daripadanya;

Salam
Tim AHP|ADVOKAT

Saturday, 29 May 2021

Kenaikan Tindak Pidana Perbankan

Kenaikan Tindak Pidana Perbankan


Klik juga mengenai artikel lain dibawah ini

Layanan AHP|ADVOKAT
HUKUM PERBANKAN
  1. Legal due diligence untuk Pembiayaan suatu proyek baik proyek pemerintah maupun swasta, 
  2. Analisa setiap Dokumen Kredit Bank, Kredit Sindikasi,kredit program, 
  3. Penanganan Kasus-kasus pidana perbankan, 
  4. Penyelesaian kredit bermasalah atau macet, 
  5. Eksekusi benda jaminan, 
  6. Kartu kredit (credit card),
  7. Penyelesaian persoalan seputar jasa operasional perbankan, dan lain-lain.
Salam
Tim AHP|ADVOKAT





Wednesday, 26 May 2021

Kupas Tuntas Penangkapan Dalam Kasus Tipibank Suatu Kajian Advokat Aslam Fetra Hasan

Kupas Tuntas Penangkapan Dalam Kasus Tipibank Suatu Kajian Advokat Aslam Fetra Hasan


Penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.

Lalu, apakah syarat sah nya suatu penangkapan oleh polisi kepada seorang yang ditangkap?

Alasan penangkapan atau syarat penangkapan tersirat dalam Pasal 17 KUHAP:

1) seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana;

2)dugaan yang kuat itu didasarkan pada bukti permulaan yang cukup.

Dan merujuk pada peraturan Kapolri Nomor 8 tahun 2009 bahwa penangkapan:

1)Dilarang penangkapan secara sewenang-wenang dan tidak berdasarkan hukum;

2)Tindakan penangkapan hanya dapat dilakukan dalam pelaksanaan tugas kepolisian dengan alasan sebagai berikut:
a. terdapat dugaan kuat bahwa seseorang telah melakukan kejahatan;
b. untuk mencegah seseorang melakukan kejahatan; dan
c. untuk memelihara ketertiban dalam masyarakat.

Dalam melakukan penangkapan setiap petugas wajib untuk:

a)memberitahu/menunjukkan tanda identitasnya sebagai petugas Polri;

b)menunjukkan surat perintah penangkapan kecuali dalam keadaan
tertangkap tangan;

c)memberitahukan alasan penangkapan;

d)menjelaskan tindak pidana yang dipersangkakan termasuk ancaman
hukuman kepada tersangka pada saat penangkapan;

e)menghormati status hukum anak yang melakukan tindak pidana dan
memberitahu orang tua atau wali anak yang ditangkap segera setelah
penangkapan;

f)senantiasa melindungi hak privasi tersangka yang ditangkap; dan

g)memberitahu hak-hak tersangka dan cara menggunakan hak-hak tersebut,
berupa hak untuk diam, mendapatkan bantuan hukum dan/atau didampingi
oleh penasihat hukum, serta hak-hak lainnya sesuai KUHAP.

(2) Setelah melakukan penangkapan, setiap petugas wajib untuk membuat berita acara penangkapan yang berisi:
a. nama dan identitas petugas yang melakukan penangkapan;

b. nama identitas yang ditangkap;

c. tempat, tanggal dan waktu penangkapan;

d. alasan penangkapan dan/atau pasal yang dipersangkakan;

e. tempat penahanan sementara selama dalam masa penangkapan; dan

f. keadaan kesehatan orang yang ditangkap

Salam
Tim AHP|ADVOKAT

Monday, 24 May 2021

Tindak Pidana Perbankan

TINDAK PIDANA PERBANKAN

Tindak pidana perbankan menyasar dana masyarakat yang disimpan di bank secara melawan hukum, oleh karenanya tindak pidana perbankan merugikan kepentingan berbagai pihak, baik bank itu sendiri maupun nasabah penyimpan dana.

Tindak pidana perbankan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 sampai dengan Pasal 50A Undang-Undang Perbankan atau Pasal 59 sampai dengan Pasal 66 Undang-Undang Perbankan Syariah dengan Ruang lingkup tipibank adalah:

a. Tindak pidana berkaitan dengan perizinan;

b. Tindak pidana berkaitan dengan rahasia bank;

c. Tindak pidana berkaitan dengan pengawasan bank;

d. Tindak pidana berkaitan dengan kegiatan usaha bank;

e.Tindak pidana berkaitan dengan pihak terafiliasi;

f. Tindak pidana berkaitan dengan pemegang saham;

g. Tindak pidana berkaitan dengan ketaatan terhadap ketentuan.

Salam

Tim AHP|ADVOKAT

Sunday, 7 March 2021

Pidana Penjara dan Denda terkait Pasal Pencemaran Nama Baik dalam UU ITE

Pidana Penjara dan Denda terkait Pasal Pencemaran Nama Baik dalam UU ITE



Dengan memperhatikan implementasi serta tafsir atas ketentuan Pasal 27 ayat (3) UU ITE yang dihubungkan dengan ketentuan Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP maka ketentuan terhadap pasal-pasal tersebut merupakan dasar hukum untuk menjerat pidana bagi setiap pelaku yang diduga melakukan tindak pidana pencemaran nama baik dan fitnah.

Pasal 27 ayat (3) UU ITE

"Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang bermuatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik"

Pasal 310 ayat (1) KUHP

Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

Lebih lanjut kita juga dapat merujuk pada Pasal 45 UU ITE

(1) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)

Lebih detail lagi kita juga dapat merujuk pada pasal lain dalam UU ITE yang terkait pencemaran nama baik dan memiliki sanksi pidana dan denda yang lebih berat lagi, yakni pasal 36 UU ITE.

Pasal 36 UU ITE

"Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan perbuatan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 27 sampai Pasal 34 yang mengakibatkan kerugian bagi orang lain"akan dikenakan sanksi pidana penjara maksimum 12 tahun dan/atau denda maksimum 12 milyar rupiah (dinyatakan dalam Pasal 51 ayat 2)

Pasal 51 ayat (2) UU ITE

Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah).

Kami tim AHP| ADVOKAT siap mendampingi dan mengajak semua lapisan masyarakat untuk siap berantas semua pelaku-pelaku yang diduga melakukan pencemaran nama baik dan fitnah 

Mari laporkan aduan ke:

1) https://www.aduankonten.id/

2)Kepolisan setempat

gambar:

https://www.dictio.id/t/apa-yang-dimaksud-dengan-pencemaran-nama-baik/14808

http://kabar-satu.com/metro/sidang-pencemaran-nama-baik-oknum-guru-smk-3-soppeng-memasuki-pemeriksaan-saksi.html


Sunday, 8 November 2020

Perlindungan Bagi Korban Pelaku Tindak Pidana Penghinaan,Pencemaran Nama Baik dan Fitnah

Perlindungan Bagi Korban Pelaku Penghinaan, Penistaan, dan atau Fitnah Orang Lain Menurut Hukum yang Berlaku di Indonesia




Latar Belakang
Dalam kehidupan dan interaksi sosial tidak jarang terjadi ketersinggungan yang membawa suatu penghinaan, pencemaran nama baik dan  fitnah. Ucapan secara lisan yang tidak terkontrol maupun ungkapan kebencian secara tertulis dengan maksud mencemarkan nama baik dan atau fitnah dilakukan secara serampangan tanpa berpikir panjang bahwa tindakannya dapat dijerat ancaman pidana dan denda.

Dasar Hukum Menjerat Pelaku Penghinaan,Pencemaran Nama Baik dan atau Fitnah
Bagi pelaku pencemaran nama baik dan fitnah dapat dilaporkan kepada Pihak Kepolisan dengan merujuk pada beberapa dasar hukum sbb:
Seorang pelaku fitnah dapat dijerat Pasal 311 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”):
“Barangsiapa melakukan kejahatan menista atau menista dengan tulisan, dalam hal ia diizinkan untuk membuktikan tuduhannya itu, jika ia tidak dapat membuktikan dan jika tuduhan itu dilakukannya sedang diketahuinya tidak benar, dihukum karena salah memfitnah dengan hukum penjara selama-lamanya empat tahun
Ketentuan dalam Pasal 311 ayat (1) diatas juga dikaitkan dengan ketentuan pasal sebelumnya yakni pada Pasal 310 ayat (1) KUHP, yang berbunyi sebagai berikut:
“Barangsiapa sengaja merusak kehormatan atau nama baik seseorang dengan jalan menuduh dia melakukan sesuatu perbuatan dengan maksud yang nyata akan tersiarnya tuduhan itu, dihukum karena menista, dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 4.500,-“

Lebih lanjut secara khusus pelaku fitnah juga dapat dijerat dengan UU ITE sbb:
Ancaman Pidana Pelaku Penghinaan dalam UU ITE.Perbuatan Penghinaan, Menista atau Memfitnah di laman internet,Google, Media Sosial seperti di Facebook, WhatsApp, Instagram, YouTube, Twitter, Line dan sebagainya, ancaman pidananya:

1. Pasal 27 ayat 3 UU ITE yang memiliki korelasi dengan Pasal 310 KUHP dan Pasal 311 KUHP. Pasal 27 ayat 3 UU ITE ini memuat unsur “yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik” 

Keberlakuan dan tafsir Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak dapat dipisahkan dari norma hukum Pasal 310 KUHP dan Pasal 311 KUHP. Salah satu pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam putusan perkara No. 50/PUU-VI/2008 atas judicial review pasal 27 ayat (3) UU ITE terhadap UUD 1945. Mahkamah Konstitusi menyimpulkan bahwa nama baik dan kehormatan seseorang patut dilindungi oleh hukum yang berlaku, sehingga Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak melanggar nilai-nilai demokrasi, hak azasi manusia, dan prinsip-prinsip negara hukum. Pasal 27 ayat (3) UU ITE adalah Konstitusional.

2. Pasal 45 ayat 1 UU ITE  Menyatakan sebagai berikut: ayat 1 “Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”,

3. Pasal 36 UU ITE dikaitkan dengan Ketentuan Pasal 51 ayat (2)
"Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan perbuatan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 27 sampai Pasal 34 yang mengakibatkan kerugian bagi orang lain"

4. Pasal 51 ayat (2) UU ITE. Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana damasked dalam Pasal 36 dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah). 

Kesimpulan
1. Para korban pelaku tindak pidana pencemaran nama baik,penghinaan maupun fitnah dapat melaporkan kepada pihak kepolisian dengan mendasarkan laporannya pada Pasal 310 ayat (1) KUHP,Pasal 311 ayat (1 KUHP), Pasal 27 ayat (3) UU ITE, Pasal 45 ayat (1) UU ITE, Pasal 36 UU ITE dan Pasal 51 ayat (2) UU ITE;

2. Sudah selayaknya bagi setiap pelaku tindak pidana penghinaan,pencemaran nama baik dan fitnah dijerat seberat-beratnya dengan hukuman yang berlapis.

Salam

Sumber:
UU ITE
KUHP



Sunday, 23 June 2019

Polda Metro Jaya Siap Hadapi Kivlan Zen di Meja Praperadilan


Polda Metro Jaya Siap Hadapi Kivlan Zen di Meja Praperadilan
Jumat, 21 Juni 2019 – 22:49 WIB

jpnn.com, - Kuasa hukum tersangka kasus dugaan kepemilikan senjata api ilegal Kivlan Zen telah mendaftarkan gugatan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel). Pihak Kivlan menilai penetapan kliennya sebagai tersangka di kasus kepemilikan senjata api tidak tepat dan tak ada bukti kuat.

Menyikapi hal tersebut, Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Raden Prabowo Argo Yuwono mengatakan, hal tersebut merupakan hak dari Kivlan dan kuasa hukum. Kepolisian pun tak bisa melarangnya.

“Silakan, kami tidak masalah jika yang bersangkutan mengajukan praperadilan,” ujar Argo ketika dikonfirmasi, Jumat (21/6).

Menurut dia, keputusan menempuh praperadilan sudah sesuai aturan. Kepolisian pun siap menghadapi kubu Kivlan di sidang praperadilan.

 “Dari kami tentunya siap, kami ikuti saja aturan hukum yang berlaku," imbuh Argo.

Sebelumnya, kuasa hukum Kivlan mengajukan gugatan praperadilan ke PN Jaksel atas penetapan tersangka di kasus kepemilikan senjata api. Praperadilan tersebut didaftarkan dengan nomor 75/pid.pra/2019/pn.jaksel.

KAJIAN RINGKAS
Dalam pemberitaan di atas beberapa pokok-pokok pembahasan yang menjadi  perhatian utama yakni mengenai penetapan tersangka, alat bukti dan praperadilan

Tersangka

Tersangka adalah seseorang yang karena perbuatannya atau keadaannya berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana, Bukti permulaaan dapat ditemukan di di didalam KUHAP berdasarkan  ketentuan di pasal 184 KUHAP

Selanjutnya dalam Pasal 66 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Kapolri No. 12 Tahun 2009 Pengawasan Dan Pengendalian Penanganan Perkara Pidana Di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Perkap 12/2009) disebutkan bahwa :

1)    Status sebagai tersangka hanya dapat ditetapkan oleh penyidik kepada seseorang setelah hasil penyidikan yang dilaksanakan memperoleh bukti permulaan yang cukup yaitu paling sedikit 2 (dua) jenis alat bukti.

2)  Untuk menentukan memperoleh bukti permulaan yang cukup yaitu paling sedikit 2 (dua) jenis alat bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan melalui gelar perkara.

 

 

 

Praperadilan

Pra Peradilan


Pra Peradilan

1.      Pra peradilan adalah wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus:

A.    Sah atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan;

B.     Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;

C.     Permintaan ganti rugi atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atau kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan. (Pasal 1 butir 10 jo Pasal 77 KUHAP);

D.    Sah atau tidaknya penyitaan barang bukti (Pasal 82 ayat 1 huruf b KUHAP)

E.     Putusan MK Nomor : 21/PUU-XII/2014  menyatakan bahwa ketentuan Pasal 77 KUHAP tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan dan penyitaan

 

2.      Yang dapat mengajukan Pra peradilan adalah:

A.    Tersangka, yaitu apakah tindakan penahanan terhadap dirinya bertentangan dengan ketentuan Pasal 21 KUHAP, ataukah penahanan yang dikenakan sudah melawati batas waktu yang ditentukan Pasal 24 KUHAP;

B.     Penyidik untuk memeriksa sah tidaknya penghentian penuntutan;

C.     Penuntut Umum atau pihak ketiga yang berkepentingan untuk memeriksa sah tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan. Yang dimaksud dengan pihak ketiga yang berkepentingan misalnya saksi korban.

 

3.      Tuntutan ganti rugi, rehabilitasi yang diajukan oleh tersangka, keluarganya atau penasihat hukumnya, harus didasarkan atas:

A.    Penangkapan atau penahanan yang tidak sah;

B.     Penggeledahan atau penyitaan yang pertentangan dengan ketentuan hukum dan undang-undang;

C.     Kekeliruan mengenai orang yang ditangkap, ditahan atau diperiksa.

 

PROSES PEMERIKSAAN PRA PERADILAN

1.      Pra peradilan dipimpin oleh Hakim Tunggal yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan Negeri dan dibantu oleh seorang Panitera (Pasal 78 ayat (2) KUHAP).

2.      Pada penetapan hari sidang, sekaligus memuat pemanggilan pihak pemohon dan termohon pra peradilan.

3.      Dalam waktu 7 (tujuh) hari terhitung permohonan pra peradilan diperiksa, permohonan tersebut harus diputus.

4.      Pemohon dapat mencabut permohonan¬nya sebelum Pengadilan Negeri menjatuhkan putusan apabila disetujui oleh termohon. Kalau termohon menyetujui usul pencabutan permohonan tersebut, Pengadilan Negeri membuat penetapan tentang pencabutan tersebut.

5.      Dalam hal suatu perkara sudah mulai diperiksa oleh pengadilan sedangkan pemeriksaan pra peradilan belum selesai maka permohonan tersebut gugur. Hal tersebut dituangkan dalam bentuk penetapan.

UPAYA HUKUM TERHADAP PUTUSAN PRA PERADILAN

1.      Putusan pra peradilan tidak dapat dimintakan banding (Pasal 83 ayat (1), kecuali terhadap putusan yang menyatakan “tidak sahnya” penghentian penyidikan dan penuntutan (Pasal 83 ayat (2) KUHAP).

2.      Dalam hal ada permohonan banding terhadap putusan pra peradilan sebagaimana dimaksud Pasal 83 ayat (1) KUHAP, maka permohonan tersebut harus dinyatakan tidak diterima.

3.      Pengadilan Tinggi memutus permintaan banding tentang tidak sahnya penghentian penyidikan dan penuntutan dalam tingkat akhir.

4.      Terhadap Putusan pra peradilan tidak dapat diajukan upaya hukum kasasi.

Sumber: Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Pidana Umum dan Pidana Khusus, Buku II, Edisi 2007, Mahkamah Agung RI, 2008, hlm. 54-56.

sumber pemberitaan:

Salam

Aslam Hasan

Tuesday, 30 October 2018

Pemeriksaan Perkara Pidana dengan Acara Biasa


Pemeriksaan Perkara Pidana dengan Acara Biasa

1.     Penunjukan hakim atau majelis hakim dilakukan oleh KPN setelah Panitera mencatatnya di dalam buku register perkara seterus¬nya diserahkan kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk menetapkan Hakim/ Majelis yang menyidangkan perkara tersebut.

2.     Ketua Pengadilan Negeri dapat mendelegasikan pembagian perkara kepada Wakil Ketua terutama pada Pengadilan Negeri yang jumlah perkaranya banyak.

3.     Pembagian perkara kepada Majelis/ Hakim secara merata dan terhadap perkara yang menarik pehatian masyarakat, Ketua Majelisnya KPN sendiri atau majelis khusus.

4.     Sebelum berkas diajukan ke muka persidangan, Ketua Majelis dan anggotanya mempelajari terlebih dahulu berkas perkara.

5.     Sebelum perkara disidangkan, Majelis terlebih dahulu mempelajari berkas perkara, untuk mengetahui apakah surat dakwaan telah memenuhi-syarat formil dan materil.

6.     Syarat formil: nama, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, tempat tinggal, pekerjaan terdakwa, jenis kelamin, kebangsaan dan agama.

7.     Syarat-syarat materiil:

1.      Waktu dan tempat tindak pidana dilakukan (tempus delicti dan locus delicti);

2.      Perbuatan yang didakwakan harus jelas di¬rumuskan unsur-unsurnya;

3.      Hal-hal yang menyertai perbuatan-perbuatan pidana itu yang dapat menimbulkan masalah yang memberatkan dan meringankan.

8.     Mengenai butir a dan b merupakan syarat mutlak, apabila syarat-syarat tersebut tidak ter¬penuhi dapat mengakibatkan batalnya surat dakwaan (pasal 143 ayat 3 KUHAP).

9.     Dalam hal Pengadilan berpendapat bahwa perkara menjadi kewenangan pengadilan lain maka berkas perkara dikembalikan dengan penetapan dan dalam tempo 2 X 24 jam, dikirim kepada Jaksa Penuntut Umum dengan perintah agar diajukan ke Pengadilan yang berwenang (pasal 148 KUHAP).

10. Jaksa Penuntut Umum selambat-lambatnya dalam waktu 7 (tujuh) hari dapat mengajukan perlawanan terhadap penetapan tersebut dan dalam waktu 7 (tujuh) hari Pengadilan Negeri wajib mengirimkan perlawanan tersebut ke Pengadilan Tinggi (pasal 149 ayat 1 butir d KUHAP).

11. Pemeriksaan dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip persidangan diantaranya pemeriksaan terbuka untuk umum, hadirnya terdakwa dalam persidangan dan pemeriksaan secara langsung dengan lisan.

12. Terdakwa yang tidak hadir pada sidang karena surat panggilan belum siap, persidangan ditunda pada hari dan tanggal berikutnya.

13.  Ketidakhadiran terdakwa pada sidang tanpa alasan yang sah, sikap yang diambil:

1.      sidang ditunda pada hari dan tanggal berikutnya;

2.      memerintahkan Penuntut Umum untuk memanggil terdakwa;

3.      jika panggilan kedua, terdakwa tidak hadir lagi tanpa alasan yang sah, memerintahkan Penuntut Umum memanggil terdakwa sekali lagi;

4.      jika terdakwa tidak hadir lagi, maka memerintahkan Penuntut Umum untuk menghadirkan terdakwa pada sidang berikutnya secara paksa.

14.  Keberatan diperiksa dan diputus sesuai dengan ketentuan KUHAP.

15. Perkara yang terdakwanya ditahan dan diajukan permohonan penangguhan/ pengalihan penahanan, maka dalam hal dikabulkan atau tidaknya permohonan tersebut harus atas musyawarah Majelis Hakim.

16. Dalam hal permohonan penangguhan/ pengalihan penahanan dikabulkan, penetapan ditandatangani oleh Ketua Majelis dan Hakim Anggota.

17. Penahanan terhadap terdakwa dilakukan berdasar alasan sesuai Pasal 21 ayat (1) dan ayat (4) KUHAP, dalam waktu sesuai Pasal 26, Pasal 27, Pasal 28 dan Pasal 29 KUHAP.

18.  Penahanan dilakukan dengan mengeluarkan surat perintah penahanan yang berbentuk penetapan.

19.  Penangguhan penahanan dilakukan sesuai Pasal 31 KUHAP.

20.  Dikeluarkannya terdakwa dari tahanan dilakukan sesuai Pasal 26 ayat (3) dan Pasal 190 huruf b.

21. Hakim yang berhalangan mengikuti sidang, maka KPN menunjuk Hakim lain sebagai penggantinya.

22. Kewajiban Panitera Pengganti yang mendampingi Majelis Hakim untuk mencatat seluruh kejadian dalam persidangan.

23. Berita Acara Persidangan mencatat segala kejadian disidang yang berhubungan dengan pemeriksaan perkara, memuat hal penting tentang keterangan saksi dan keterangan terdakwa, dan catatan khusus yang dianggap sangat penting.

24. Berita Acara Persidangan ditandatangani Ketua Majelis dan Panitera Pengganti, sebelum sidang berikutnya dilaksanakan.

25. Berita Acara Persidangan dibuat dengan rapih, tidak kotor, dan tidak menggunakan tip-ex jika terdapat kesalahan tulisan.

26. Ketua Majelis Hakim/ Hakim yang ditunjuk bertanggung jawab atas ketepatan batas waktu minutasi.

27. Segera setelah putusan diucapkan Majelis Hakim dan Panitera Pengganti menandatangani putusan.

28. Segera setelah putusan diucapkan pengadilan memberi¬kan petikan putusan kepada terdakwa atau Penasihat Hukumnya dan Penuntut Umum.

Sumber:
1.Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Pidana Umum dan Pidana Khusus, Buku II, Edisi 2007, Mahkamah Agung RI, 2008, halaman 26-28.
2.“Tata Cara Pemeriksaan Administrasi Persidangan” dalam buku Tata Laksana Pengawasan Peradilan, Buku IV, Edisi 2007, Badan Litbang Diklat Kumdil MA RI, 2007, hlm. 136-138. Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor 145/KMA/SK/VIII/2007 tentang Memberlakukan Buku IV Pedoman Pelaksanaan Pengawasan di Lingkungan Badan-Badan Peradilan.
http://pn-bekasikota.go.id/2015-06-06-01-33-01/pemeriksaan-perkara-pidana-acara-biasa.html