Wednesday 5 July 2017

Digeledah Tanpa Surat, Status Tersangka Curanmor Dicabut


Rabu, 14 Jun 2017 07:05 WIB - http://mdn.biz.id/n/304588/ - Dibaca: 81 kali
 
Digeledah Tanpa Surat, Status Tersangka Curanmor Dicabut
MedanBisnis - Jakarta. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) mencabut status tiga tersangka pencurian kendaraan bermotor (curanmor), Herianto (21), Aris (33) dan Bihin (39). Sebab, tim Polda Metro Jaya menggeledah rumah para tersangka tanpa surat penggeledahan.
"Menetapkan penetapan tersangka terhadap diri para pemohon tidak sah atau tidak berdasarkan hukum dan tidak memiliki kekuatan hukum," kata hakim tunggal Martin Ponto di PN Jaksel, Jalan Ampera Raya, Jakarta Selatan, Selasa (13/6).
 
Martin menyatakan, penggeledahan dan penyitaan terhadap barang di rumah pelaku merupakan tidak sah. Hal itu karena tidak adanya surat izin perintah penggeledahan dan penyitaan dari PN Kota Bekasi yang ditunjukkan saat menggeledah. Serta dalam proses penggeledahan tersebut tidak diikutsertakan kepala lingkungan warga sekitar.
 
"Hakim tidak melihat surat perintah dan persetujuan atau penggeledahan rumah pemohon dari ketua pengadilan setempat. Dan tidak pula disaksikan oleh dua warga setempat sehingga penggeledahan dan penyitaan di rumah pemohon tersebut adalah tidak sah," kata Martin.
 
Oleh karena penggeledahan dan penyitaan tidak sah, penyidikan dianggap tidak sah. Hal itu karena penggeledahan dan penyitaan ada dalam proses penyidikan.
"Oleh karena penyitaan dan penggeledahan dilakukan secara tidak sah, sedangkan penggeledahan dan penyitaan merupakan bagian dari tindakan penyidikan, dengan tanpa mempertimbangkan lebih lanjut permohonan para pemohon, hakim praperadilan berpendapat penyidikan terhadap para pemohon dinyatakan tidak sah," kata Martin.
 
Dengan dinyatakan penyidikan tidak sah, maka penetapan tersangka terhadap Herianto (21), Aris (33), dan Bihin (39) dinyatakan tidak sah.
 
"Menimbang bahwa karena penyidikan tidak sah, maka penetapan tersangka atas peradilan umum juga menjadi tidak sah karena berdasarkan pada hasil penyidikan yang tidak sah," kata Martin.
 
Akan tetapi, Martin tidak mengabulkan permintaan tuntutan ganti rugi Rp 150 juta yang diajukan pemohon. Hal itu karena bukan kewenangan hakim praperadilan. Martin juga menolak permohonan pemohon untuk merehabilitasi nama tiga tersangka karena sesuai aturan baru bisa direhabilitasi namanya jika mendapat putusan bebas atau telah mendapatkan keputusan hukum tetap.
 
Saat ini ketiga tersangka ada di Rutan Bulak Kapal, Bekasi, karena berkas pidana ketiganya telah dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Kota Bekasi. (yul-dn)

Tanggapan:

Bersama ini kami kembali meninjau poin-poin utama berkenaan dengan pemberitaan diatas terbatas pada Praperadilan, penetapan tersangka, penggeledahan dan penyitaan

Praperadilan

Praperadilan:
Mengacu pada KUHAP,praperadilan dapat diajukan dalam hal:

Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang:

a.       sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;

b.      ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan. 

Putusan MA nomor 21/PUU-XII/2014. MK memperluas ranah praperadilan termasuk sah atau tidaknya penetapan tersangka, penggeledahan dan penyitaan.

Penetapan Tersangka

Dengan merujuk pada KUHAP pengertian mengenai Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.


Selanjutnya perihal penetapan tersangka dengan merujuk pada uraian di http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt54d46fe50a6b5/pernyataan-polisi-tentang-penetapan-tersangka dalam Pasal 66 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Kapolri No. 12 Tahun 2009 Pengawasan Dan Pengendalian Penanganan Perkara Pidana Di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Perkap 12/2009) disebutkan bahwa :

 
-        Status sebagai tersangka hanya dapat ditetapkan oleh penyidik kepada seseorang setelah hasil penyidikan yang dilaksanakan memperoleh bukti permulaan yang cukup yaitu paling sedikit 2 (dua) jenis alat bukti.

-        Untuk menentukan memperoleh bukti permulaan yang cukup yaitu paling sedikit 2 (dua) jenis alat bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan melalui gelar perkara

 
 Didalam KUHAP mengenai alat bukti ditentukan secara limitatif yakni pada Pasal 184

 Alat bukti yang sah ialah :

  
-        keterangan saksi;

-        keterangan ahli;

-        surat;

-        petunjuk;

-        keterangan terdakwa.

PENGGELEDAHAN

1.Pengertian
a.       Penggeledahan Rumah adalah tindakan Penyidik untuk memasuki rumah tempat tinggal dan tempat-tempat tertutup lainnya untuk melakukan tindakan pemeriksaan dan atau penyitaan dan atau penangkapan dalam hal-hal menurut cara-cara yang diatur dalam KUHAP.
b.      Penggeledahan Badan adalah tindakan Penyidik untuk mengadakan pemeriksaan badan atau pakaian tersangka untuk mencari benda yang diduga keras ada pada badannya atau dibawanya serta untuk disita.
2.KetentuanHukum
a.       Pasal 1 butir 17 dan 18 KUHAP merupakan penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan penggeledahan.
b.      Pasal 5 ayat (1) huruf b, pasal 7 ayat (1) huruf d, pasal 11, pasal 32 dan pasal 37 KUHAP mengatur tentang kewenangan Penyidik/Penyidik Pembantu dalam hal pengeledahan.
c.       Pasal 33 KUHAP mengatur tentang syarat dan tata cara penggeledahan.
d.      Pasal 34 KUHAP mengatur tentang alasan penggeledahan tanpa izin dari ketua PN serta tindakan yang tidak diperkenankan.
e.       Pasal 36 KUHAP mengatur tentang pelaksanaan pengeledahan rumah diluar daerah hukum penyidik/penyidik pembantu.

PENYITAAN

Pengertian
Penyitaan adalah serangkaian tindakan Penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan dibawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan.
 Ketentuan Hukum
a.       Pasal 1 butir 16 KUHAP memberikan penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan penyitaan.
b.      Pasal  5 (1) huruf b angka  1, Pasal 7 (1) huruf d, Pasal 40, Pasal 41 dan Pasal 42 KUHAP mengatur tentang kewenangan Penyidik/Penyidik Pembantu dalam hal  penyitaan.
c.       Pasal 38, 128 dan Pasal 129 KUHAP mengatur dengan syarat-syarat penyitaan.
d.      Pasal 39 dan Pasal 131 KUHAP mengatur tentang benda/barang yang disita.
e.       Pasal 43 KUHAP mengatur tentang penyitaan yang hanya dapat dilakukan atas persetujuan dan izin khusus Ketua PN.
f.       Pasal 44 KUHAP mengatur tentang penyimpanan benda sitaan.
g.       Pasal 45 KUHAP mengatur tentang syarat-syarat benda sitaan yang dapat dijual lelang, dirampas atau dimusnahkan.
h.      Pasal 46 KUHAP mengatur tentang pengembalian benda sitaan kepada orang yang paling berhak/dari siapa benda itu disita.
i.         Pasal 47 KUHAP mengatur tentang kewenangan penyitaan terhadap syarat-syarat lain yang dikirim melalui kantor pos/telkom atau jasa pengiriman barang.
j.        Pasal 130 KUHAP mengtur tentang penanganan dan pengamanan terhadap benda sitaan.
k.      Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Salam
AFH

Monday 3 July 2017

Tas Merek Rabeanco Milik Warga Cengkareng


Senin, 03 Jul 2017 09:06 WIB - http://mdn.biz.id/n/307733/ - Dibaca: 58 kali
 
Tas Merek Rabeanco Milik Warga Cengkareng
MedanBisnis - Jakarta. Tas merek Rabeanco yang diproduksi S&W Handsbad Limited, Hong Kong harus menelan pil pahit. Sebab, Mahkamah Agung (MA) menyatakan merek tersebut di Indonesia dimiliki warga Cengkareng, Jakarta Barat, Lie Siu Tjin.
S&W mendaftarkan mereknya di Hong Kong dan kaget mengetahui ada merek serupa di Indonesia. Lantas S&W mengajukan gugatan ke Pengadilan Niaga Jakarta Pusat (PN Jakpus) dan dikabulkan. Putusan dijatuhkan secara verstek (tanpa dihadiri pihak Lie Siu Tjin) pada 5 Agustuts 2015.
Atas vonis itu, warga Taman Kencana, Cengkareng Barat, Jakarta Barat itu mengajukan perlawanan ke PN Jakpus. Pada 15 Maret 2016, PN Jakpus mengabulkan perlawanan itu dan membatalkan putusan yang memenangkan S&W.
Sebab, Lie Siu Tjin telah mengantongi merek Rabeanco yang disahkan Kemenkum HAM, dengan Nomor IDM000113997 bertanggal 21 Maret 2007, dan diperpanjang pada 5 November 2014. Berdasarkan prinsip first to file, maka Lie Siu Tjin pemilik atas merek itu.
Tidak terima, S&W mengajukan kasasi. S&W membeberkan akta notaris yang menyebutkan S&W adalah pemilik merek Rabeanco. Selain itu, Rabeanco juga telah mengantongi hak merek di China, Singapura, Jepang, Korea, Australia dan di Indonesia.
Untuk di Indonesia, S&W mengantongi nomor merek IDM 00417471 bertanggal 26 April 2005 dan diperpanjang pada 30 Juni 2014. Namun apa kata MA atas argumen S&W itu?
"Menolak permohonan kasasi S&W Handsbad Limited," demikian lansir panitera MA yang dikutip dari website-nya, Minggu (2/7).
Duduk sebagai ketua majelis Hamdi dengan anggota I Gusti Agung Sumanatha dan Sudrajad Dimyati. Majelis kasasi sepakat dengan putusan PN Jakpus yaitu penggugat tidak melampirkan bukti asli, hanya foto kopi, sehingga tidak bisa dijadikan sebagai alat bukti dalam hukum perdata. "Sebagian ada yang asli, tetapi tidak disertai dengan otentifikasi dari Konsulat Jenderal RI di Hong Kong," ujar majelis. (asp-dn)

TINJAUAN:

Dalam perkara ini kami tidak akan membahas substansi dari pokok perkara yang telah diputus oleh majelis hakim kasasi, disini kami akan membahas secara garis besar berkenaan dengan prosedur hukum acara perdata serta prinsip-prinsip dalam Hukum Merk

Verstek (Putusan Tanpa Kehadiran Tergugat)

Verstek adalah suatu putusan atas perkara  yang dijatuhkan tanpa kehadiran Tergugat.  

Karena Tergugat tidak hadir, maka putusan yang dijatuhkan tersebut diajtuhkan tanpa bantahan.

Putusan Verstek hanya dapat dijatuhkan dengan beberapa ketentuan: Tergugat telah dipanggil secara sah dan patut, namun tidak hadir tanpa alasan yang sah, dan juga Tergugat tidak mengajukan eksepsi kompetensi (kewenangan) pengadilan.

Tergugat Telah Dipanggil Secara Sah dan Patut

Putusan Verstek dijatuhkan karena Tergugat telah dipanggil secara sah dan patut, namun tergugat tidak hadir tanpa alasan yang sah. Panggilan yang sah adalah panggilan yang dilakukan oleh Juru Sita Pengadilan Negeri dalam bentuk surat tertulis (Surat Panggilan/Relaas). Bentuk suatu panggilan yang sah semestinya dilakukan secara / disampaikan langsung kepada Tergugat sendiri, atau keluarganya jika Tergugat sendiri tidak berada di tempat – atau kepada Kepala Desa jika Tergugat dan keluarganya tidak berada di tempat.

Menarik mencermati uraian dari Indra Firman & Associates perihal Ketentuan Pemanggilan Sidang Bagi Para pihak dengan mengambil sumber dari Buku Hukum Acara Perdata karya M Yahya Harahap dan juga sedikit tanggapan dari kami sbb:

Di dalam Hukum Acara Perdata, M. Yahya Harahap, S.H. dikatakan bahwa :

“Pengertian panggilan dalam hukum acara perdata adalah; menyampaikan secara resmi (official) dan patut (properly) kepada pihak-pihak yang terlibat dalam suatu perkara di pengadilan, agar memenuhi dan melaksanakan hal-hal yang diminta dan diperintahkan majelis hakim atau pengadilan. Menurut 390 ayat (1) dan (3) HIR, yang berfungsi melakukan panggilan adalah juru sita dalam pasal berbunyi sbb ;

Dari uraian diatas perlu digarisbawahi bahwa yang berhak melakukan pemanggilan adalah Juru Sita

Pasal 390 ayat 1 :

Tiap-tiap surat juru sita, kecuali yang disebut di bawah ini, harus disampaikan kepada orang yang bersangkutan sendiri di tempat diam atau tempat tinggalnya, dan jika tidak bertemu dengan orang itu di situ, kepada kepala desanya atau beknya, yang wajib dengan segera memberitahukan surat juru sita itu kepada orang itu sendiri, tetapi hal itu tak perlu dinyatakan dalam hukum.

Pasal 390 Ayat (3) :(3) (s.d.u. dg. S. 1939-715.) Tentang orang yang tidak diketahui tempat diam atau tempat tinggalnya dan tentang orang yang tidak dikenal, maka surat juru sita itu disampaikan kepada bupati, yang dalam daerahnya terletak tempat tinggal orang yang mendakwa, dan dalam perkara pidana, yang dalam daerahnya berkedudukan hakim yang berhak; bupati itu memaklumkan surat juru sita itu dengan menempelkannya pada pintu utama di tempat persidangan hakim yang berhak itu. (RBg. 718.)”

Bahwa ketentuan sebagaimana yang tercantum di dalam Pasal 390 ayat 1 tersebut diatas hanya mengatur mengenai tata cara penyampaian panggilan sidang dan kepada siapa panggilan tersebut harus disampaikan. Tetapi ketentuan di dalam Pasal ini juga tidak mengatur berapa banyak panggilan ini harus disampaikan.

Ketentuan lain yang terkait mengenai pemanggilan ini diatur di dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA )Nomor 9 Tahun 1964 pada Sub A,B dan C, untuk lebih jelasnya dikutip sebagai berikut :

“oleh karena ada beberapa tafsiran mengenai putusan verstek, maka dengan ini Mahkamah Agung memberi pendapatnya mengenai hal itu.

Menurut Pasal 125 H.I.R. apabila tergugat, meskipun telah dipanggil secara sah, akan tetapi tidak hadir, maka Hakim dapat:

a. Menjatuhkan putusan verstek atau

b. Menunda pemeriksaan (berdasarkan Pasal 126 H.I.R.) dengan perintah memanggil tergugat sekali lagi;

c. Kemudian apabila dalam hal sub B tergugat tidak dapat lagi, maka Hakim dapat menjatuhkan putusan verstek.”

Bahwa berdasarkan ketentuan sebagaimana yang tercantum di dalam SEMA Nomor 9 Tahun 1964 dapat ditafsirkan bahwa suatu putusan verstek tersebut dapat diputuskan meskipun baru dilakukan pemanggilan sekali, asalkan pemanggilan tersebut telah dilakukan secara patut berdasarkan ketentuan di dalam Pasal 390 HIR sebagaimana yang telah Penulis uraikan diatas.

Namun demikian SEMA ini juga memberikan keleluasan kepada hakim apabila mereka menghendaki dilakukan penganggilan kembali kepada para Tergugat sebelum dikeluarkannya suatu putusan verstek sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 126 HIR dan Pasal 127 HIR, untuk lebih jelasnya dikutip sebagai berikut : .

Pasal 126:

Dalam hal tersebut pada kedua pasal di atas ini, pengadilan negeri, sebelum menjatuhkan keputusan, boleh memerintahkan supaya pihak yang tidak datang dipanggil sekali iagi untuk menghadap pada hari persidangan lain, yang diberitahukan oleh ketua dalam persidangan kepada pihak yang datang; bagi pihak yang datang itu, pemberitahuan itu sama dengan panggilan.”

“Pasal 127.

Jika seorang tergugat atau lebih tidak menghadap dan tidak menyuruh orang lain menghadap sebagai wakilnya, maka pemeriksaan perkara itu akan ditangguhkan sampai pada hari persidangan lain, yang tidak lama sesudah hari itu penangguhan itu diberitahukan dalam persidangan kepada pihak yang hadir, dan bagi mereka pemberitahu,, itu sama dengan panggilan; sedang si tergugat yang tidak datang, atas perintah ketua, harus dipanggil sekali lagi untuk menghadap pada hari persidangan yang lain. Pada hari itulah perkara itu diperiksa, dan kemudian diputuskan bagi sekalian pihak dengan satu keputusan, yang terhadapnya tak boleh diadakan perlawanan keputusan tanpa kehadiran. (RV. 81.)”

Ketentuan sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 126 HIR dan Pasal 127 HIR juga diatur di dalam Dalam Pasal 150 Rbg dan 151 Rbg, untuk lebih jelasnya dikutip sebagai berikut :

“Pasal 150 Rbg :

Dalam kejadian-kejadian seperti tersebut dalam dua pasal terdahulu, sebelum mengambil sesuatu keputusan, maka ketua pengaduan negeri dapat memerintahkan untuk memanggil sekali lagi pihak yang tidak hadir agar datang menghadap pada hari yang ditentukan dalam sidang itu, sedangkan bagi pihak yang hadir penentuan hari itu berlaku sebagai panggilan untuk menghadap lagi. (IR. 126.)

Pasal 151 Rbg :

Bila di antara beberapa tergugat ada seorang atau lebih yang tidak datang menghadap dan tidak ada yang menjadi wakilnya, maka pemeriksaan perkara ditunda sampal suatu hari yang ditetapkan sedekat mungkin. penundaan itu di dalam sidang itu diberitahukan kepada pihak-pihak yang hadir dan pemberitahuan itu berlaku sebagai panggilan, sedangkan tergugat-tergugat yang tidak hadir diperintahkan agar dipanggil lagi. Kemudian perkara diperiksa dan terhadap semua pihak diberikan keputusan dalam satu surat putusan yang terhadapnya tidak dapat diadakan perlawanan. (RBg. 1925; Rv. 8i, IR. 127.).”

Meskipun Hakim memiliki kewenangan untuk menjatuhkan putusan Verstek sudah pada sidang yang pertama, namun menurut Yahya Harahap, menjatuhkan putusan Verstek pada sidang pertama kali itu bukanlah tindakan yang layak. Hakim yang bijaksana akan memberikan kesempatan kepada Tergugat untuk hadir pada persidangan dengan jalan mengundurkan pemeriksaan. Untuk itu, pada sidang pertama Hakim memerintahkan untuk mengundurkan sidang dan memerintahkan juru sita memanggil Tergugat sekali lagi. Undang-undang tidak mengatur batasan sampai berapa kali panggilan ulang tersebut dilakukan, namun menurut Yahya Harahap, pengunduran yang layak adalah minimal 2 kali dan maksimal 3 kali.

Putusan Verstek

Pasal 125 HIR/149 R.Bg, menentukan bahwa apabila pada hari sidang yang telah ditentukan, Tergugat tidak hadir dan lagi pula tidak menyuruh orang lain untuk hadir sebagai wakilnya, padahal ia telah dipanggil dengan patut maka gugatan itu diterima dengan putusan di luar hadirnya Tergugat (verstek), kecuali kalau ternyata Pengadilan Negeri berpendapat bahwa gugatan Penggugat tersebut bersifat melawan hak atau tidak beralasan hukum.

Apabila gugatan Penggugat diterima dan dikabulkan, maka atas perintah Ketua Pengadilan Negeri diberitahukan isi putusan itu kepada Tergugat yang dikalahkan dan diterangkan kepadanya bahwa Tergugat berhak mengajukan perlawanan (verzet) dalam tempo 14 hari setelah menerima pemberitahuan. Jika putusan itu tidak diberitahukan kepada Tergugat sendiri, perlawanan masih diterima sampai pada hari ke 8 sesudah peneguran (anmaning) seperti yang tersebut dalam pasal 196 HIR/207 R.Bg atau dalam hal tidak hadir sesudah dipanggil dengan patut, sampai pada hari ke 14 (R.Bg) dan hari ke 8(HIR) sesudah dijalankan surat perintah seperti tersebut dalam pasal 208 R.Bg/197 HiR. Jika telah dijatuhkan putusan verstek untuk kedua kalinya,maka perlawanan selanjutnya yang diajukan oleh Tergugat tidak dapat diterima.
sumber:




Perihal Verzet

VERZET

Verzet adalah Perlawanan Tergugat atas Putusan yang dijatuhkan secara Verstek.

 

Tenggang Waktu untuk mengajukan Verzet / Perlawanan :

 

1.      Dalam waktu 14 hari setelah putusan diberitahukan (pasal 129 (2) HIR

2.      Sampai hari ke 8 setelah teguran seperti dimaksud Pasal 196 HIR ; apabila yang ditegur itu datang menghadap

3.      Kalau tidak datang waktu ditegur sampai hari ke 8 setelah eksekutarial (pasal 129 HIR). (Retno Wulan SH. hal 26).



Perlawanan terhadap Verstek, bukan perkara baru


Perlawanan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisah dengan gugatan semula. Oleh karena itu, perlawanan bukan gugatan atau perkara baru, tetapi tiada lain merupakan bantahan yang ditujukan kepada ketidakbenaran dalil gugatan, dengan alasan putusan verstek yang dijatuhkan, keliru dan tidak benar. Putusan MA No. 494K/Pdt/1983 mengatakan dalam proses verzet atas verstek, pelawan tetap berkedudukan sebagai tergugat dan terlawan sebagai Penggugat(Yahya Harahap,Hukum acara Perdata, hal 407).



Pemeriksaan Perlawanan (Verzet)


A. Pemeriksaan berdasarkan gugatan semula.


Dalam Putusan MA No. 938K/Pdt/1986, terdapat pertimbangan sebagai berikut :

Substansi verzet terhadap putusan verstek, harus ditujukan kepada isi pertimbangan putusan dan dalil gugatan terlawan / penggugat asal.

 

Verzet yang hanya mempermasalahkan alasan ketidakhadiran pelawan/tergugat asal menghadiri persidangan, tidak relevan, karena forum untuk memperdebatkan masalah itu sudah dilampaui.

 

Putusan verzet yang hanya mempertimbangkan masalah sah atau tidak ketidakhadiran tergugat memenuhi panggilan sidang adalah keliru. Sekiranya pelawan hanya mengajukan alasan verzet tentang masalah keabsahan atas ketidakhadiran tergugat memenuhi panggilan, PN yang memeriksa verzet harus memeriksa kembali gugatan semula, karena dengan adanya verzet, putusan verstek mentah kembali, dan perkara harus diperiksa sejak semula.


B. Surat Perlawanan
sebagai jawaban tergugat terhadap dalil gugatan.


Berdasarkan Pasal 129 ayat (3) HIR, perlawanan diajukan dan diperiksa dengan acara biasa yang berlaku untuk acara perdata. Dengan begitu, kedudukan pelawan sama dengan tergugat. Berarti surat perlawanan yang diajukan dan disampaikan kepada PN, pada hakikatnya sama dengan surat jawaban yang digariskan Pasal 121 ayat (2) HIR. Kualitas surat perlawanan sebagai jawaban dalam proses verzet dianggap sebagai jawaban pada sidang pertama. (Yahya Harahap,Hukum acara Perdata, hal 409 - 410).

Sumber

PRINSIP FIRST TO FILE DALAM PENDAFTARAN MERK

Hak eksklusif atas merek di Indonesia – sebagaimana diatur berdasarkan UU nomor 15 tahun 2001 tentang Merek - hanya diberikan pada merek yang telah terdaftar di Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual, Kementerian Hukum dan  Hak Asasi Manusia RI (DJKI). Pendaftaran merek tersebut menganut prinsip first-to-file, dimana hak akan diberikan kepada pendaftar pertama.
 
Salam
AFH