Saturday, 21 June 2025

Opini Hukum : Prioritas Sertifikat Pertama dalam Kasus Sertifikat Ganda

 

OPINI HUKUM

Perihal: Prioritas Sertifikat Pertama dalam Kasus Sertifikat Ganda
Dasar Hukum: Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 jo. land registration act


I. LATAR BELAKANG

Persoalan hukum sertifikat ganda yang kerap terjadi ketika terdapat dua atau lebih sertifikat otentik yang terbit atas satu bidang tanah dengan pemilik berbeda masih menjadi persoalan yang membingungkan. Sertifikat merupakan bukti hak kepemilkan yang tercatat dalam buku tanah dihadapkan dengan Situasi demikian menimbulkan konflik kepemilikan dan sering membingungkan pihak yang berupaya membeli atau melakukan tindakan hukum atas tanah. Perlu dipahami mekanisme keabsahan mana yang harus diakui berdasarkan urutan penerbitan sertifikat.

II. PERMASALAHAN HUKUM

Sertifikat mana yang harus diprioritaskan dalam hal terdapat sertifikat ganda atas bidang tanah yang sama: sertifikat yang diterbitkan terlebih dahulu atau yang kemudian? Apa konsekuensi hukumnya bagi pihak ketiga yang telah bertransaksi atas penggunaan sertifikat setelahnya?

III. ANALISIS HUKUM

1.      Otentisitas Sertifikat

Kedua sertifikat adalah dokumen otentik dan tercatat secara resmi, sehingga keduanya memenuhi syarat legal formal.

2.      Prinsip Lex Specialis dan Lex Posterior

Ketika terdapat dua bukti otentik, yang berlaku adalah asas waktu—sertifikat yang terbit lebih dulu diakui secara hukum. Dengan demikian, sertifikat berikutnya tidak dapat menimbulkan hak yang mengalahkan sertifikat pertama.

3.     Aplikasi terhadap Pelaku Transaksi

Calon pembeli perlu melakukan pengecekan urutan penerbitan sertifikat. Jika menggunakan sertifikat yang diterbitkan kemudian dalam transaksi hukum yang tanahnya telah dibebani sertifikat terdahulu, maka posisi hukum pembeli menjadi lemah, meskipun menggunakan sertifikat otentik.

IV. KESIMPULAN

  1. Sertifikat yang diterbitkan lebih awal memiliki kekuatan hukum yang lebih tinggi dibanding sertifikat yang terbit berikutnya terhadap objek bidang yang sama.
  2. Kedua sertifikat bersifat otentik, namun berlaku asas prioritas waktu.
  3. Pihak ketiga yang melakukan transaksi berdasarkan sertifikat kedua berada dalam risiko hukum karena haknya tidak dapat mengalahkan sertifikat yang lebih dahulu.
  4. Sertifikat kedua tidak otomatis batal, namun kekuatan pembuktiannya lebih rendah dalam sengketa hak.

V. SARAN HUKUM

  1. Bagi Pembeli dan Notaris
    • Lakukan pengecekan secara hati-hati terhadap riwayat sertifikat, khususnya tanggal penerbitan dan riwayat buku tanah.
    • Pertimbangkan untuk memasukkan otoritas terkait sebagai pihak turut tergugat saat mendaftarkan gugatan atas sengketa sertifikat ganda.
  2. Bagi Otoritas Pertanahan
    • Tingkatkan verifikasi internal terhadap penerbitan sertifikat guna meminimalisasi sertifikat ganda.
    • Siapkan pedoman operasional teknis untuk menangani kasus yang melibatkan sertifikat ganda.
  3. Bagi Legislator dan Mahkamah
    • Perlunya revisi regulasi secara tegas mengatur status dan korelasi antara sertifikat ganda, termasuk mekanisme penyelesaiannya.
    • Perlu dipertimbangkan ketentuan yang mewajibkan penarikan sertifikat ganda yang diterbitkan belakangan, terutama saat terbukti penerbitannya keliru atau tidak berdasarkan data asli.

Tim AHP Advokat

Sumber: Advokat Aslam Fetra Hasan

Opini Hukum Perihal Penafsiran Unsur “Patut Diduga” dalam Tindak Pidana Penadahan


OPINI HUKUM

Perihal: Penafsiran Unsur “Patut Diduga” dalam Tindak Pidana Penadahan
Dasar Hukum: Pasal 480 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)


I. LATAR BELAKANG

Pasal 480 KUHP mengurai  tindak pidana penadahan, berupa perbuatan membeli, menyimpan, menyembunyikan, atau memperjualbelikan suatu barang yang diperoleh dari kejahatan, dengan syarat bahwa pelaku mengetahui atau patut diduga bahwa barang tersebut berasal dari suatu tindak pidana.

Praktiknya, frasa “patut diduga” menimbulkan dinamika interpretatif karena KUHP tidak memberikan batasan atau definisi yang jelas. Persoalan ini memunculkan pertanyaan mengenai standar minimal kehati-hatian (due diligence) yang wajib dilakukan oleh pembeli supaya tidak terjerat tindak pidana penadahan.

Salah satu situasi yang acap kali menjadi sorotan yakni ketika seseorang membeli barang dengan harga jauh di bawah harga pasar, tanpa ada kejelasan asal usul atau bukti kepemilikan sah dari pihak penjual.

II. PERMASALAHAN HUKUM

Apakah pembelian suatu barang dengan harga yang tidak wajar dapat dijadikan dasar untuk membuktikan terpenuhinya unsur “patut diduga” dalam Pasal 480 KUHP?

III. ANALISIS HUKUM

Unsur “patut diduga” terkait Pasal 480 KUHP tidak menuntut adanya pengetahuan aktual dari pelaku tentang histotical barang yang berasal dari kejahatan, melainkan adanya standar objektif kehati-hatian yang harus dimiliki oleh orang pada umumnya dalam kondisi yang serupa.

Dalam hal seseorang membeli barang dengan harga yang jauh lebih murah dari harga pasaran normal, maka secara hukum dapat dikualifikasikan bahwa terdapat indikasi kuat yang seharusnya menimbulkan kecurigaan.

Fakta-fakta seperti berikut ini lazim dijadikan indikator pemenuhan unsur “patut diduga” diantaranya:

  • Harga barang tidak wajar dibanding harga pasarannya,

  • Transaksi dilakukan secara terburu-buru atau sembunyi-sembunyi,

  • Tidak disertai dokumen legalitas barang (nota, bukti kepemilikan),

  • Penjual tidak dapat menjelaskan asal usul barang secara logis.

Dengan kata lain, pelaku dapat dianggap lalai secara hukum (culpa lata) apabila tidak melakukan pemeriksaan memadai atas kondisi transaksi yang tidak lazim tersebut.

Namun demikian, unsur kehati-hatian perlu  diterapkan dalam menilai kondisi objektif yang mungkin membenarkan harga murah, seperti:

  • Barang hasil lelang atau likuidasi,

  • Barang dengan cacat fungsi atau rusak,

  • Barang bekas dengan umur ekonomis rendah,

  • Diskon musiman yang dibuktikan dengan dokumen sah.

IV. KESIMPULAN

  1. Pembelian barang dengan harga yang jauh dibawah harga pasarannya dapat dijadikan dasar pembuktian terhadap terpenuhinya unsur “patut diduga” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 480 KUHP.

  2. Penilaian atas unsur “patut diduga” bersifat objektif dan didasarkan pada prinsip kehati-hatian  yang seharusnya diterapkan dalam transaksi jual beli.

  3. Ketidakmampuan pembeli untuk menjelaskan mengapa ia tidak mencurigai kondisi transaksi yang tidak lazim dapat digunakan sebagai alat bukti adanya kelalaian hukum yang dapat dikenakan pertanggungjawaban pidana.

V. SARAN HUKUM

  1. Pihak yang melakukan pembelian barang, apapun itu barangnya harus melakukan pemeriksaan kelayakan (due diligence) dengan cara:

    • Meminta dokumen asal-usul barang,

    • Membandingkan harga pasar,

    • Merekam atau menyimpan bukti transaksi.

  2. Aparat Penegak hukum sebaiknya tidak hanya menilai dari aspek harga, tetapi juga memperhatikan konteks keseluruhan transaksi dan dokumen supaya tidak terjadi kriminalisasi terhadap pembeli yang beritikad baik.

  3. Diperlukan pengaturan tambahan atau pedoman teknis dari otoritas penegakan hukum untuk memperjelas parameter “patut diduga” guna mendukung penerapan yang konsisten dan adil di lapangan.

Salam 

Tim Advokat

Sumber: Advokat Aslam Fetra Hasan