Tuesday, 11 September 2018

Harta Pribadi Ditarik Sebagai Boedel Pailit


Harta Pribadi Ditarik Sebagai Boedel Pailit

Dalam hubungan utang piutang antara debitor (PT) dengan kreditor dimana pengurus dari debitor telah menjaminkan harta pribadinya sebagai jaminan utang dan dalam situasi adanya permohonan pailit oleh kreditor, dapatkah harta kekayaan pribadi dari debitor tersebut ditarik sebagai boedel pailit bagi pelunasan utang-utangnya?

Harta pribadi dari pengurus debitor yang telah dijaminkan kepada kreditor serta telah diikat sempurna dengan Hak Tanggungan maka harta pribadi dari pengurus debitor tersebut dikecualikan dari boedel pailit kecuali ditelantarkan oleh Kreditor. Obyek jaminan kebendaan berupa tanah dan bangunan yang telah diikat sempurna dengan Hak Tanggungan merupakan hak dari kreditor untuk pelunasan piutangnya dalam hal debitor wanprestasi sehingga dengan merujuk kepada ketentuan didalam pasal 55,56 dan 57 UU No 37 Tahun 2004 maka kreditor dapat melaksanakan haknya seolah-olah tidak ada kepailitan dan pelaksanaan atas hak ini dapat dilakukan dengan tetap memperhatikan masa tannguh serta debitor dinyatakan insolven dimana dalam kurun waktu 2 bulan setelah debitor ditetapkan insolven maka pelaksanaan hak dari kreditor sudah harus direalisasi.

Pengabaian ataupun penelantaran obyek jaminan oleh kreditor dalam masa insolven berakibat obyek jaminan dapat ditarik oleh kurator sebagai boedel pailit. Dalam hal ini kreditor tidak lagi selaku Kreditor Separatis namun berubah menjadi kreditor konkuren.  Harta pailit akan dibagi secara proporsional (pari passu pro rata parte) di antara kreditor konkuren

 
Salam
Aslam Hasan

Pikir-Pikir Ulang Dalam Mengajukan Kasasi Keberatan Terhadap Pengesahan Perdamaian Dalam PKPU


Pikir-Pikir Ulang Dalam Mengajukan Kasasi Keberatan Terhadap Pengesahan Perdamaian Dalam PKPU

Dalam tahapan PKPU Tetap dimana jangka waktu yang diberikan sudah jatuh tempo maka hanya ada 3 opsi yang dapat dipilih oleh Kreditor apakah Debitor akan dipailitkan atau perpanjangan PKPU Tetap atau Homologasi Perdamaian yang dicapai. Sebagaimana diketahui bersama bahwa bila opsi Homologasi perdamaian yang dicapai maka mekanismenya dapat dalam bentuk Voting dengan ketentuan minimal ½ dari Kreditor Konkuren dan ½ dari kreditor tersebut nilai tagihannya mewakili 2/3 dari keseluruhan nilai tagihan ditambah dengan minimal ½ dari Kreditor Separatis dan ½ dari kreditor tersebut nilai tagihannya mewakili 2/3 dari keseluruhan nilai tagihan

Bagaimana tehadap kreditor yang tidak menyetujui terjadinya Homologasi Perdamaian ini? Apakah ada upaya hukum yang dapat ditempuh?

Sekali lagi penulis sampaikan bahwa terhadap upaya homologasi perdamaian memang terdapat upaya hukum yang dapat ditempuh yakni melalui mekanisme Pasal 285 ayat (2)  melalui jalur kasasi namun pembuktiannya tidak mudah ditambah lagi pihak keberatan terhadap pengesahan perdamaian dalam PKPU harus dapat membuktikan adanya alasan untuk menolak perdamaian dan mekanisme homologasi perdamaian tercapai dengan kuorom untuk persetujuan perdamaian. Suatu upaya yang panjang tentunya!!


Sekali lagi ketentuan pasal 285 ayat 2 sbb:

Pengadilan wajib menolak untuk mengesahkan perdamaian, apabila:

a.       harta Debitor, termasuk benda untuk mana dilaksanakan hak untuk menahan benda, jauh lebih besar daripada jumlah yang disetujui dalam perdamaian;

b.      pelaksanaan perdamaian tidak cukup terjamin;

c.       perdamaian itu dicapai karena penipuan, atau persekongkolan dengan satu atau lebih Kreditor,

atau karena pemakaian upaya lain yang tidak jujur dan tanpa menghiraukan apakah Debitor atau

pihak lain bekerja sama untuk mencapai hal ini; dan/atau

d.      imbalan jasa dan biaya yang dikeluarkan oleh ahli dan pengurus belum dibayar atau tidak diberikan jaminan untuk pembayarannya

  
Salam
Aslam Hasan

 

Sunday, 9 September 2018

Ingat Syarat Utama Dalam Tercapainya Homologasi Perdamaian!!


Ingat Syarat Utama Dalam Tercapainya Homologasi Perdamaian!!

Dalam konteks PKPU, didalam tahapan PKPU sementara ataupun dilanjukkan dalam tahapan PKPU tetap, momen-momen seperti inilah yang harus dimaksimalkan oleh Debitor (dalam PKPU) untuk dapat menyajikan proposal perdamaian yang baik serta dapat diterima oleh para kreditornya. Debitor yang masih memiliki itikad baik, prospek usaha yang bagus namun hanya terkendala oleh kemampuan memenuhi kewajiban yang seret tentunya akan memaksimalkan kesempatan yang diberikan oleh para kreditornya ini untuk menyusun dan menyampaikan proposal perdamaian yang dapat diterima sehingga kelangsungan usahanya dapat terus berjalan.

Tentunya didalam penyusunan dan penyajian proposal perdamaian yang baik tidak selamanya dapat memenuhi harapan dari semua kreditor, dalam prakteknya masih saja terdapat beberapa kreditor yang menolak proposal perdamaian yang diajukan. Apalagi keadaan penolakan ini terus berlanjut sampai dengan tenggat waktu PKPU tetap berakhir maka keadaaan yang tidak diharapkan (pailit) adalah suatu keniscayaan yang pasti terjadi.

 Jadi bagi debitor selain harus dapat menyusun proposal perdamaian yang baik berdasarkan keterbukaan informasi keuangannya, cashflow serta prospek bisnis yang masih menjanjikan bila diberikan perdamaian,  proposal tersebut juga harus dapat disasar untuk dapat diterima dan memuaskan minimal   ½ dari jumlah kreditor konkuren dan ½ dari kreditor konkuren tersebut nilai tagihannya memenuhi minimal 2/3 dari keseluruhan nilai tagihan yang ada ditambah juga dengan minimal ½ dari jumlah kreditor Separatis dan ½ dari kreditor tersebut nilai tagihannya memenuhi minimal 2/3 dari keseluruhan nilai tagihan yang ada bilamana voting ditempuh.

Cukup proposal perdamaian disasar dengan ke kuorum diatas dan tidak perlu berangan-angan dapat diterima oleh seluh kreditor maka praktis Homologasi perdamaian berjalan

Mari bersama-sama kembali mencermati ketentuan pasal 281 UU No 37 Tahun 2004

Pasal 281

(1) Rencana perdamaian dapat diterima berdasarkan:

a. persetujuan lebih dari 1/2 (satu perdua) jumlah kreditor konkuren yang haknya diakui atau sementara diakui yang hadir pada rapat Kreditor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 268 termasuk Kreditor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 280, yang bersama-sama mewakili paling sedikit 2/3 (dua pertiga) bagian dari seluruh tagihan yang diakui atau sementara diakui dari kreditor konkuren atau kuasanya yang hadir dalam rapat tersebut; dan

b. persetujuan lebih dari 1/2 (satu perdua) jumlah Kreditor yang piutangnya dijamin dengan gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya yang hadir dan mewakili paling sedikit 2/3 (dua per tiga) bagian dari seluruh tagihan dari Kreditor tersebut atau kuasanya yang hadir dalam rapat tersebut.

Salam
Aslam Hasan

Monday, 3 September 2018

PERJANJIAN KERJA SECARA LISAN DALAM PRAKTEK SAAT INI!!


PERJANJIAN KERJA SECARA LISAN DALAM PRAKTEK SAAT INI!!


Sudah cukup jamak dan diketahui bersama bahwa perjanjian kerja umumnya dibuat dan disusun secara tertulis, tetapi kadang-kadang dan ini memang ditemui oleh penulis sendiri bahwa masih ada juga perjanjian kerja yang disampaikan secara lisan. Kalau sudah begini bagaimana solusinya yang terbaik bagi kedua belah pihak (Pengusaha dan Karyawan)??
 

Bila ditelisik lebih dalam ternyata di dalam Undang Undang No. 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan (UUKK) membolehkan adanya suatu bentuk perjanjian kerja dalam bentuk lisan dan  tentunya sepanjang hal tersebut juga wajib dibuatkan / disertakan surat pengangkatan bagi pekerja bersangkutan yang berisi antara lain :

  1. Nama dan alamat pekerja;
  2. Tanggal mulai bekerja;
  3. Jenis pekerjaan dan;
  4. Besarnya upah (Pasal 63 UUKK)

Sedangkan untuk pekerjaan-pekerjaan yang dapat diselesaikan dalam waktu tertentu dan pengusaha bermaksud mempekerjakan karyawan untuk waktu tertentu (PKWT), maka perjanjian kerjanya tentu saja tidak boleh dibuat secara lisan. Apabila perjanjian kerja  dibuat secara lisan maka perjanjian kerja  tersebut berubah menjadi perjanjian kerja  waktu tidak tertentu (PKWTT) dan pekerja tersebut menjadi pekerja permanen di perusahaan tersebut

Salam

Aslam Hasan

Wednesday, 29 August 2018

Tinjauan Ringkas Hak Kreditor Pemegang Jaminan Kebendaan Dalam Kepailitan


Tinjauan Ringkas Hak Kreditor Pemegang Jaminan Kebendaan Dalam Kepailitan

Sebagai bahan penyegaran kembali bersama khususnya bagi penulis pribadi karena kemaren siang  ada persidangan menangani proses Kepailitan dan mewakili Kreditor….

Untuk jaminan Fidusia, Hak yang didahulukan dari kreditor penerima fidusia tidak hapus karena adanya kepailitan dan/atau likuidasi debitor pemberi fidusia. Pemberian hak didahulukan kepada kreditor penerima fidusia merupakan perwujudan dari asas droit de preference yang tertuang dalam Pasal 1134 ayat (2) KUHPer yang berbunyi sebagai berikut:

Hak istimewa ialah suatu hak yang oleh undang-undang diberikan kepada seorang berpiutang sehingga tingkatnya lebih tinggi daripada orang yang berpiutang lainnya, semata-mata berdasarkan sifat piutangnya. Gadai dan hipotik (sekarang ini diperluas hingga setiap obyek jaminan kebendaan diantaranya Jaminan Fidusia dan Hak Tanggungan) adalah lebih tinggi daripada hak istimewa, kecuali dalam hal-hal di mana oleh Undang- Undang ditentukan sebaliknya
 
Dalam hal debitor pemberi fidusia dinyatakan pailit oleh putusan pengadilan niaga maka kreditor pemegang jaminan fidusia berkedudukan sebagai kreditor separatis, yaitu kreditor yang dipisahkan dari kreditor lainnya oleh sebab adanya jaminan kebendaan yang menjamin piutangnya. Lebih lanjut hak kreditor penerima fidusia dalam kepailitan diatur dalam Pasal 55 ayat (1) UU Kepailitan yang menyatakan sebagai berikut:

“Dengan tetap memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56, Pasal 57, dan Pasal 58, setiap kreditor pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya, dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan.”
 
Salam

AFH

Wednesday, 22 August 2018

Yang Patut Dicermati dan Di Pahami Mengenai Perjanjian Perkawinan!!


Yang Patut Dicermati dan Di Pahami Mengenai Perjanjian Perkawinan!!

Setelah berkutat dengan persoalan bisnis maka sejenak pikirin direhatkan oleh persoalan Hukum Perkawinan. Dalam kesempatan ini mari bersama-sama menyimak dan mengetahui ketentuan-ketentuan umum yang harus ada dan perlu dipahami mengenai perjanjian perkawinan.

Dalam suatu ketentuan didalam perjanjian perkawinan jamak ditemukan klausul bahwa Antara para pihak tidak akan terjadi percampuran harta bawaan, harta yang diperoleh karena warisan atau hibahan maupun harta yang diperoleh selama perkawinan. Ketentuan /klausul ini perlu ditegaskan dan dimaknai bahwa segala sesuatu  harta bawaan merupakan hak dari masing-masing pihak.Oleh karenanya maka segala aset dan pasiva / kewajiban atau  hutang dari masing-masing pihak meskipun ada terjadi sebelum dan sesudah perkawinan dilakukan tetap menjadi hak atau  tanggungan masing-masing pihak

Bicara Mengenai Hak dan Kewajiban

Bahwa para pihak memiliki hak yang sama untuk melakukan pengurusan maupun penguasaan terhadap harta kekayaannya sendiri dan tentu bilamana dimanfaatkan secara produktif hingga menghasilkan maka segala penghasilan dan pendapatannya untuk dirinya sendiri

Terlepas dari hak yang dimiliki oleh para pihak terhadap harta kekayaannya maka sebagai seorang suami tetap berkewajiban untuk melindungi istri dan memberikan segala sesuatu keperluan hidupnya dalam berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. Serta seorang istri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya.
 
Sekian intermesso kali ini.

Salam
AFH

Monday, 16 July 2018

Awas dan Hati-hati bila Mengalihkan, Menggadaikan dan Menyewakan Obyek Benda Jaminan Fidusia bisa Berbuah Pidana!!


Awas dan Hati-hati bila Mengalihkan, Menggadaikan dan Menyewakan Obyek Benda Jaminan Fidusia bisa Berbuah Pidana!!

 
Acap kali kita temui dalam kehidupan bertetangga, sebut saja si A yang baru disetujui pengajuan kreditnya di sebuah perusahaan pembiayaan untuk memiliki mobil keluaran terbaru dari Toyota yakni Avanza yang tidak hanya dikendarai sendiri namun juga ternyata dikomersialkan kembali kepada pihak ketiga baik dipinjamkan sebagai jaminan ataupun disewakan dengan dalih memberdayakan omset pribadi yang kesemuanya dilakukan tanpa adanya persetujuan terlebih dahulu dari perusahaan pembiayaan selaku pemberi kredit dan penerima jaminan fidusia.

Pada awalnya semua berjalan lancar dan tidak ada permasalahan yang berarti namun ketika pemenuhan kewajiban setiap bulannya dari si A mengalami keterlambatan dan sudah diupayakan berulangkali dari pihak perusahaan pembiayaan untuk dilakukan penagihan namun menemui jalan buntu dan upaya terakhir yang ditempuh oleh perusahaan pembiayaan untuk meminimalisir kerugian yang dideritanya yakni dengan dilakukan penarikan terhadap kendaraan milik si A namun kendaraan yang akan ditarik tersebut ternyata tidak ada di tangan si A maka timbullah permasalahan baru yang pelik karena dihadapkan pada penegakan aturan hukum di bidang FIDUSIA dalam bentuk PIDANA FIDUSIA.
 
Dalam hal pemberi obyek fidusia yang mengalihkan, menggadaikan ataupun menyewakan benda yang menjadi obyek jaminan fidusia tanpa adanya persetujuan dari penerima fidusia maka sangsinya adalah PIDANA.

Ketentuan pasal 23 ayat 2:
''Pemberi Fidusia dilarang mengalihkan, menggadaikan, atau menyewakan kepada pihak lain Benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia yang tidak merupakan benda persediaan, kecuali dengan persetujuan tertulis terlebih dahulu dari Penerima Fidusia''

Dalam hal obyek fidusia yang terbukti secara sah dan menyakinkan tidak berada di tangan pemberi fidusia maka unsur mengalihkan didalam pasal 23 tersebut sudah terpenuhi maka sangsinya yang diberikan dapat merujuk kepada pasal 36 sbb:

Pasal 36
''Pemberi Fidusia yang mengalihkan, menggadaikan, atau menyewakan Benda yang menjadi obyek jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam pasal 23 ayat (2) yang dilakukan tanpa persetujuan tertulis terlebih dahulu dari Penerima Fidusia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah)''
 
Dalam yurisprudensi dapat kita simak putusan nomor 121 PK/Pid.Sus /2015 adalah:
Bahwa alasan alasan permohonan Peninjauan Kembali Pemohon merupakan fakta aquo, fakta hukum yang telah dipertimbangkan dengan tepat dan benar oleh Majelis Hakim, bahwa Pemohon Peninjauan Kembali telah terbukti melakukan perbuatan tanpa hak mengalihkan benda yang menjadi obyek jaminan fidusia dalam bentuk mobil CRV dari PT. Astra Sedaya Malang, yang dalam kasus dipermasalahkan Pemohon Peninjauan Kembali in Casu, tidak menggadaikan atau tidak menggadaikan, menjual atau tidak menjual, yang dalam kasus in Casu Pemohon Peninjauan Kembali telah meminjamkan kepada orang lain dalam bentuk meminjamkan murni atau karena alasan alasan keuangan apapun namanya, tetapi tanpa hak mengalihkan berupa jaminan atau mobil tersebut dari Pemohon Peninjauan Kembali telah nyata terjadi, karenanya alasan alasan keberatan Pemohon Peninjauan Kembali dalam permohonan Peninjauan Kembali Pemohon, menjadi tidak dapat dibenarkan.

Dengan demikian Dalam hal pemberi obyek fidusia yang mengalihkan, menggadaikan ataupun menyewakan benda yang menjadi obyek jaminan fidusia tanpa adanya persetujuan dari penerima fidusia maka sangsinya adalah PIDANA.

Salam

Aslam Hasan