Thursday, 30 April 2020

PENGUSAHA WAJIB TAHU BEDA PKPU & KEPAILITAN

PENGUSAHA WAJIB TAHU BEDA PKPU & KEPAILITAN


Untuk Kepailitan, merujuk pada definisinya, kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas.

Sedangkan , PKPU yakni upaya debitur mengajukan permohonan ke pengadilan untuk menunda kewajiban pembayaran utang dengan maksud untuk mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utang kepada kreditur.

Lebih lanjut, berikut terdapat empat perbedaan utama antara kepailitan dan PKPU. 
Pertama, dalam tahapan kepailitan mengenal adanya upaya hukum terhadap putusan majelis hakim Pengadilan Niaga, sedangkan PKPU tidak mengenal adanya upaya hukum apapun.
Dasar Hukum:
Merujuk pada Pasal 11 ayat (1) UU Nomor 37 Tahun 2004 memberi peluang kepada pemohon atau termohon mengajukan kasasi jika merasa tidak puas atas putusan majelis hakim Pengadilan Niaga. Setelah kasasi, pemohon atau termohon masih diberikan kesempatan untuk mengajukan peninjauan kembali atas putusan yang telah berkekuatan hukum tetap.


Kedua, UU Nomor 37 Tahun 2004 mengatur bahwa pengurusan atas harta debitur dalam kepailitan adalah kurator. Sementara dalam proses PKPU yang melakukan pengurusan harta debitor adalah pengurus.

Ketiga, dalam kepailitan, debitor kehilangan haknya untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang termasuk dalam harta pailit (boedel pailit) . Sedangkan dalam PKPU, debitor masih dapat melakukan pengurusan terhadap hartanya selama mendapatkan persetujuan dari pengurus (setiap tindakan oleh pengurus perseroan dalam menjalankan aktifitas usahanya harus diketahui dan mendapatkan persetujuan dari pengurus) 

Keempat, kepailitan tidak mengenal batas waktu tertentu terkait penyelesaian seluruh proses kepailitan setelah putusan Pengadilan Niaga. Sebaliknya, PKPU mengenal batas waktu yakni PKPU dan perpanjangannya tidak boleh melebihi 270 hari setelah putusan PKPU sementara diucapkan.

AHP|ADVOKAT berpengalaman dalam setiap penanganan perkara terkait kepailitan dan PKPU. Percayakan penyelesaian masalah anda kepada tim AHP|ADVOKAT. Segera hubungi:
Hp/WA: 081905057198
Email:a.f.hasanlawoffice@gmail.com

Sunday, 26 April 2020

Reschedule Sebagai Solusi Kredit Macet

Reschedule Sebagai Solusi Kredit Macet

Kredit macet merupakan risiko yang dihadapi saat debitor mengajukan kredit. Salah satu penyebab dari Kredit macet sering kali terjadi karena pengaturan cashflow debitor yang kurang tetap sehingga diakhir jadwal pemenuhan kewajibannya akan kesulitan dalam membayar kredit. 

Ada berbagai macam upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi hal ini, salah satunya yakni dengan mengajukan permohonan reschedule kredit. 

Reschedule atau penjadwalan kembali kredit adalah pengubahan jadwal pembayaran kredit atau perubahan jangka waktu pemenuhan kewajiban. Reschedule kredit merupakan bagian dari restrukturisasi kredit. 

Dalam reschedule kredit, Jangka waktu kredit yang Anda punya bisa diperpanjang menurut kebijakan bank. Dengan perpanjangan jangka waktu kredit, maka kewajiban angsuran kredit setiap bulannya akan berkurang sehingga debitor diharapkan dapat mengatur kembali cashflownya
AHP|ADVOKAT
Registered Indonesian Advokat
HP/WA:081905057198

Saturday, 25 April 2020

Tinjauan Ringkas Hak Kreditor Pemegang Jaminan Kebendaan Dalam Kepailitan

Tinjauan Ringkas Hak Kreditor Pemegang Jaminan Kebendaan Dalam Kepailitan

Untuk jaminan Fidusia, Hak yang didahulukan dari kreditor penerima fidusia tidak hapus karena adanya kepailitan dan/atau likuidasi debitor pemberi fidusia.

Pemberian hak didahulukan kepada kreditor penerima fidusia merupakan perwujudan dari asas droit depreference yang tertuang dalam Pasal 1134 ayat (2) KUHPer yang berbunyi sebagaiberikut:
“Hak istimewa ialah suatu hak yang oleh undang-undang diberikan kepada seorang berpiutang sehingga tingkatnya lebih tinggi daripada orang yang berpiutang lainnya, semata-mata berdasarkan sifat piutangnya. Gadai dan hipotik (sekarang ini diperluas hingga setiap obyek jaminan kebendaan diantaranya Jaminan Fidusia dan Hak Tanggungan) adalah lebih tinggi daripada hak istimewa, kecuali dalam hal-hal di mana oleh Undang-Undang ditentukan sebaliknya. 

Dalam hal debitor pemberi fidusia dinyatakan pailit oleh putusan pengadilan niaga maka kreditor pemegang jaminan fidusia berkedudukan sebagai kreditor separatis, yaitu kreditor yang dipisahkan dari kreditor lainnya oleh sebab adanya jaminan kebendaan yang menjamin piutangnya. Lebih lanjut hak kreditor penerima fidusia dalam kepailitan diatur dalam Pasal 55 ayat (1) UU Kepailitan yang menyatakan sebagai berikut:
“Dengan tetap memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56, Pasal 57, dan Pasal 58, setiap kreditor pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya, dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan.”

AHP|ADVOKAT
Registered Indonesian Advokat

Wednesday, 22 April 2020

Kompetensi Pengadilan Niaga VS Pengadilan Negeri:Salah Mengajukan Gugatan Akibatnya Gugatan Ditolak!! 

Kompetensi Pengadilan Niaga VS Pengadilan Negeri:Salah Mengajukan Gugatan Akibatnya Gugatan Ditolak!! 

Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili perkara Kepailitan yang berkenaan dengan budel Pailit. 

Untuk pokok perkara gugatan sepanjang mengenai harta yang termasuk dalam budel pailit seharusnya gugatan diajukan ke Pengadilan Niaga.


Sesuai ketentuan Pasal 3 ayat (1) jo. Penjelasan Pasal 3 ayat (1) jo. Pasal 1 angka (7) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, adalah :
- Pasal 3 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU, yang menyatakan : ‘Putusan atas Permohonan Pernyataan Pailit dan hal-hal lain yang berkaitan dengan dan/atau diatur dalam Undang-Undang ini, diputuskan oleh Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi daerah tempat kedudukan hukum debitor.’
- Pasal 1 angka (7) UU Kepailitan dan PKPU yang menyatakan : ‘Pengadilan adalah Pengadilan Niaga dalam ruang lingkup peradilan umum.’
- Penjelasan Pasal 3 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU, yang menyatakan : “Yang dimaksud dengan ‘hal-hal lain’ adalah antara lain:
- Actio Pauliana;
- Perlawanan Pihak Ketiga; atau
- Perkara dimana Debitor, Kreditor, Kurator atau Pengurus, menjadi salah satu pihak dalam perkara yang berkaitan dengan harta pailit;
- Termasuk gugatan Kurator terhadap Direksi yang menyebabkan Perseroan 
dinyatakan pailit karena kelalaiannya atau kesalahannya.


Kesimpulan :
Dengan mendasarkan pada Pasal 3 ayat (1) jo. Penjelasan Pasal 3 ayat (1) jo. Pasal 1 angka (7) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, maka pengajuan ‘gugatan hal- hal lain’ utk kompetensi Pengadilan yang berwenang adalah Pengadilan Niaga.

AHP |ADVOKAT 

Tuesday, 21 April 2020

Dapatkah Hubungan Antara Pemberi Kerja dan Pekerja Harmonis Kembali Setelah Selesai Berselisih di Pengadilan Hubungan Industrial?? (Realita Yang Dipaksakan) 

Dapatkah Hubungan Antara Pemberi Kerja dan Pekerja Harmonis Kembali Setelah Selesai Berselisih di Pengadilan Hubungan Industrial?? (Realita Yang Dipaksakan) 


Suatu perselisihan hubungan industrial antara pekerja dengan pemberi kerja dimana pekerja di PHK dan kemudian pihak pekerja mengajukan penyelesaian perselisihan hubungan industrial ke Pengadilan Hubungan Industrial dengan dalih “Pemutusan hubungan kerja batal demi hukum” dengan berdasarkan pada ketentuan Pasal 155 ayat (1) dan 170 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, 

yang konsekuensi hukumnya adalah kembali masuk bekerja seperti sedia kala maka, sudah dapat dipastikan bila permintaan pekerja dikabulkan oleh Pengadilan Hubungan Industrial, hubungan kerja yang ada kedepannya akan tetap menimbulkan konflik ketenagakerjaan yang berkepanjangan yang pada akhirnya akan merugikan para pihak sehingga, jalan keluar yang terbaik dan bermanfaat bagi kedua belah pihak adalah ‘PUTUS’ hubungan kerja antara Pekerja dengan Pemberi Kerja. 

Merujuk pada Penjelasan Umum Alinea III Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, maka penyelesaian yang adil dalam suatu perselisihan PHK adalah, Majelis Hakim pemeriksa perkara menyatakan ‘PUTUS’ hubungan kerja antara Pekerja dengan Pemberi Kerja terhitung sejak putusan diucapkan.

AHP |ADVOKAT
HP:081905057198


Mogok Kerja Yang Masuk Dalam Kategori / Dikualifikasikan Mengundurkan Diri

Mogok Kerja Yang Masuk Dalam Kategori / Dikualifikasikan Mengundurkan Diri

Mogok kerja yang dilakukan secara tidak sah serta pihak pemberi kerja telah memanggil Para pekerja yang mogok sebanyak 2 (dua) kali namun ternyata dalam waktu 7 (tujuh) hari lebih Para pekerja yang mogok tidak bersedia masuk kerja sehingga tindakan pemutusan hubungan kerja oleh pemberi kerja dalam bentuk PHK yang dikualifikasikan sebagai mengundurkan diri adalah sah sebagaimana dimaksud ketentuan Pasal 142 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 jo. Pasal 6 Kepmenakertrans Nomor232/Men/2003

AHP |ADVOKAT
Hp/Wa:081905057198

PHK Yang Dikualifikasi Sebagai Mengundurkan Diri.

PHK Yang Dikualifikasi Sebagai Mengundurkan Diri.

Seorang pekerja yang dikualifikasi mengundurkan diri oleh pemberi kerja  yakni harus terdapat dua syarat minimum yang sifatnya imperatif serta kumulatif untuk dapat diputus hubungan kerjanya (PHK) karena dikualifikasi sebagai “mengundurkan diri”, yakni:
- Pekerja mangkir selama 5 (lima) hari kerja atau lebih berturut-turut tanpa keterangan secara tertulis yang dilengkapi dengan bukti yang sah;
- Pengusaha tidak melarang pekerja bersangkutan untuk masuk bekerja; dan
- Telah dipanggil oleh pengusaha 2 (dua) kali secara patut dan tertulis.

AHP|ADVOKAT
Hp/WA wwe: 081905057198