Showing posts with label PHK. Show all posts
Showing posts with label PHK. Show all posts

Tuesday, 21 April 2020

Dapatkah Hubungan Antara Pemberi Kerja dan Pekerja Harmonis Kembali Setelah Selesai Berselisih di Pengadilan Hubungan Industrial?? (Realita Yang Dipaksakan) 

Dapatkah Hubungan Antara Pemberi Kerja dan Pekerja Harmonis Kembali Setelah Selesai Berselisih di Pengadilan Hubungan Industrial?? (Realita Yang Dipaksakan) 


Suatu perselisihan hubungan industrial antara pekerja dengan pemberi kerja dimana pekerja di PHK dan kemudian pihak pekerja mengajukan penyelesaian perselisihan hubungan industrial ke Pengadilan Hubungan Industrial dengan dalih “Pemutusan hubungan kerja batal demi hukum” dengan berdasarkan pada ketentuan Pasal 155 ayat (1) dan 170 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, 

yang konsekuensi hukumnya adalah kembali masuk bekerja seperti sedia kala maka, sudah dapat dipastikan bila permintaan pekerja dikabulkan oleh Pengadilan Hubungan Industrial, hubungan kerja yang ada kedepannya akan tetap menimbulkan konflik ketenagakerjaan yang berkepanjangan yang pada akhirnya akan merugikan para pihak sehingga, jalan keluar yang terbaik dan bermanfaat bagi kedua belah pihak adalah ‘PUTUS’ hubungan kerja antara Pekerja dengan Pemberi Kerja. 

Merujuk pada Penjelasan Umum Alinea III Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, maka penyelesaian yang adil dalam suatu perselisihan PHK adalah, Majelis Hakim pemeriksa perkara menyatakan ‘PUTUS’ hubungan kerja antara Pekerja dengan Pemberi Kerja terhitung sejak putusan diucapkan.

AHP |ADVOKAT
HP:081905057198


Sunday, 23 June 2019

PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA


PHK
Garuda Indonesia Tak Punya Dasar Hukum PHK Pramugari karena Berat Badan
2019-06-06 04:03:19
 
JAKARTA, Berita HUKUM - Pramugari dari maskapai penerbangan Garuda Indonesia, Bonitha Sary (51) yang telah bekerja dan mengabdi sebagai Pramugari selama 28 tahun mengaku sangat kecewa dan menyesalkan sikap dari managemen PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk merupakan perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang melakukan PHK sepihak terhadap dirinya.
 
Melalui siaran persnya pada, Rabu (5/6), Bonitha mengaku Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang diterimanya itu tidak memilik kekuatan dasar hukum. "Mereka gugat saya ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) karena mereka tidak mempunyai alasan yang kuat untuk memutus hubungan kerja dengan saya," kata Bonitha.
 
Bonitha menceritakan awalnya pada 14 November 2018, ia digugat pihak PT Garuda Indonesia melalui kuasa hukum perusahaan itu, Kemalsjah Siregar di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri (PN) Serang Klas IA, Bateng. Sampai saat ini, kasus tersebut masih diproses di PN Serang, Banten.
 
Kemalsjah dalam surat gugatannya, mengatakan, pihaknya mengajukan gugatan kepada Bonitha (Bhonita yang ditulis Kemalsjah) untuk memperoleh dasar hukum yang kuat untuk memutus hububungan kerja dengan Bonitha.
 
Pihaknya melakukan PHK atas Bonitha karena Bonitha kelebihan berat badan sekitar 4 kg dari batas maksimal yang ditentukan pihak Garuda Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Surat Keputusan EVP Business Support & Corporate Affairs tertanggal 30 Agustus 2005, bahwa batas maksimum toleransi penyimpangan persyaratan berat badan Awak Kabin Wanita yang berusia 31-50 tahun dan memiliki tinggi badan 160 cm adalah 56,32 kg. Bonitha memiliki tinggi badan 160 cm namun berat badannya 60 kg.
 
Kemalsjah dalam permohonannya kepada majelis hakim, meminta majelis hakim agar permintaannya melakukan PHK atas Bonitha dikabulkan. "Menyatakan, hubungan kerja antara penggugat (PT Garuda Indonesia) dengan tergugat (Bonitha) putus sejak tanggal majelis hakim memutuskan perkara ini," tulis Kemalsjah.
 
Tidak Punya Dasar Hukum
 
Bonitha dalam eksepsinya (jawaban atas gugatan Kemalsjah) mengatakan, alasan dan dasar hukum penggugat melakukan PHK atas dirinya karena kelebihan berat badan bukanlah termasuk pelanggaran kerja yang dapat dilakukan PHK oleh penggugat (Garuda Indonesia).

PHK sebeum mencapai usia pensiun normal, kata Bonitha, adalah hak pekerja (pegawai), sebagaimana diatur dalam Pasal 58 Perjanjian Kerja Bersama (PKB) perusahaan hanya bersifat mengusulkan. "Sehingga keputusan sepenuhnya ada di tangan pekerja atau pegawai," jelas Bonitha.

Bonitha mengatakan, pihak PT Garuda Indonesia melakukan PHK terhadap dirinya seharusnya memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada, antara lain:
 
Pertama, Pasal 87 ayat (1) UU Nomor 9 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara menyatakan, "Karyawan BUMN merupakan pekerja BUMN yang pengangkatan, pemberhentian, kedudukan, hak dan kewajiban ditetapkan berdasarkan perjanjian kerja bersama sesuai peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan".
 
Kedua, Pasal 6 ayat (1) huruf bm Hak dan Kewajiban Perusahaan PKB 2014-2016 PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk, disebutkan, "Mengangkat dan memberhentikan pegawai berdasarkan peraturan perundang-undangan dan PKB".
 
Ketiga, Pasal 56 ayat (1) jenis PHK PKB 2014 - 2016 PT Garuda Indonesia menyebutkan bawa PHK antara pegawai dengan perusahaan dengan alasan : memenuhi persyaratan pensiun normal, karena sebelum usia pensiun normal, PHK atas permintaan sendiri, PHK karena melakukan pelanggaran disiplin, PHK karena ditahan pihak berwajib, PHK karena pegawai meninggal dunia, PHK karena pekerja mangkir selama 10 hari berturut-turut, PHK karena pekerja menderita sakit berkepanjangan, dan PHK karena tidak tersedianya formasi CDTP.

Menurut Bonitha, Surat Keputusan EVP Business Support & Corporate Affairs tertanggal 30 Agustus 2005 dan Persyaratan Jabatan Awak Kabin Tahun 1999 dan 2005 yang menjadi dasar bagi penggugat untuk melakukan PHK atas dirinya, sudah tidak berlaku lagi karena sudah ada PKB 2014 - 2016.
 
Dalam PKB 2014 - 2016 diatur bahwa persyaratan dan /atau selama menduduki suatu jabatan meliputi : pengetahuan, keterampilan, pengalaman, perilaku dan masa kerja aktif. "Dari ketentuan tersebut terlihat jelas dan terang benderang bahwa persyaratan kompetensi jabatan di PT Garuda Indonesia, Tbk tidak mengatur tentang berat badan," tegas Bonitha.
 
Bonitha menegaskan, pihak penggugat mem-PHK dirinya diduga kuat lebih karena ia aktif sebagai pengurus Ikadan Awak Kabin Garuda Indonesia (Ikagi) sejak 2004 - 2015, dimana pada periode 2012 - 2015 Bonitha menjabat sebagai Ketua Umum Ikagi. Selama menjadi pengurus dan sampai saat ini Bonitha sangat berani dan kritis atas semua penyimpangan yang dirakan seluruh awak kabin Garuda Indonesia
 
Berdasarkan uraian itu, tegas Bonitha bahwa, penggugat melakukan PHK atas dirinya sama sekali tidak mempunyai dasar hukum sebagaimana diatur PKB dan undang-undang. "Karena itulah mereka mengajukan gugatan ke pengadilan, supaya mempunyai dasar hukum. Semoga hakim mempunyai hati nurani, dengan demikian gugatan mereka ditolak," pinta Bonitha.
 
Banyak Keanehan
 
Pemberi kerja (pengusaha) menggugat pekerja sebagai dasar untuk melakukan PHK, merupakan sesuatu tidak lazim atau aneh. Yang sering terjadi, antara lain, pertama, pemberi kerja melakukan PHK karena pekerja ingkar janji (wanprestasi) sebagaimana diatur dalam perjanjian kerja bersama (PKB).
 
Kedua, pekerja melanggar peraturan perusahaan, seperti melakukan tindak pidana, tidak disiplin dan sebagainya.
 
Menurut Bonitha, banyak sekali keanehan yang ia alami dalam menghadapi gugatan PT Garuda Indonesia sebagai tempat mendapatkan makan sejak tahun 1990.
 
Pada 15 Maret 2019 ia menerima surat panggilan sidang di PN Serang, melalui surat beralamat Jalan Kubis II No 10a Kebayoran Baru Jakarta Selatan.
 
Pada tanggal 18 Maret 2019 ia datang ke PN Serang dengan tujuan meminta materi gugatan, tetapi pihak pengadilan tidak memberi karena informasi pelayanan satu pintu, sidang sudah berjalan enam kali dengan panggilan atas dirinya delapan kali.
 
Sidang pertama yang mulai ia ikuti tanggal 27 Maret dan ia meminta materi gugatan ke majelis hakim. Dalam gugatan alamatnya ditulis salah yaitu di Jalan Grinting II Nomor 20 aa.
 
Bonitha mengatakan, ia tidak pernah menghadiri mediasi di Dinas Tenaga Kerja Kota Tangerang sebagai salah satu syarat gugatan diterima, karena Garuda memberikan alamat yang salah yaitu di Jalan Gerinting II.
 
Padahal sewaktu pertemuan dirinya Bipartit dirinya dengan pihak Garuda mengirimkan surat melalui pos di alamat Jl Kubis II No 10a.
 
"Tetapi kenapa saat mediasi dan mengajukan gugatan Garuda mengajukan di alamat Jalan Gerinting?. Pertanyaan kemudian, tiba-tiba PN Serang mengirim surat ke Jalan Kubis II No 10a dimana saya tinggal, kuasa hukum Garuda tahu dari mana? Saya menduga kuat pihak Garuda licik agar sidang tanpa kehadiran saya (verstek). Mereka tahu mereka lemah secara hukum. Semoga majelis hakim jujur dan punya hati nurani," ungkap Bonitha.

Oleh karena itu, kata Bonitha, anjuran mediator dari Dinas Kota Tangerang cacat hukum karena tidak dihadiri Bonitha bukan karena Bonitha tidak mau hadir, tetapi alamat yang mediator kirim salah. "Dan mediator dari Dinas Kota Tangerang tidak membaca risalah bipartit karena dalam risalah bipartit ada alamat saya," kata dia.
 
Menurut Bonitha, pihak PN Serang tidak berwewenang memeriksa dan mengadili perkaranya karena perjanjian pendidikan dan perjajian wajib kerja, maupun perjanjian tetap pegawai beralamat di wilayah hukum PN Jakarta Pusat. "Kalau Garuda mau jujur, semua perjanjian kerja buat pramugari penyelesaian di PN Pusat, saya banyak SK teman-teman tetapi tidak bisa jadikan bukti karena mereka takut, audit saja semua SK pramugari," cetus dia.
 
Selain itu, dalam gugatan dan di mediator Kota Tangerang data diri Bonitha ditulis salah, seperti nama Bhonitha Sary, alamat Jl, Gerinting II No 20, masa kerja sejak 24 Juni 1994, upah Rp 6.600.000,-.
 
Padahal yang benar adalah Bonitha Sary, alamat Jalan Kubis II Nomor 10, Kelurahan Gandaria Utara Kebayoran Baru, Jakarta Selatan (Jaksel), masa kerja sejak 12 April 1990 ( dibuktikan dari Sk, dan id card), upah Rp 7.021.000.(bh/mos)

 

Sumber Berita:


KAJIAN RINGKAS:

Dalam pemberitaan diatas beberapa hal yang dicermati yakni:

PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA

Dengan merujuk pada UU Ketenagakerjaan maka dalam ketentuan UU Ketenagakerjaan pengaturan mengenai PHK dapat dicermati di  dalam Pasal 151 sampai dengan pasal 155

Menurut UU No. 13 tahun 2003 mengenai Ketenagakerjaan, pihak perusahaan dapat saja melakukan PHK dalam berbagai kondisi seperti di bawah ini:
·         Pengunduran diri secara baik-baik atas kemauan sendiri 
·         Pengunduran diri secara tertulis atas kemauan sendiri karena berakhirnya hubungan kerja
·         Pengunduran diri karena mencapai usia pensiun.
·         Pekerja melakukan kesalahan berat
·         Pekerja ditahan pihak yang berwajib.
·         Perusahaan/perusahaan mengalami kerugian
·         Pekerja mangkir terus menerus
·         Pekerja meninggal dunia
·         Pekerja melakukan pelanggaran
·         Perubahan status, penggabungan, pelemburan atau perubahan kepemilikan 
·         Pemutusan Hubungan Kerja karena alasan Efisiensi
·         PHK sepihak oleh perusahaan

Dalam hal terjadinya PHK maka pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima.

 Upaya Penyelesaian Perselihan PHK

Perselisihan PHK merupakan salah satu bentuk Perselisihan hubungan industrial dimana wajib diupayakan penyelesaiannya terlebih dahulu melalui perundingan bipartit secara musyawarah untuk mencapai mufakat dan Dalam hal penyelesaian tidak mencapai kesepakatan, maka salah satu pihak dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Hubungan Industrial

Salam

AFH
 

 

Wednesday, 24 October 2018

INDAHNYA PERDAMAIAN DALAM PERSELISIHAN PHK


INDAHNYA PERDAMAIAN DALAM PERSELISIHAN PHK

Kali ini penulis selaku Advokat sedikit membantu dalam penyelesaian perselisihan PHK yang ujung-ujungnya berakhir damai, beberapa hal yang patut untuk disyukuri bahwa setiap perselisihan yang berakhir damai maka penyelesaiannya berdasarkan musyawarah dan mufakat serta kompensasi yang diberikan memuaskan dan yang paling utama adalah diantara para pihak yang berselisih tetap sepakat menjaga hubungan baik dan menjaga Rahasia Perusahaan (ini poin kritis yang paling utama)

Ya Indahnya perdamaian..

Salam
AFH
 

Aslam Hasan

Tuesday, 23 October 2018

Harap Diperhatikan Aspek Formil Daluarsanya Pengajuan Gugatan!!


Harap Diperhatikan Aspek Formil Daluarsanya Pengajuan Gugatan!!
Bahwa Macam-Macam Pemutusan Hubungan Kerja (Pengakhiran Hubungan Kerja) sesuai Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 :

• Diberhentikan;
• Meninggal Dunia;
• Mengundurkan diri;
• Dikualifikasikan Mengundurkan diri.

Apapun itu bentuk dari PHK nya maka, pihak yang di PHK berhak atas Uang Pesangon, Uang Penggantian Hak dan Uang Penghargaan Masa Kerja. Bahwa adanya pengusaha yang telah memutus hubungan kerja karyawannya secara sepihak serta diikuti dengan berbagai upaya perdamaian melalui mediasi, bipartit sampai tripartit  dan tetap tidak menemui jalan terang maka pihak yang merasa keberatan khususnya bagi karyawan yang di PHK masih terbuka upaya hukum melalui Pengadilan Hubungan Industrial untuk dapat memperjuangkan hak-haknya

Dalam memperjuangkan hak-haknya ini sekiranya harus sesegera mungkin dilaksanakan karena perjuangan suatu hak di medan pengadilan harus memperhatikan hukum acara yang berlaku Khususnya mengenai Daluarsanya mengajukan Gugatan.  Yang menjadi pokok perhatian mengapa gugatan /upaya hukum ini harus segera dilaksanakan yaitu mengingat adanya  Pasal 82 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 yang mengatur mengenai batas waktu pengajuan gugatan yang tidak boleh melewati tenggang waktu 1 (satu) tahun meskipun di satu sisi adanya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 100/PUU-X/2012 tanggal 19 September 2013, yang menyatakan tidak lagi mengikat secara hukum Pasal 96 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Terlepas dari 2 pasal dari ketentuan tersebut maka bila memang berniat untuk memperjuangkan hak-haknya maka tidak perlu ditunda lagi, segera laksanakan!!!

Salam
Aslam Hasan

 

Tuesday, 2 October 2018

PHK Dan Aturannya!


PHK Dan Aturannya!
PHK dan aturannya suatu judul yang penulis angkat hari ini berkenaan dengan proses bantuan hukum yang penulis tangani saat dalam mewakili salah satu klien di Pengadilan Hubungan Industrial Jakarta Selatan.
Proses punya proses ternyata perselisihan yang ada sudah berujung untuk tidak memungkinkan lagi suatu keharmonisan dalam hubungan pemberi kerja-penerima kerja dapat berlangsung, upaya mediasi tidak menemui jalan terang sehingga proses berlangsung ke tahapan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial.
Satu yang penulis angkat dan dapat menjadi kajian bersama bahwa dalam proses PHK ada beberapa aturan yang seyogyanya dipahami bersama dengan tetap merujuk kepada ketentuan pasal 151 dan 152 serta 153 UU No 13 Tahun 2013.
Dalam suatu hubungan kerja seyogyanya para pihak tetap berupaya mengusahakan agar tidak terjadi adanya PHK, kalaupun keharmonisan sudah memang tidak dapat lagi diteruskan maka penetapan PHK hanya dapat diperoleh melalui penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Konsekuensi lebih lanjut bagi pihak pemberi kerja (dalam hal terjadinya PHK) adalah pemberi kerja wajib membayar uang kompensasi PHK berupa uang pesangon, uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang besarnya masing-masing tetap merujuk pada ketentuan UU Ketenagakerjaan.
Dalam hal proses perkara sampai dengan tahapan akhir maka bagi pihak yang dikalahkan wajib membayar biaya perkara.
Salam Damai
AFH

 

Monday, 24 September 2018

Bisakah PKWTT Turun Derajat Menjadi PKWT??


Bisakah PKWTT Turun Derajat Menjadi PKWT??
Suatu fenomena yang jarang terjadi terhadap pekerja dengan status karyawan tetap bila dihadapkan dengan sebuah kenyataan dimana pihak pengusaha memaksa untuk menandatangani kontrak kerja dimana kontrak tersebut merupakan PKWTT. Lalu bagaimanakah konsekuensi hukumnya bagi para pihak??
Dalam keadaan yang seperti ini jelas pihak pengusaha tidak mengindahkan ketentuan didalam pasal 1266 KUHPerdata disamping itu pihak pekerja dapat tetap meminta kepada pihak pengusaha untuk tetap mempekerjakannya kembali dengan status sebagai karyawan tetap. Bagaimanakah bila pihak pengusaha tetap menolak??
Bila penolakan terjadi maka sudah dapat dipastikan hubungan kerja jika terus dilanjutkan tidak akan harmonis lagi maka konsekuensi lebih lanjutnya adalah kondisi PHK yang tidak dapat terelakkan.
Dalam kondisi PHK ini maka hak kompensasi bagi pekerja adalah tetap 2 kali uang pesangon, hak Uang penghargaan masa kerja dan hak uang penggantian hak sebagaimana yang diatur didalam pasal 156 ayat 2,3 dan 4
 
Salam
Aslam Hasan