JAKARTA, Berita HUKUM
- Pramugari dari maskapai penerbangan Garuda Indonesia, Bonitha Sary (51)
yang telah bekerja dan mengabdi sebagai Pramugari selama 28 tahun mengaku
sangat kecewa dan menyesalkan sikap dari managemen PT Garuda Indonesia
(Persero) Tbk merupakan perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang
melakukan PHK sepihak terhadap dirinya.
Melalui siaran
persnya pada, Rabu (5/6), Bonitha mengaku Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang
diterimanya itu tidak memilik kekuatan dasar hukum. "Mereka gugat saya
ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) karena mereka tidak mempunyai alasan
yang kuat untuk memutus hubungan kerja dengan saya," kata Bonitha.
Bonitha menceritakan
awalnya pada 14 November 2018, ia digugat pihak PT Garuda Indonesia melalui
kuasa hukum perusahaan itu, Kemalsjah Siregar di Pengadilan Hubungan
Industrial pada Pengadilan Negeri (PN) Serang Klas IA, Bateng. Sampai saat
ini, kasus tersebut masih diproses di PN Serang, Banten.
Kemalsjah dalam surat
gugatannya, mengatakan, pihaknya mengajukan gugatan kepada Bonitha (Bhonita
yang ditulis Kemalsjah) untuk memperoleh dasar hukum yang kuat untuk memutus
hububungan kerja dengan Bonitha.
Pihaknya melakukan
PHK atas Bonitha karena Bonitha kelebihan berat badan sekitar 4 kg dari batas
maksimal yang ditentukan pihak Garuda Indonesia sebagaimana diatur dalam
Pasal 2 Surat Keputusan EVP Business Support & Corporate Affairs
tertanggal 30 Agustus 2005, bahwa batas maksimum toleransi penyimpangan persyaratan
berat badan Awak Kabin Wanita yang berusia 31-50 tahun dan memiliki tinggi
badan 160 cm adalah 56,32 kg. Bonitha memiliki tinggi badan 160 cm namun
berat badannya 60 kg.
Kemalsjah dalam
permohonannya kepada majelis hakim, meminta majelis hakim agar permintaannya
melakukan PHK atas Bonitha dikabulkan. "Menyatakan, hubungan kerja
antara penggugat (PT Garuda Indonesia) dengan tergugat (Bonitha) putus sejak
tanggal majelis hakim memutuskan perkara ini," tulis Kemalsjah.
Tidak Punya Dasar
Hukum
Bonitha dalam
eksepsinya (jawaban atas gugatan Kemalsjah) mengatakan, alasan dan dasar
hukum penggugat melakukan PHK atas dirinya karena kelebihan berat badan
bukanlah termasuk pelanggaran kerja yang dapat dilakukan PHK oleh penggugat
(Garuda Indonesia).
PHK sebeum mencapai usia pensiun normal, kata Bonitha, adalah hak pekerja
(pegawai), sebagaimana diatur dalam Pasal 58 Perjanjian Kerja Bersama (PKB)
perusahaan hanya bersifat mengusulkan. "Sehingga keputusan sepenuhnya
ada di tangan pekerja atau pegawai," jelas Bonitha.
Bonitha mengatakan, pihak PT Garuda Indonesia melakukan PHK terhadap dirinya
seharusnya memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada,
antara lain:
Pertama, Pasal 87
ayat (1) UU Nomor 9 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara menyatakan,
"Karyawan BUMN merupakan pekerja BUMN yang pengangkatan, pemberhentian,
kedudukan, hak dan kewajiban ditetapkan berdasarkan perjanjian kerja bersama
sesuai peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan".
Kedua, Pasal 6 ayat
(1) huruf bm Hak dan Kewajiban Perusahaan PKB 2014-2016 PT Garuda Indonesia
(Persero) Tbk, disebutkan, "Mengangkat dan memberhentikan pegawai
berdasarkan peraturan perundang-undangan dan PKB".
Ketiga, Pasal 56 ayat
(1) jenis PHK PKB 2014 - 2016 PT Garuda Indonesia menyebutkan bawa PHK antara
pegawai dengan perusahaan dengan alasan : memenuhi persyaratan pensiun
normal, karena sebelum usia pensiun normal, PHK atas permintaan sendiri, PHK
karena melakukan pelanggaran disiplin, PHK karena ditahan pihak berwajib, PHK
karena pegawai meninggal dunia, PHK karena pekerja mangkir selama 10 hari
berturut-turut, PHK karena pekerja menderita sakit berkepanjangan, dan PHK
karena tidak tersedianya formasi CDTP.
Menurut Bonitha, Surat Keputusan EVP Business Support & Corporate Affairs
tertanggal 30 Agustus 2005 dan Persyaratan Jabatan Awak Kabin Tahun 1999 dan
2005 yang menjadi dasar bagi penggugat untuk melakukan PHK atas dirinya,
sudah tidak berlaku lagi karena sudah ada PKB 2014 - 2016.
Dalam PKB 2014 - 2016
diatur bahwa persyaratan dan /atau selama menduduki suatu jabatan meliputi :
pengetahuan, keterampilan, pengalaman, perilaku dan masa kerja aktif.
"Dari ketentuan tersebut terlihat jelas dan terang benderang bahwa
persyaratan kompetensi jabatan di PT Garuda Indonesia, Tbk tidak mengatur
tentang berat badan," tegas Bonitha.
Bonitha menegaskan,
pihak penggugat mem-PHK dirinya diduga kuat lebih karena ia aktif sebagai
pengurus Ikadan Awak Kabin Garuda Indonesia (Ikagi) sejak 2004 - 2015, dimana
pada periode 2012 - 2015 Bonitha menjabat sebagai Ketua Umum Ikagi. Selama
menjadi pengurus dan sampai saat ini Bonitha sangat berani dan kritis atas
semua penyimpangan yang dirakan seluruh awak kabin Garuda Indonesia
Berdasarkan uraian
itu, tegas Bonitha bahwa, penggugat melakukan PHK atas dirinya sama sekali
tidak mempunyai dasar hukum sebagaimana diatur PKB dan undang-undang.
"Karena itulah mereka mengajukan gugatan ke pengadilan, supaya mempunyai
dasar hukum. Semoga hakim mempunyai hati nurani, dengan demikian gugatan mereka
ditolak," pinta Bonitha.
Banyak Keanehan
Pemberi kerja
(pengusaha) menggugat pekerja sebagai dasar untuk melakukan PHK, merupakan
sesuatu tidak lazim atau aneh. Yang sering terjadi, antara lain, pertama,
pemberi kerja melakukan PHK karena pekerja ingkar janji (wanprestasi)
sebagaimana diatur dalam perjanjian kerja bersama (PKB).
Kedua, pekerja
melanggar peraturan perusahaan, seperti melakukan tindak pidana, tidak
disiplin dan sebagainya.
Menurut Bonitha,
banyak sekali keanehan yang ia alami dalam menghadapi gugatan PT Garuda
Indonesia sebagai tempat mendapatkan makan sejak tahun 1990.
Pada 15 Maret 2019 ia
menerima surat panggilan sidang di PN Serang, melalui surat beralamat Jalan
Kubis II No 10a Kebayoran Baru Jakarta Selatan.
Pada tanggal 18 Maret
2019 ia datang ke PN Serang dengan tujuan meminta materi gugatan, tetapi
pihak pengadilan tidak memberi karena informasi pelayanan satu pintu, sidang
sudah berjalan enam kali dengan panggilan atas dirinya delapan kali.
Sidang pertama yang
mulai ia ikuti tanggal 27 Maret dan ia meminta materi gugatan ke majelis
hakim. Dalam gugatan alamatnya ditulis salah yaitu di Jalan Grinting II Nomor
20 aa.
Bonitha mengatakan,
ia tidak pernah menghadiri mediasi di Dinas Tenaga Kerja Kota Tangerang
sebagai salah satu syarat gugatan diterima, karena Garuda memberikan alamat
yang salah yaitu di Jalan Gerinting II.
Padahal sewaktu
pertemuan dirinya Bipartit dirinya dengan pihak Garuda mengirimkan surat
melalui pos di alamat Jl Kubis II No 10a.
"Tetapi kenapa
saat mediasi dan mengajukan gugatan Garuda mengajukan di alamat Jalan
Gerinting?. Pertanyaan kemudian, tiba-tiba PN Serang mengirim surat ke Jalan
Kubis II No 10a dimana saya tinggal, kuasa hukum Garuda tahu dari mana? Saya
menduga kuat pihak Garuda licik agar sidang tanpa kehadiran saya (verstek).
Mereka tahu mereka lemah secara hukum. Semoga majelis hakim jujur dan punya
hati nurani," ungkap Bonitha.
Oleh karena itu, kata Bonitha, anjuran mediator dari Dinas Kota Tangerang
cacat hukum karena tidak dihadiri Bonitha bukan karena Bonitha tidak mau
hadir, tetapi alamat yang mediator kirim salah. "Dan mediator dari Dinas
Kota Tangerang tidak membaca risalah bipartit karena dalam risalah bipartit ada
alamat saya," kata dia.
Menurut Bonitha,
pihak PN Serang tidak berwewenang memeriksa dan mengadili perkaranya karena
perjanjian pendidikan dan perjajian wajib kerja, maupun perjanjian tetap
pegawai beralamat di wilayah hukum PN Jakarta Pusat. "Kalau Garuda mau
jujur, semua perjanjian kerja buat pramugari penyelesaian di PN Pusat, saya
banyak SK teman-teman tetapi tidak bisa jadikan bukti karena mereka takut,
audit saja semua SK pramugari," cetus dia.
Selain itu, dalam
gugatan dan di mediator Kota Tangerang data diri Bonitha ditulis salah,
seperti nama Bhonitha Sary, alamat Jl, Gerinting II No 20, masa kerja sejak
24 Juni 1994, upah Rp 6.600.000,-.
Padahal yang benar
adalah Bonitha Sary, alamat Jalan Kubis II Nomor 10, Kelurahan Gandaria Utara
Kebayoran Baru, Jakarta Selatan (Jaksel), masa kerja sejak 12 April 1990 (
dibuktikan dari Sk, dan id card), upah Rp 7.021.000.(bh/mos)
|