Showing posts with label pemutusan hubungan kerja. Show all posts
Showing posts with label pemutusan hubungan kerja. Show all posts

Sunday, 23 June 2019

PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA


PHK
Garuda Indonesia Tak Punya Dasar Hukum PHK Pramugari karena Berat Badan
2019-06-06 04:03:19
 
JAKARTA, Berita HUKUM - Pramugari dari maskapai penerbangan Garuda Indonesia, Bonitha Sary (51) yang telah bekerja dan mengabdi sebagai Pramugari selama 28 tahun mengaku sangat kecewa dan menyesalkan sikap dari managemen PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk merupakan perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang melakukan PHK sepihak terhadap dirinya.
 
Melalui siaran persnya pada, Rabu (5/6), Bonitha mengaku Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang diterimanya itu tidak memilik kekuatan dasar hukum. "Mereka gugat saya ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) karena mereka tidak mempunyai alasan yang kuat untuk memutus hubungan kerja dengan saya," kata Bonitha.
 
Bonitha menceritakan awalnya pada 14 November 2018, ia digugat pihak PT Garuda Indonesia melalui kuasa hukum perusahaan itu, Kemalsjah Siregar di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri (PN) Serang Klas IA, Bateng. Sampai saat ini, kasus tersebut masih diproses di PN Serang, Banten.
 
Kemalsjah dalam surat gugatannya, mengatakan, pihaknya mengajukan gugatan kepada Bonitha (Bhonita yang ditulis Kemalsjah) untuk memperoleh dasar hukum yang kuat untuk memutus hububungan kerja dengan Bonitha.
 
Pihaknya melakukan PHK atas Bonitha karena Bonitha kelebihan berat badan sekitar 4 kg dari batas maksimal yang ditentukan pihak Garuda Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Surat Keputusan EVP Business Support & Corporate Affairs tertanggal 30 Agustus 2005, bahwa batas maksimum toleransi penyimpangan persyaratan berat badan Awak Kabin Wanita yang berusia 31-50 tahun dan memiliki tinggi badan 160 cm adalah 56,32 kg. Bonitha memiliki tinggi badan 160 cm namun berat badannya 60 kg.
 
Kemalsjah dalam permohonannya kepada majelis hakim, meminta majelis hakim agar permintaannya melakukan PHK atas Bonitha dikabulkan. "Menyatakan, hubungan kerja antara penggugat (PT Garuda Indonesia) dengan tergugat (Bonitha) putus sejak tanggal majelis hakim memutuskan perkara ini," tulis Kemalsjah.
 
Tidak Punya Dasar Hukum
 
Bonitha dalam eksepsinya (jawaban atas gugatan Kemalsjah) mengatakan, alasan dan dasar hukum penggugat melakukan PHK atas dirinya karena kelebihan berat badan bukanlah termasuk pelanggaran kerja yang dapat dilakukan PHK oleh penggugat (Garuda Indonesia).

PHK sebeum mencapai usia pensiun normal, kata Bonitha, adalah hak pekerja (pegawai), sebagaimana diatur dalam Pasal 58 Perjanjian Kerja Bersama (PKB) perusahaan hanya bersifat mengusulkan. "Sehingga keputusan sepenuhnya ada di tangan pekerja atau pegawai," jelas Bonitha.

Bonitha mengatakan, pihak PT Garuda Indonesia melakukan PHK terhadap dirinya seharusnya memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada, antara lain:
 
Pertama, Pasal 87 ayat (1) UU Nomor 9 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara menyatakan, "Karyawan BUMN merupakan pekerja BUMN yang pengangkatan, pemberhentian, kedudukan, hak dan kewajiban ditetapkan berdasarkan perjanjian kerja bersama sesuai peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan".
 
Kedua, Pasal 6 ayat (1) huruf bm Hak dan Kewajiban Perusahaan PKB 2014-2016 PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk, disebutkan, "Mengangkat dan memberhentikan pegawai berdasarkan peraturan perundang-undangan dan PKB".
 
Ketiga, Pasal 56 ayat (1) jenis PHK PKB 2014 - 2016 PT Garuda Indonesia menyebutkan bawa PHK antara pegawai dengan perusahaan dengan alasan : memenuhi persyaratan pensiun normal, karena sebelum usia pensiun normal, PHK atas permintaan sendiri, PHK karena melakukan pelanggaran disiplin, PHK karena ditahan pihak berwajib, PHK karena pegawai meninggal dunia, PHK karena pekerja mangkir selama 10 hari berturut-turut, PHK karena pekerja menderita sakit berkepanjangan, dan PHK karena tidak tersedianya formasi CDTP.

Menurut Bonitha, Surat Keputusan EVP Business Support & Corporate Affairs tertanggal 30 Agustus 2005 dan Persyaratan Jabatan Awak Kabin Tahun 1999 dan 2005 yang menjadi dasar bagi penggugat untuk melakukan PHK atas dirinya, sudah tidak berlaku lagi karena sudah ada PKB 2014 - 2016.
 
Dalam PKB 2014 - 2016 diatur bahwa persyaratan dan /atau selama menduduki suatu jabatan meliputi : pengetahuan, keterampilan, pengalaman, perilaku dan masa kerja aktif. "Dari ketentuan tersebut terlihat jelas dan terang benderang bahwa persyaratan kompetensi jabatan di PT Garuda Indonesia, Tbk tidak mengatur tentang berat badan," tegas Bonitha.
 
Bonitha menegaskan, pihak penggugat mem-PHK dirinya diduga kuat lebih karena ia aktif sebagai pengurus Ikadan Awak Kabin Garuda Indonesia (Ikagi) sejak 2004 - 2015, dimana pada periode 2012 - 2015 Bonitha menjabat sebagai Ketua Umum Ikagi. Selama menjadi pengurus dan sampai saat ini Bonitha sangat berani dan kritis atas semua penyimpangan yang dirakan seluruh awak kabin Garuda Indonesia
 
Berdasarkan uraian itu, tegas Bonitha bahwa, penggugat melakukan PHK atas dirinya sama sekali tidak mempunyai dasar hukum sebagaimana diatur PKB dan undang-undang. "Karena itulah mereka mengajukan gugatan ke pengadilan, supaya mempunyai dasar hukum. Semoga hakim mempunyai hati nurani, dengan demikian gugatan mereka ditolak," pinta Bonitha.
 
Banyak Keanehan
 
Pemberi kerja (pengusaha) menggugat pekerja sebagai dasar untuk melakukan PHK, merupakan sesuatu tidak lazim atau aneh. Yang sering terjadi, antara lain, pertama, pemberi kerja melakukan PHK karena pekerja ingkar janji (wanprestasi) sebagaimana diatur dalam perjanjian kerja bersama (PKB).
 
Kedua, pekerja melanggar peraturan perusahaan, seperti melakukan tindak pidana, tidak disiplin dan sebagainya.
 
Menurut Bonitha, banyak sekali keanehan yang ia alami dalam menghadapi gugatan PT Garuda Indonesia sebagai tempat mendapatkan makan sejak tahun 1990.
 
Pada 15 Maret 2019 ia menerima surat panggilan sidang di PN Serang, melalui surat beralamat Jalan Kubis II No 10a Kebayoran Baru Jakarta Selatan.
 
Pada tanggal 18 Maret 2019 ia datang ke PN Serang dengan tujuan meminta materi gugatan, tetapi pihak pengadilan tidak memberi karena informasi pelayanan satu pintu, sidang sudah berjalan enam kali dengan panggilan atas dirinya delapan kali.
 
Sidang pertama yang mulai ia ikuti tanggal 27 Maret dan ia meminta materi gugatan ke majelis hakim. Dalam gugatan alamatnya ditulis salah yaitu di Jalan Grinting II Nomor 20 aa.
 
Bonitha mengatakan, ia tidak pernah menghadiri mediasi di Dinas Tenaga Kerja Kota Tangerang sebagai salah satu syarat gugatan diterima, karena Garuda memberikan alamat yang salah yaitu di Jalan Gerinting II.
 
Padahal sewaktu pertemuan dirinya Bipartit dirinya dengan pihak Garuda mengirimkan surat melalui pos di alamat Jl Kubis II No 10a.
 
"Tetapi kenapa saat mediasi dan mengajukan gugatan Garuda mengajukan di alamat Jalan Gerinting?. Pertanyaan kemudian, tiba-tiba PN Serang mengirim surat ke Jalan Kubis II No 10a dimana saya tinggal, kuasa hukum Garuda tahu dari mana? Saya menduga kuat pihak Garuda licik agar sidang tanpa kehadiran saya (verstek). Mereka tahu mereka lemah secara hukum. Semoga majelis hakim jujur dan punya hati nurani," ungkap Bonitha.

Oleh karena itu, kata Bonitha, anjuran mediator dari Dinas Kota Tangerang cacat hukum karena tidak dihadiri Bonitha bukan karena Bonitha tidak mau hadir, tetapi alamat yang mediator kirim salah. "Dan mediator dari Dinas Kota Tangerang tidak membaca risalah bipartit karena dalam risalah bipartit ada alamat saya," kata dia.
 
Menurut Bonitha, pihak PN Serang tidak berwewenang memeriksa dan mengadili perkaranya karena perjanjian pendidikan dan perjajian wajib kerja, maupun perjanjian tetap pegawai beralamat di wilayah hukum PN Jakarta Pusat. "Kalau Garuda mau jujur, semua perjanjian kerja buat pramugari penyelesaian di PN Pusat, saya banyak SK teman-teman tetapi tidak bisa jadikan bukti karena mereka takut, audit saja semua SK pramugari," cetus dia.
 
Selain itu, dalam gugatan dan di mediator Kota Tangerang data diri Bonitha ditulis salah, seperti nama Bhonitha Sary, alamat Jl, Gerinting II No 20, masa kerja sejak 24 Juni 1994, upah Rp 6.600.000,-.
 
Padahal yang benar adalah Bonitha Sary, alamat Jalan Kubis II Nomor 10, Kelurahan Gandaria Utara Kebayoran Baru, Jakarta Selatan (Jaksel), masa kerja sejak 12 April 1990 ( dibuktikan dari Sk, dan id card), upah Rp 7.021.000.(bh/mos)

 

Sumber Berita:


KAJIAN RINGKAS:

Dalam pemberitaan diatas beberapa hal yang dicermati yakni:

PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA

Dengan merujuk pada UU Ketenagakerjaan maka dalam ketentuan UU Ketenagakerjaan pengaturan mengenai PHK dapat dicermati di  dalam Pasal 151 sampai dengan pasal 155

Menurut UU No. 13 tahun 2003 mengenai Ketenagakerjaan, pihak perusahaan dapat saja melakukan PHK dalam berbagai kondisi seperti di bawah ini:
·         Pengunduran diri secara baik-baik atas kemauan sendiri 
·         Pengunduran diri secara tertulis atas kemauan sendiri karena berakhirnya hubungan kerja
·         Pengunduran diri karena mencapai usia pensiun.
·         Pekerja melakukan kesalahan berat
·         Pekerja ditahan pihak yang berwajib.
·         Perusahaan/perusahaan mengalami kerugian
·         Pekerja mangkir terus menerus
·         Pekerja meninggal dunia
·         Pekerja melakukan pelanggaran
·         Perubahan status, penggabungan, pelemburan atau perubahan kepemilikan 
·         Pemutusan Hubungan Kerja karena alasan Efisiensi
·         PHK sepihak oleh perusahaan

Dalam hal terjadinya PHK maka pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima.

 Upaya Penyelesaian Perselihan PHK

Perselisihan PHK merupakan salah satu bentuk Perselisihan hubungan industrial dimana wajib diupayakan penyelesaiannya terlebih dahulu melalui perundingan bipartit secara musyawarah untuk mencapai mufakat dan Dalam hal penyelesaian tidak mencapai kesepakatan, maka salah satu pihak dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Hubungan Industrial

Salam

AFH