Monday, 16 November 2015

PERSOALAN KEWENANGAN PENERBITAN SIM, STNK, BPKB

Yusril: Penerbitan SIM oleh Kemenhub Tidak Akan Efektif

By Oscar Ferri on 22 Okt 2015 at 16:00 WIB
Liputan6.com, Jakarta - Pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra mengatakan, kewenangan penerbitan Surat Izin Mengemudi (SIM), Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK), dan Bukti Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB) sudah tepat di tangani Polri. Sebab, kewenangan itu menyangkut efektifitas dan sisi historis.

‎"Dalam identifikasi dan registrasi kendaraan bermotor, kewenangan pada Polri semata-mata soal efektifitas dan historis penyelenggaraan negara," ujar Yusril di ruang sidang utama Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Kamis (22/10/2015).

Yusril hadir menjadi ahli dari kepolisian. Dia diminta memberikan pandangannya dalam sidang uji materi sejumlah pasal ‎‎Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI (UU Polri) dan UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ)‎.‎ Dalam uji materi ini dipermasalahkan soal kewenangan penerbitan SIM, STNK, dan BPKB.

‎Menurut Yusril, jika kewenangan penerbitan itu dilimpahkan ke pihak lain, misalnya Kementerian Perhubungan, seperti yang diutarakan para pemohon, maka tidak akan efektif. Sebab, Kemenhub tidak punya aparat langsung di daerah.

‎"Kalau dikasih ke Kemenhub tidak akan efektif. Karena tidak punya aparat di daerah-daerah. Dinas Perhubungan di daerah bukan netwrok Kemenhub, tapi Pemda. Jadi negara akan alami kesulitan identifikasi kendaraan bermotor," jelas dia.

Bisa Dibatalkan
Yusril menilai uji materi ini lebih kepada konstitusional komplain. Bukan objek konstitusional yang harus diuji ke MK. Apalagi uji materi ini tidak punya batu uji dalam UUD 1945, sebab kewenangan itu hanya diatur oleh undang-undang.

Karena tak punya batu uji, Yusril berpendapat, kemungkinan besar uji materi ini akan ditolak MK. Sebab, tidak cukup alasan pasal-pasal yang diuji bertentangan dengan UUD 1945, karena memang tidak mengatur mengenai kewenangan itu.

"Artinya itu pilihan. Pilihan pembuat undang-undang mau dikasih ke siapa. Dan pembuat undang-undang sudah memberikan registrasi dan identifikasi kendarana ini diberikan ke Polri. Registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor itu tidak diatur oleh UUD 1945. Tidak ada batu uji. Jadi kemungkinan ini ditolak. Karena MK itu menguji konstitusionalitas‎," papar dia.

Lagi pula, lanjut Yusril, ‎registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor sangat penting, untuk mencegah agar orang-orang tidak sembarangan dalam berkendara.

"Jadi orang-orang tidak sembarangan membawa kendaraan. Karena dia harus punya SIM. Kalau pun kita tidak puas dengan polisi, itu bukan kewenangan untuk diuji MK. Itu masalah implementasi," tegas Yusril.

Koalisi untuk Reformasi Polri yang terdiri dari Indonesia Legal Roundtable (ILR) diwakili Erwin Natosmal Oemar, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) diwakili Julius Ibrani, dan lainnya menggugat sejumlah pasal dalam UU Kepolisian dan UU LLAJ ke MK.

Mereka menggugat kewenangan kepolisian dalam menerbitkan SIM, STNK, dan BPKB sebagaimana tertuang dalam Pasal 15 ayat (2) huruf b dan huruf c UU Polri serta Pasal 64 ayat (4) dan ayat (6), Pasal 67 ayat (3), Pasal 68 ayat (6), Pasal 69 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 72 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 75, Pasal 85 ayat (5), Pasal 87 ayat (2) dan Pasal 88‎ UU LLAJ. (Rmn/Sun)

Sumber:
http://m.liputan6.com/news/read/2346661/yusril-penerbitan-sim-oleh-kemenhub-tidak-akan-efektif

Salam
Hasan
A.F. Hasan
Email: a.f.hasanlawoffice@gmail.com
HP: 081905057198
PIN BB: 74F84658


Sunday, 8 November 2015

UJI MATERIl PRAPERADILAN


Praperadilan
Chairul Huda: Aturan Gugurnya Praperadilan Multitafsir
Saturday 07 Nov 2015 08:14:01

JAKARTA, Berita HUKUM - Setelah melalui sidang keempat, rangkaian sidang pemeriksaan perkara uji materiil Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) memasuki tahap akhir, pada Kamis (5/11).

Dalam sidang tersebut, Pemohon mengadirkan Chairul Huda, pakar hukum pidana dari Universitas Muhammadiyah Jakarta. Chairul menyampaikan keahliannya di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Arief Hidayat.

Chairul menyampaikan pendapatnya terkait dalil Pemohon yang menyatakan Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 karena bersifat multitafsir. Chairul membenarkan dalil tersebut. Sebab, kata Chairul, dalam praktiknya memang banyak menimbulkan penafsiran. Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP menyatakan, dalam hal suatu perkara sudah mulai diperiksa oleh pengadilan negeri sedangkan pemeriksaan mengenai permintaan kepada praperadilan belum selesai, maka permintaan tersebut gugur.

“Ketentuan ini menurut pendapat saya walaupun sederhana tampaknya, tetapi menimbulkan banyak tafsiran di dalam praktik hukum. Terutama berkenaan dengan penggunaan frasa mulai diperiksa oleh pengadilan negeri,” ujar Chairul, di Ruang Sidang Pleno MK.

Chairul menjelaskan, banyaknya penafsiran terhadap Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP, maka mengakibatkan munculnya persoalan dalam praktik praperadilan. Misalnya saja bila dihubungkan dengan Pasal 77 KUHAP. Pasal tersebut menentukan bahwa pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus praperadilan. Bila dilihat dari ketentuan Pasal 77 KUHAP tersebut, Chairul mengatakan dapat diartikan bahwa praperadilan juga menjadi kewenangan pengadilan negeri.

“Kalau memang praperadilan juga menjadi kewenangan pengadilan negeri, mengapa permohonan praperadilan menjadi gugur ketika perkara mulai diperiksa di pengadilan negeri? Bukankah pemeriksaan praperadilan juga pemeriksaan di pengadilan negeri? Jadi karena menggunakan nomenklatur mulai diperiksa oleh pengadilan negeri ini, sebenarnya seolah-olah pemeriksaan di praperadilan itu bukan pemeriksaan di pengadilan negeri,” papar Chairul lagi.

Selain itu, ketentuan mengenai gugurnya praperadilan dalam Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP juga akan menjadi multitafsir ketika dihubungkan dengan Pasal 147 KUHAP. Pasal 147 KUHAP menyatakan, setelah pengadilan negeri menerima surat pelimpahan perkara dari penuntut umum, ketua mempelajari apakah perkara itu termasuk wewenang pengadilan yang dipimpinnya. Sebab, jelas Chairul, kata mempelajari dalam Pasal 147 KUHAP juga memiliki pengertian memeriksa.

“Kata mempelajari dalam pasal ini (Pasal 147 KUHAP, red), dalam pengertian yang lebih umum, juga termasuk dalam pengertian memeriksa. Karena ketika ketua pengadilan negeri mempelajari surat dakwaan, pada dasarnya dia memeriksa, apakah dakwaan tersebut termasuk kompetensi relatifnya atau tidak. Nah, artinya, mulai memeriksa oleh ketua pengadilan negeri, juga boleh jadi menjadi makna mulai diperiksa di pengadilan negeri berkenaan dengan gugurnya praperadilan,” papar Chairul.

Setelah mengkaitkan Pasal 82 ayat (1) huruf d dengan beberapa pasal dalam KUHAP, Chairul menegaskan bahwa ketentuan gugurnya praperadilan dikarenakan perkara sudah mulai diperiksa oleh pengadilan negeri adalah mutitafsir. Chairul pun memberikan pandangannya, bahwa seharusnya frasa mulai diperiksa oleh pengadilan negeri dalam Pasal Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP ditafsirkan setelah hakim menetapkan hari sidang dan memerintahkan penuntut umum memanggil terdakwa.

“Jadi menurut pendapat saya sekali lagi, Yang Mulia, bahwa jika frasa mulai diperiksa oleh pengadilan negeri itu ditafsirkan setelah hakim menetapkan hari sidang dan memerintahkan penuntut umum memanggil terdakwa, maka benarlah pada saat itu seseorang telah menjadi terdakwa dan kemudian secara logis seharusnya permohonannya kemudian masuk menjadi bagian dari permohonan-permohonannya yang diajukan di pokok perkaranya, tidak lagi kemudian diputus oleh hakim praperadilan,” tandasnya.

Untuk diketahui, Pemohon dalam perkara yang terdaftar dengan nomor 102/PUU-XIII/2015 ini adalah Bupati Kabupaten Morotai Periode 2012-2016, Rusli Sibua. Pemohon ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus tindak pidana suap terkait pemenangan sengketa perselisihan hasil pemilihan kepala daerah Kabupaten Morotai tahun 2011. Adapun ketentuan yang duijikan oleh Pemohon yakni Pasal 50 ayat (2) dan ayat (3) KUHAP yang mengatur hak tersangka agar perkaranya segera dimajukan ke pengadilan dan hak terdakwa agar perkaranya segera diadili oleh pengadilan. Pemohon juga menguji Pasal 82 ayat (1) KUHAP yang mengatur gugurnya permintaan praperadilan dikarenakan perkara sudah mulai diperiksa oleh pengadilan. Selain itu, Pemohon menguji Pasal 137 dan Pasal 143 ayat (1) KUHAP serta Pasal 52 ayat (1) dan ayat (2) UU KPK.

Menurut Pemohon, pasal-pasal yang diujikan tersebut telah disalahartikan dalam proses penegakkan hukum, khususnya dalam hal penanganan perkara tindak pidana suap yang disangkakan kepada Pemohon. Pemohon menceritakan, telah mengajukan permohonan praperadilan atas status tersangkanya. Namun, Pemohon menganggap ada unsur kesengajaan dari pihak KPK agar permohonan praperadilan Pemohon digugurkan.

“Mereka sengaja untuk menggugurkan praperadilan ini, karena untuk menggugurkan dengan alasan bahwa perkara sudah dilimpahkan. Padahal kami mengajukan praperadilan sebelum tersangka Bupati Rusli itu diperiksa sebagai tersangka sekalipun, dan bahkan pada tanggal tersebut juga masih belum ada pemeriksaan. Sehingga kami menilai bahwa hal ini telah dilakukan atau melanggar undang-undang atau melanggar KUHAP dan SOP KPK itu sendiri,” ujar Ahmad Rifai selaku kuasa hukum Pemohon pada sidang pendahuluan Rabu (9/9).(YustiNurulAgustin/IR/mk/bh/sya)

Sumber:
http://m.beritahukum.com/detail_berita.php?judul=Chairul+Huda%3A+Aturan+Gugurnya+Praperadilan+Multitafsir&subjudul=Praperadilan

Salam


A.F. Hasan
Email: a.f.hasanlawoffice@gmail.com
HP: 081905057198
PIN BB: 74F84658

Tuesday, 27 October 2015

Gugatan Rp 3 Miliar terhadap Hermes Hotel Ditolak

  • Selasa, 27 Okt 2015 06:49 WIB
  • http://mdn.biz.id/n/194627/
  • Gugatan Rp 3 Miliar terhadap Hermes Hotel Ditolak
MedanBisnis - Banda Aceh. Pengadilan Negeri (PN) Banda Aceh menolak sebagian dari gugatan Rp 3 miliar yang diajukan mantan General Menager (GM) Hermes Palace Hotel, Octowandi, terhadap manajemen Hermes Hotel. Mejelis hakim Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) pada PN Banda Aceh menolak sebagian gugatan Octowandi karena tidak berdasar hukum sehingga tidak dapat dikabulkan.
Dalam amar putusannya yang dibacakan ketua majelis hakim, Senin (26/10), hanya memutuskan Hermes Palace Hotel membayar penggugat, yakni Octowandi Rp 310,5 juta. Majelis hakim berpendapat, pembayaran gugatan Rp 3 miliar yang diajukan penggugat kepada tergugat tidak dapat dikabulkan dan sesuai dengan kentetuan yang ada.

"Kami menilai gugatan atas manajemen fee tersebut kabur dan tidak memiliki kekuatan hukum yang sah, sehingga harus dikesampingkan," ujar majelis hakim diketui Ahmad Nachrawi didampingi Tarmizi dan Yuheri Salaman.

Namun, kata Nachrawi, pihak manajemen Hermes Hotel harus membayar uang konfensi atau pesangon sebagian dan uang penghargan masa kerja sebagian dengan total Rp 310,5 juta kepada pihak tergugat.

Kuasa hukum Octowandi, Ramli Husen SH mengaku akan pikir-pikir terlebih dahulu atas putusan majelis hakim yang hanya mengabulkan sebagain gugatan kliennya. "Dalam waktu 14 hari, kita masih pikir-pikir karena yang kita gugat itu mencapai Rp 3 miliar lebih, tetapi yang dikabulkan hanya Rp 310 juta," ujarnya.

Namun, tambah Ramli, jika kliennya sudah pulang dari Jakarta maka pihaknya akan berkonsultasi apakah akan mengajukan kasasi atau menerima putusan. "Ya, kita berumbuk dululah," katanya.

Sementara itu penasihat hukum Hermes Hotel, Refman Basri MH mengaku siap membayar atas putusan majelis hakim tersebut. "Dari awal kita sudah bersedia untuk membayar sebesar itu, tetapi dia (Octowandi-red) bersikukuh meminta harus dibayar Rp 3 miliar," ujar Refman kepada wartawan. Refman pun mengaku tidak keberatan jika pihak Octowandi mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung, terlebih karena pihaknya juga memiliki bukti-bukti untuk mengajukan kasasi. "Kita menunggu saja, kalau menerima kita bayar, kalau mereka kasasi kita juga sangat siap," tandasnya. (dedi irawan)
Sumber:
http://www.medanbisnisdaily.com/m/news/read/2015/10/27/194627/gugatan-rp-3miliar-terhadap-hermes-hotel-ditolak/

Salam
A.F. Hasan
Email: a.f.hasanlawoffice@gmail.com
HP: 081905057198
PIN BB: 74F84658

Monday, 26 October 2015

PRESIDEN TEKEN PP PENGUPAHAN

PP No.78 Tahun 2015

Menteri Ketenagakerjaan, M. Hanif Dhakiri, menginformasikan Presiden Joko Widodo sudah menandatangani RPP Pengupahan. Bahkan sudah diundangkan Menteri Hukum dan HAM. PP itu diberi No. 78 Tahun 2015. Menteri Dhakiri menjelaskan Presiden meneken PP No. 78 Tahun 2015 itu pada Jum’at (23/10) lalu.

Menteri Dhakiri mengatakan PP Pengupahan merupakan mandat dari UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Ia bersyukur karena setelah 12 tahun tertunda akhirnya beleid itu bisa diterbitkan.

Salah satu substansi yang menarik perhatian adalah penetapan upah minimum. M. Hanif Dhakiri menegaskan penetapan upah minimum ke depan harus menggunakan formula yang diamanatkan PP. “Penetapan UMP 2016 oleh Gubernur nanti sudah harus menggunakan formula sebagaimana diamanatkan dalam PP tersebut," kata Hanif di Jakarta, Senin (26/10).

Hanif menilai PP Pengupahan merupakan terobosan dalam dunia ketenagakerjaan di Indonesia. Sebab sebelumnya penetapan upah minimum kerap diwarnai politisasi dan membuat kenaikan upah tidak rasional dan menimbulkan ketidakpastian.

Menurut Hanif, kebijakan upah minimum sebagai bentuk hadirnya negara untuk melindungi buruh agar tidak masuk dalam upah murah. Selaras itu Hanif mengimbau seluruh Gubernur untuk menyesuaikan dan memproses penetapan upah minimum provinsi (UMP) 2016 dengan menggunakan formula yang tercantum dalam PP Pengupahan. Formulanya,  menggunakan inflasi dan pertumbuhan ekonomi nasional sebagai variabel utama dalam penghitungan kenaikan UMP. Targetnya, UMP dapat ditetapkan dan diumumkan secara serentak setiap 1 November oleh Gubernur.

Presiden KSPI, Said Iqbal, mengatakan berbagai elemen serikat buruh seperti KSPI, KSBSI, KSPSI dan KP-KPBI telah membentuk Komite Aksi Upah (KAU) yang tujuannya menggelar kegiatan dalam rangka mendorong agar pemerintah membatalkan PP Pengupahan dan formula penghitungan upah minimum yang hanya menggunakan variabel pertumbuhan ekonomi dan inflasi nasional.

Iqbal menyebut serikat buruh menolak PP Pengupahan karena hak berunding upah minimum yang selama ini dilakukan lewat mekanisme tripartit di Dewan Pengupahan ditiadakan. Proses penghitungan upah minimum yang diatur lewat PP pengupahan hanya menggunakan inflasi dan pertumbuhan ekonomi nasional sebagai variabelnya.

Iqbal mengingatkan di semua negara industri maju, pihak terkait seperti buruh dilibatkan dalam membahas upah minimum. Bahkan di Indonesia sejak masa pemerintahan Soeharto buruh dilibatkan dalam perundingan kenaikan upah minimum.

Iqbal melihat buruh hanya dilibatkan oleh pemerintah dalam menentukan komponen kebutuhan hidup layak (KHL) yang ditinjau dalam jangka waktu lima tahun. “Dengan mengacu pada formula itu maka KHL juga tidak akan digunakan dalam menentukan kenaikan UMP,” kata Iqbal.

Lewat formula yang diatur dalam PP Pengupahan, data inflasi dan pertumbuhan ekonomi nasional yang diterbitkan BPS akan digunakan untuk menghitung kenaikan UMP. Survei KHL sebagaimana dilakukan oleh Dewan Pengupahan selama ini sebelum merekomendasikan kenaikan upah minimum tidak akan digunakan.

Menurut Iqbal, PP Pengupahan menunjukkan ketidakberpihakan pemerintah terhadap pekerja. Pemerintah masih menggunakan upah murah. Jika dibandingkan dengan negara tetangga, upah minimum di Indonesia jauh tertinggal. Misalnya UMP 2015 di Jakarta Rp2,7 juta, sedangkan di Malaysia 3,2 juta, Filipina 3,6 juta dan Thailand 3,4 juta. Iqbal memperkirakan dengan menggunakan formula sebagaimana yang ada di PP Pengupahan maka kenaikan upah minimum setiap tahun tidak akan lebih dari 10 persen.

Merespon PP Pengupahan, kata Iqbal, serikat pekerja akan menggelar demonstrasi massal dengan sasaran Istana Negara. Demonstrasi itu rencananya digelar akhir bulan ini dan akan melibatkan 50 ribu buruh. “Kami menuntut PP Pengupahan dicabut. Kalau tidak dicabut maka kami akan terus menggelar demonstrasi............

Sumber:
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt562df6827f161/presiden-teken-pp-pengupahan

Salam



Informasi:
A.F. Hasan
Email: a.f.hasanlawoffice@gmail.com
HP: 081905057198
PIN BB: 74F84658

Sunday, 25 October 2015

PERIHAL PRAPERADILAN RIO CAPELLA

I Ketut Tirta Jadi Hakim Tunggal Praperadilan Rio Capella
By Putu Merta Surya Putra on 25 Okt 2015 at 10:43 WIB
Liputan6.com, Jakarta - Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) menyatakan telah menerima berkas gugatan praperadilan yang diajukan oleh  Patrice Rio Capella, tersangka dalam dugaan suap bantuan sosial (bansos) Sumatera Utara.
PN Jaksel pun telah menunjuk hakim tunggal yang akan menyidangkan perkara Rio Capella. Namun, PN Jaksel belum menentukan kapan gugatan ini akan disidangkan.
"Belum (untuk jadwal persidangan). Tapi hakimnya sudah ditunjuk, yaitu hakim I Ketut Tirta. Senin (besok) baru tahu kapan ditetapkan hari sidangnya," ungkap Kepala Humas PN Jaksel, Made Sutrisna, kepada Liputan6.com, Minggu (25/10/2015).
 
Kuasa hukum Rio, Maqdir Ismailmenyatakan, ada 5 alasan kenapa pihaknya mengajukan gugatan praperadilan. Pertama, menurut Maqdir, perkara yang menimpa kliennya bukan merupakan kewenangan KPK. 
 
"Kedua, proses penetapan Rio sebagai tersangka tidak memenuhi ketentuan dalam undang-undang KPK dan KUHAP," kata Maqdir.
 
Ketiga, dia menilai penyelidik dan penyidik KPK tidak sesuai dengan ketentuan undang-undang yang ada. Keempat,  lanjut Maqdir, juga mempermasalahkan perbedaan pasal yang diterapkan terhadapnya dan terhadap tersangka lain di kasus yang sama.
 
"Ada perbedaan pasal yang disangkakan antara Gatot dan Rio, padahal ketentuan undang-undang itu penerima dan pemberi harusnya pada pasal yang sama. Kalau pemberi pasal 5 ayat 1 maka penerima pasal 5 ayat 2, tidak bisa dicarikan pasal lain," tegas dia.
 
Terakhir, menurut Maqdir, kliennya menilai penetapannya sebagai tersangka karena diikuti kepentingan lain.
 
Dalam perkara ini Rio Capella disangka melanggar Pasal 12 huruf a, huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. (Ron/Mut)

Sumber:
http://m.liputan6.com/news/read/2348675/i-ketut-tirta-jadi-hakim-tunggal-praperadilan-rio-capella

Salam

Informasi:
A.F. Hasan
Email: a.f.hasanlawoffice@gmail.com
HP: 081905057198
PIN BB: 74F84658

Wednesday, 21 October 2015

PHK SEPIHAK

Dampak Pelemahan Rupiah, Gelombang PHK Mulai Marak
Kamis, 17 September 2015, 17:26 WIB
 
REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Dampak pelemahan rupiah terhadap dolar semakin terasa di Kota Yogyakarta. Sejak sebulan terakhir gelombang aduan pemutusan hubungan kerja (PHK) semakin marak. Bahkan hingga saat ini aduan adanya PHK oleh perusahaan berjumlah hampir 30 orang.

Kepala Bidang Pengawasan dan Hubungan Industrial, Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Dinsosnakertrans) Kota Yogyakarta,  Rihari Wulandari mengatakan, sejak dua bulan terakhir pihaknya sudah menerima aduan PHK puluhaan karyawan dari perusahaan berbeda.

"Laporan PHK ini dari karyawan dua perusahaan jasa di Yogyakarta," ujarnya, Kamis (17/9).

Menurutnya akhir bulan lalu ada 13 karyawan sebuah perusahaan jasa di Yogyakarta yang mengadu di PHK sepihak oleh perusahaan. Awal bulan ini ada 14 karyawan dari perusahaan jasa pendidikan yang juga mengadukan hal serupa.

Anehnya kata Rihari, pihaknya belum menerima laporan terkait adanya perusahaan yang pailit dalam dua bulan ini. Menurutnya, jika perusahaan pailit maka wajib melaporkan ke Disperindagkoptan termasuk nasib karyawannya. Namun saat ini belum ada laporan terkait perusahaan yang pailit tersebut.

"Tidak ada yang pailit tapi ada laporan PHK, Ini yang akan kita telusuri," katanya.

Menurutnya, dalam waktu dekat pihaknya akan memanggil manajemen dua perusahaan tersebut untuk melakukan klarifikasi dan mediasi. Dikatakannya, mediasi akan dilakukan untuk memfasilitasi karyawan dan perusahaan. "Sejauh ini mediasi baru dilakukan sekali untuk 13 karyawan yang mengadu bulan lalu, sayangnya perusahaan tidak datang dan akan dijadwalkan ulang," katanya.

Sedangkan mediasi bagi 14 karyawan yang melayangkan surat aduan pada bulan ini dijadwalkan pekan depan. Menurutnya melalui  mediasi karyawan diupayakkan untuk menerima hak-hak yang harus diterimanya karena PHK tersebut.

Ketua DPC Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) Kota Yogyakarta,  Santoso mengatakan pihaknya siapp melakukan advokasi pada anggotanya yang mengalami PHK sepihak oleh perusahaan. "Namun sampai saat ini belum ada anggota yang lapor adanya PHK," ujarnya
 
Sumber:
Tinjauan:
Kembali mengenai permasalahan PHK,
Mengenai PHK sepihak.
 
Proses PHK dapat dikategorikan dalam 3 hal yakni: PHK demi hukum, PHK oleh karyawan/pekerja dan PHK dari pihak Pengusaha. 
 Untuk PHK dari pihak pengusahapun masih dibagi lagi kategorinya yakni PHK dari sisi pekerjanya sendiri ( faktor pelanggaran disiplin, melakukan tindak pidana, pelanggaran berat) dan dari sisi Pengusaha sendiri/internal ( faktor force majeur,efisiensi, kerugian yang mengakibatkan bangkrutnya usaha dll)
 
Untuk PHK sepihak tentunya tidak dapat dibenarkan, mengacu pada Undang-Undang Ketenagakerjaan UU No 13 Tahun 2003
Pasal 151
 
(1) Pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah, dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja.
 
 (2) Dalam hal segala upaya telah dilakukan, tetapi pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindari, maka maksud pemutusan hubungan kerja wajib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/buruh apabila pekerja/buruh yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh
 
Tinjauan
Dalam hal ini upaya yang dapat dilakukan adalah dengan saling terbuka antara Pengusaha dan pekerja untuk bernegosiasi/dialog, menyelesaikan permasalahan yang ada secara bipartit
 
UNDANG-UNDANG TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN
INDUSTRIAL UNDANG-UNDANG NO. 2 TAHUN 2004
 Pasal 1
(10) Perundingan bipartit adalah perundingan antara pekerja/ buruh atau serikat
pekerja/serikat buruh dengan pengusaha untuk menyelesaikan perselisihan
hubungan industrial
 
Pasal 3
(1)Perselisihan hubungan industrial wajib diupayakan penyelesaiannya terlebih dahulu
melalui perundingan bipartit secara musyawarah untuk mencapai mufakat.
 
(2)Penyelesaian perselisihan melalui bipartit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
harus diselesaikan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal dimulainya
perundingan.
 
(3)Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) salah satu pihak menolak untuk berunding atau telah dilakukan perundingan
tetapi tidak mencapai kesepakatan, maka perundingan bipartit dianggap gagal.
 
(3) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) benar-benar tidak
 menghasilkan persetu-juan, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja
dengan pekerja/buruh setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian
perselisihan hubungan industrial.
sumber Tinjauan:
  • Undang-Undang No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan 
  • Undang-Undang No.2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
salam
A.F Hasan
PIN BB: 74f84658
Telp: 081905057198
 
 
 
 
 
 

 

 
 
 
 
 
 
 
s

Tuesday, 20 October 2015

PERIHAL TINJAUAN DALAM SETIAP POSTINGAN DI BLOG

Perihal Tinjauan:

Setiap tinjauan yang kami posting bukan merupakan opini hukum yang dapat dijadikan dasar bagi setiap pengunjung blog ini dalam mengambil suatu legal action atas setiap permasalahan hukum yang akan,sedang atau telah dihadapi
 
Setiap tinjauan hanya merupakan tanggapan atas setiap kejadian-kejadian yang ada dan tidak dimaksudkan sebagai  Opini Hukum yang merupakan  jasa yang diberikan Advokat
 
Untuk mendapatkan jasa hukum yang detil dan menyeluruh  (tatacara dan prosedur) silahkan menghubungi kami:
Informasi:
A.F. Hasan
Email: a.f.hasanlawoffice@gmail.com
HP: 081905057198
PIN BB: 74F84658