Wednesday, 14 October 2015

PERJANJIAN KERJA BERSAMA (PKB)

PERJANJIAN KERJA BERSAMA
 
Perjanjian Kerja Bersama (“PKB”) diatur dalam Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU No. 13/2003”) dan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No.PER.16/MEN/XI/2011 tentang Tata Cara Pembuatan dan Pengesahan Peraturan Perusahaan Serta Pembuatan dan Pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama (“Permenaker 16/2011”).
Pengertian PKB berdasarkan Pasal 1 angka 2 Permenaker 16/2011, PKB adalah perjanjian yang merupakan hasil perundingan antara serikat pekerja/serikat buruh atau beberapa serikat pekerja/serikat buruh yang tercatat pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha, atau beberapa pengusaha atau perkumpulan pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban kedua belah pihak
Selanjutnya, dalam hal pembuatan/ penyusunan suatu PKB, mengacu didalam Pasal 22 Permenaker 16/2011 mengatur bahwa PKB paling sedikit memuat:
1.    Nama, tempat kedudukan serta alamat serikat pekerja/serikat buruh;
2.    Nama, tempat kedudukan serta alamat perusahaan;
3.    Nomor serta tanggal pencatatan serikat pekerja/serikat buruh pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota;
4.    Hak dan kewajiban pengusaha;
5.    Hak dan kewajiban serikat pekerja/serikat buruh serta pekerja/buruh;
6.    Jangka waktu dan tanggal mulai berlakunya PKB;
7.    Tanda tangan para pihak pembuat PKB.
Dalam pembuatan PKB tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Mengacu pada  Pasal 124 ayat (3) UU No. 13/2003 mengatur bahwa apabila isi PKB bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku maka ketentuan yang bertentangan tersebut batal demi hukum dan yang berlaku adalah ketentuan dalam peraturan perundang-undangan.
Pendaftaran PKB
Pendaftaran PKB dilakukan oleh pengusaha kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan (mis: Disnakertrans)
Tinjauan Hasan & Hasan
Sebagai kantor hukum yang memiliki team didalam mengkhususkan diri dalam penanganan kasus-kasus hukum perusahaan dan ketenagakerjaan, beberapa kasus hukum dalam bidang ketenagakerjaan yang dapat team kami bantu penanganannya adalah :
  • Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
  • Sengketa hubungan kerja dengan karyawan
  • Beracara di Pengadilan Hubungan Industrial
  • Pembuatan draft Perjanjian Kerja
  • Review Dokumen Ketenagakerjaan
  • Pelaporan Pidana untuk tindakan fraud
 
Lebih lanjut, Hasan & Hasan melayani pembuatan dokumen-dokumen hukum ketenagakerjaan, seperti :
  • Peraturan Perusahaan (PP),
  • Perjanjian Kerja Bersama (PKB),
  • Surat Peringatan (SP),
  • Surat Pemutusan Hubungan Kerja (PHK),
  • Surat Mutasi karyawan,
  • dan lain sebagainya terkait ketenagakerjaan
Jika perusahaan Anda membutuhkan lawyer untuk mengurusi dan menangani kasus dan permasalahan ketenagakerjaan di perusahaan Anda, silahkan menghubungi kami

A.F. Hasan
Email: a.f.hasanlawoffice@gmail.com
HP: 081905057198
 
 
 

SENGKETA PERTANAHAN

Konflik Tanah di Ibukota Mendesak Diatasi


 
 
 
 
Permasalahan mengenai pertanahan semakin komplek dan sangat mendesak untuk diselesaikan  dengan cepat dan aman agar kepentingan/hak dari masing-masing pihak jelas dan terang,
 
Hasan & Hasan Sebagai kantor hukum advokat dan pengacara, kami dapat membantu Anda untuk menyelesaikan dan menghadapi kasus pertanahan yang menimpa Anda. Beberapa kasus pertanahan yang sering terjadi dan dapat kami bantu penanganannya adalah sebagai berikut :
  1. Sengketa Jual-Beli Tanah, Bangunan
  2. Sengketa Penyerobotan Tanah
  3. Sengketa Tanah Warisan
  4. Eksekusi Tanah (Dalam hal tanah merupakan objek dari Jaminan Kredit)
Dalam proses setiap penanganan kasus-kasus hukum diatas, team kami selalu melakukan pendekatan/ penanganan perkara secara musyawarah. Jika Anda, keluarga anda, kerabat, tetangga ataupun kenalan anda sedang mengalami salah satu masalah hukum diatas, Team kami siap memberikan bantuan/jasa hukum kepada Anda.
 
INFO SELENGKAPNYA:
A.F Hasan
PIN BB: 74f84658
Telp: 081905057198
 

 
 
 
 

SENGKETA TATA USAHA NEGARA : SK GUBERNUR BI

PTUN Kabulkan Gugatan Direksi BTN, BI Siap Banding

By Ilyas Istianur Praditya on 25 Jul 2014 at 17:51 WIB
Liputan6.com, Jakarta - Pengadilan  Tata  Usaha  Negara  (PTUN)  Jakarta mengabulkan  gugatan  mantan  direksi  PT  Bank  Tabungan  Negara  (BTN), Saut Pardede  terkait  uji  kelayakan dan kepatutan (fit and  proper test) yang dilaksanakan  Bank Indonesia (BI) beberapa waktu silam.

Dengan dikabulkannya gugatan tersebut, Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo mengaku pihaknya siap melakukan banding.

"Oya iya jadi itu adalah yang kita miliki, kita akan tindaklanjuti upaya hukum dalam bentuk banding," kata Agus di kompleks Bank Indonesia, Jumat (25/7/2014).

Namun dengan keputusan PTUN tersebut, Agus mengaku sangat menghargai keputusan pengadilan dan masih menunggu surat keputussan tersebut sampai di meja Agus.

Upaya banding yang akan dilakukan BI tersebut demi menjelaskan kepada pengadilan dan pihak terkait mengenai alasan mengapa BI tidak meluluskan fit and proper test Saut Pardede.

"Itu dalam rangka bisa memberikan penjelasan lagi di sidang berikutnya tentang apa apa yang terjadi kondisi fakta supaya nanti keputusanya mencerminkan kondisi yang ada," kata Agus.

Salah satu alasan yang dikatakan Agus mengapa dirinya tidak meluluskan Saut Pardede adalah dari kinerja dan kondisi Bank Tabungan Negara (BTN) saat itu.

Seperti diketahui,  Majelis  hakim  dalam  putusannya  menyatakan  Keputusan  Gubernur  Bank  Indonesia  Nomor 15/125/ KEP.GBI/DpG/2013  tanggal  6  Desember  2013  tentang  Hasil  Uji  Kemampuan  dan  Kepatutan  Sdr Saut  Pardede  selaku Direktur Financial, Strategy  and  Treasury  BTN  periode  tahun 2010 sampai dengan tahun  2012 batal dan tidak sah.

Dengan adanya surat keputusan tersebut maka BI  selaku  tergugat  I,  diwajibkan mencabut Surat Keputusan  Gubernur  Bank  Indonesia Nomor 15/125/KEP.GBI/ DpG/2013 tanggal 6 Desember  2013 tentang Hasil Uji Kemampuan  dan  Kepatutan  Sdr.  Saut  Pardede  selaku  Direktur  Financial,  Strategy  and  Treasury  BTN periode 2010- 2012. (Yas)

Sumber: 
http://m.liputan6.com/bisnis/read/2083386/ptun-kabulkan-gugatan-direksi-btn-bi-siap-banding

Tinjauan
Terlepas dari hasil putusan, Obyek dalam perkara ini adalah SK Gubernur BI. Untuk SK Gubernur BI ternyata merupakan Keputusan Tata Usaha Negara
Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata;(ps.1 ayat 3 Undang-Undang No.5 Tahun 1986)
Adapun penjelasan dalam pasal diatas:
Penjelasan : Istilah "penetapan tertulis" terutama menunjuk kepada isi dan bukan kepada bentuk keputusan yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. Keputusan itu memang diharuskan tertulis, namun yang disyaratkan tertulis bukanlah bentuk formalnya seperti surat keputusan pengangkatan dan sebagainya.
Persyaratan tertulis itu diharuskan untuk kemudahan segi pembuktian. Oleh karena itu sebuah memo atau nota dapat memenuhi syarat tertulis tersebut dan akan merupakan suatu Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara menurut Undang-undang ini apabila sudah jelas
a.           Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara mana yang mengeluarkannya;
b.           maksud serta mengenai hal apa isi tulisan itu;
c.           kepada siapa tulisan itu ditujukan dan apa yang ditetapkan di dalamnya.
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah Badan atau Pejabat di pusat dan daerah yang melakukan kegiatan yang bersifat eksekutif.
Tindakan hukum Tata Usaha Negara adalah perbuatan hukum Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersumber pada suatu ketentuan hukum Tata Usaha Negara yang dapat menimbulkan hak atau kewajiban pada orang lain.
Bersifat konkret, artinya objek yang diputuskan dalam Keputusan Tata Usaha Negara itu tidak abstrak, tetapi berwujud, tertentu atau dapat ditentukan, umpamanya keputusan mengenai sumah si A, Izin usaha bagi si B, pemberhentian si A sebagai pegawai negeri.(Dalam kasus diatas adalah hasil dari fit&proper test)
Bersifat individual artinya Keputusan Tata Usaha Negara itu tidak ditujukan untuk umum, tetapi tertentu baik alamat maupun hal yang dituju. Kalau yang dituju itu lebih dari seorang, tiap-tiap nama orang yang terkena keputusan itu disebutkan. Umpamanya, keputusan tentang perbuatan atau pelebaran jalan dengan lampiran yang menyebutkan nama-nama orang yang terkena keputusan tersebut. (Dalam kasus diatas ditujukan kepada Sdr Saut Pardede)
Bersifat final artinya sudah definitif dan karenanya dapat menimbulkan akibat hukum. Keputusan yang masih memerlukan persetujuan instansi atasan atau instansi lain belum bersifat final karenanya belum dapat menimbulkan suatu hak atau kewajiban pada pihak yang bersangkutan. Umpamanya, keputusan pengangkatan seorang pegawai negeri memerlukan persetujuan dari Badan Administrasi Kepegawaian Negara.
Sumber Tinjauan:
Undang Undang No 5 tahun 1986



Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Kantor kami  Hasan & Hasan dapat mendampingi dan mewakili klien untuk menghadapi kasus sengketa dalam Tata Usaha Negera. Adapun beberapa kasus hukum yang penanganannya melalui Peradilan Tata Usaha Negara yang dapat kami bantu

·         Pemberhentian Pegawai Negeri (PNS)
·         Pemberhentian TNI / POLRI
·         Pemberhetian Pegawai BUMN tertentu
·         Pemberhetian Pejabat Daerah
·         Gugatan Pembatalan Sertifikat Tanah, Gugatan-gugatan lainnya yang merupakan Keputusan Tata Usaha Negara
Bagi Anda , saudara Anda, tetangga, kenalan, relasi yang sedang mengalami atau menghadapi kasus tata usaha negara seperti tersebut diatas, Team kami siap memberikan bantuan/jasa hukum kepada Anda.
SELENGKAPNYA :
A.F.Hasan S.H
HP: 081905057198
Email: a.f.hasanlawoffice@gmail.com
Pin BB: 74f84658

SEPUTAR PENOLAKAN PHK

Proses pembuktian dalam persidangan sangat penting untuk dihadirkan oleh masing-masing pihak yang berperkara, tak terkecuali dalam sidang di pengadilan hubungan industrial (PHI). Itu dapat dilihat dalam perkara antara PT Bank Rakyat Indonesia (BRI) yang menggugat pekerjanya bernama Casmuna Dwi Arifianti di PHI Jakarta.

BRI mengajukan gugatan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap Casmuna karena sang pekerja dituding membocorkan user ID/password. Akibatnya, password itu disalahgunakan orang lain untuk mencairkan deposito nasabah yang totalnya mencapai Rp150 juta.

Casmuna sebagai tergugat membantah dalil-dalil tergugat dengan alasan pencairan deposito itu dilakukan karena berkas pengajuan dan syarat-syarat sudah terpenuhi. Lagipula pencairan sebagian deposito bukan tanggung jawabnya, melainkan tanggung jawab Area Manager Branch Mikro (AMBM).

Majelis hakim yang terdiri dari Wiwik Suhartono, Juanda Pangaribuan dan Sweden Simarmata mengutip kaidah pembuktian dalam Pasal 163 HIR. Ini berarti beban pembuktian ada pada pihak yang mendalilkan tuduhan. BRI wajib membuktikan tudingannya. “Pembebanan pembuktian kepada salah satu pihak dapat diarahkan dengan memperhatikan kapasitas dan kemampuan salah satu pihak, terutama dilihat dari segi kewenangan dan kekuasaan yang dimiliki,” ucap Juanda saat mendapat giliran membacakan putusan bernomor 102/Pdt.Sus-PHI/2015/PN.JKT.PST itu di ruang sidang 1 di gedung PHI Jakarta, Kamis (17/9).

Majelis mengatakan dalil penggugat yaitu menuduh tergugat melakukan suatu perbuatan yang merugikan nasabah dan perusahaan dengan cara mencairkan deposito milik nasabah bernama Lay Tho Tjhu. Salah satu cara yang dituduhkan penggugat kepada tergugat dalam mencairkan deposito itu dengan membocorkan password. Majelis berpendapat pencairan deposito milik nasabah tidak mungkin bisa dilakukan oleh seorang Kepala unit atau teller saja.

Melihat substansi masalah yang ada dalam perkara tersebut, majelis berpendapat kedudukan penggugat sebagai pengusaha memiliki kemampuan menghadirkan bukti surat dan saksi yang relevan dengan pembuktian perkara. Untuk itu kewajiban membuktikan kesalahan yang dituduhkan kepada tergugat menurut majelis harus dibebankan kepada penggugat.

Tergugat, menurut majelis, sudah tidak dibolehkan masuk bekerja, sehingga menjadi penghalang utama bagi tergugat untuk menghadirkan rekan kerjanya sebagai saksi di persidangan. Tanpa mengajukan dokumen-dokumen yang lengkap terkait dengan pencairan deposito dan pembocoran password tergugat, majelis merasa sulit untuk menguji kebenaran semua dalil penggugat.

Mengingat penggugat tidak mengajukan bukti mengenai nama orang lain yang mengajukan permohonan pencairan deposito milik Lay Tho Tjhu, majelis berpendapat dalil penggugat yang mengatakan tergugat mencairkan deposito milik Lay Tho Tjhu atas permintaan orang lain harus dianggap tidak terbukti.

Untuk menemukan fakta, majelis mengatakan penggugat harusnya mengajukan AMBM sebagai saksi. Tanpa mendengar keterangan AMBM yang bertugas saat itu, tidak ada alasan untuk membenarkan dalil penggugat yang menuduh tergugat mencairkan deposito Lay Tho Tjhu ataupun membocorkan password. Menimbang seluruh bukti yang ada dalam perkara, majelis menilai penggugat tidak sungguh-sungguh membuktikan dasar alasan PHK yang dituduhkan kepada tergugat.

Majelis berkesimpulan penggugat tidak berhasil membuktikan kesimpulan dan tuduhannya yang mengatakan tergugat membocorkan password. Maka majelis menyatakan tergugat tidak terbukti membocorkan password miliknya dan tidak terbukti mencairkan deposito milik Lay Tho Tjhu dengan cara melanggar prosedur atau peraturan internal perusahaan (fraud). “Dengan demikian alasan PHK terhadap tergugat sepanjang didasarkan pada alasan pembocoran password dinyatakan tidak terbukti dan ditolak,” ujar Juanda.

Selain itu penggugat mendalilkan tergugat saat menjabat sebagai Kepala Unit BRI Kelapa Dua Wetan pernah menyerahkan dua sertifikat agunan kredit kepada pihak yang tidak berhak. Lagi-lagi majelis berpendapat alasan itu tidak dapat digunakan untuk melakukan PHK terhadap tergugat. Sebab, penggugat tidak membuktikan dalilnya tersebut. Tuduhan yang tidak didukung dengan bukti merupakan dalil yang tidak mengikat dan karenannya harus dikesampingkan. Mengacu pasal 163 HIR setiap dalil harus dibuktikan.

Penggugat juga beralasan pada September 2012 telah menjatuhkan hukuman disiplin berupa penurunan jabatan dua golongan kepada tergugat karena yang bersangkutan memproses pemberian kredit tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Menurut majelis itu tidak dapat dijadikan alasan melakukan PHK terhadap tergugat. Alasannya, penggugat sudah menggunakan tuduhan itu untuk menjatuhkan hukuman kepada tergugat, yakni penurunan jabatan sampai dua golongan.

Tapi jika pelanggaran tersebut terbukti, bisa dijadikan alasan melakukan PHK bila terhadap pelanggaran itu penggugat belum pernah menjatuhkan sanksi atau hukuman. “Kalau alasan perbuatan tergugat tersebut dijadikan alasan tambahan melakukan PHK terhadap tergugat, sama artinya penggugat menjatuhkan hukuman sebanyak dua kali terhadap satu pelanggaran,” urai Juanda.

Memperhatikan dalil dan bukti yang diajukan penggugat, majelis menyatakan penggugat tidak dapat membuktikan semua tuduhannya terhadap tergugat. “Majelis hakim berkesimpulan penggugat cenderung mengemukakan permasalahan atau tuduhan terhadap tergugat tanpa disertai bukti yang akurat,” tukas Juanda.

Gugatan ganti rugi yang diajukan Lay Tho Tjhu terhadap penggugat menurut majelis tidak dapat dijadikan alasan untuk melakukan PHK terhadap tergugat karena belum tentu pengadilan mengabulkan gugatan ganti rugi tersebut. Putusan pengadilan itu baru dapat dijadikan alasan PHK terhadap tergugat apabila pengadilan yang memeriksa gugatan Lay Tho Tjhu itu menyatakan tergugat melakukan perbuatan sebagaimana dituduhkan oleh penggugat (PT BRI). “Berdasarkan pemeriksaan terhadap bukti penggugat majelis hakim menyatakan tuduhan penggugat terhadap tergugat tidak terbukti secara hukum,” papar Juanda.

Bergantian membacakan putusan, ketua majelis hakim, Wiwik Suhartono, mengatakan alasan penggugat mengakhiri hubungan kerja tergugat terbukti tidak didukung dengan alasan yang sah. Oleh karena itu majelis hakim menyatakan gugatan penggugat ditolak untuk seluruhnya. Mengingat majelis hakim menolak gugatan maka hubungan kerja antara penggugat dan tergugat dinyatakan belum pernah putus.

“Mengadili, menolak eksepsi tergugat untuk seluruhnya. Dalam pokok perkara, menolak gugatan penggugat untuk seluruhnya,” kata Wiwik membacakan putusan.

Dosen FH Universitas Airlangga, Hadi Subhan, mengatakan beban pembuktian yang berlaku di PHI itu mengacu HIR atau hukum acara perdata. Dalam ketentuan itu diatur siapa yang mendalilkan dia yang harus membuktikan. Sehingga mengacu kasus tersebut maka jika bank menggugat pekerjanya dengan tuduhan membocorkan password maka dia harus membuktikannya.

Selain itu secara subtantif Subhan menilai PHK yang dilakukan bank dengan alasan pekerja yang bersangkutan membocorkan password tidak bisa digunakan sebagai dalih melakukan PHK. Menurutnya, alasan PHK sebagaimana diatur pasal 161 UU Ketenagakerjaan yakni melanggar perjanjian kerja, Peraturan Perusahaan atau PKB. Sebelum PHK dijatuhkan ketentuan itu mengatur pemberi kerja harus menjatuhkan skorsing terlebih dulu kepada pekerja.

“Dalam perkara itu saya berpendapat dari pembuktiannya pemberi kerja tidak bisa membuktikan dalilnya dan secara substansi......

Sumber:
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt561b59e718582/bukti-minim--hakim-phi-tolak-gugatan-phk

Tinjauan:
Terlepas dari proses pembuktian dalam hukum perdata dalam kasus diatas, proses PHK dapat dikategorikan dalam 3 hal yakni: PHK demi hukum, PHK oleh karyawan/pekerja dan PHK dari pihak Pengusaha. 

Untuk PHK dari pihak pengusahapun masih dibagi lagi kategorinya yakni PHK dari sisi pekerjanya sendiri ( faktor pelanggaran disiplin, melakukan tindak pidana, pelanggaran berat) dan dari sisi Pengusaha sendiri/internal ( faktor force majeur,efisiensi, kerugian yang mengakibatkan bangkrutnya usaha dll)

Untuk itu proses PHK didasarkan karena pembocoran password memang tidak bisa dijadikan alasan PHK. 

Perlu ditilik kembali bahwasanya setiap karyawan bank yang memegang password pasti menandatangi form/ Surat pernyataan atau apapun itu namanya yang pada intinya sanggup untuk menjaga kerahasiaan password serta dapat dimintai pertanggungjawabannya bila passwordnya dibocorkan/bocor/disalahgunakan. Ketentuan kesanggupan ini pun umumnya sudah terdapat disetiap peraturan perusahaan yang bisnisnya perbankan maupun di perjanjian kerjanya

Bila terjadi penyalahgunaan berarti ada pelanggaran terhadap peraturan perusahaan serta perjanjian kerja,sehingga dalih PHK yang tepat yang harus digunakan adalah karena adanya pelanggaran disiplin khususnya pelanggaran terhadap peraturan perusahaan 

Saat ini setiap karyawan yang bekerja di bank kebanyakan selalu ada pengkinian pernyataan untuk tunduk dan patuh pada aturan perusahaan yang dibuktikan dengan pernyataan yang ditandatanganinya.

Salam

A.F.Hasan S.H
HP: 081905057198
Email: a.f.hasanlawoffice@gmail.com
Pin BB: 74f84658

Friday, 9 October 2015

PERSELISIHAN DALAM BIDANG KETENAGAKERJAAN

Perselisihan yang timbul dalam hubungan ketenagakerjaan dikategorikan menjadi 4 macam yakni:

Perselisihan Hak
Merupakan perselisihan yang didasari dari adanya hak dari pekerja (umumnya) yang tidak dipenuhi oleh pengusaha sebagaimana akibat dari berbedanya penerapan/ terjemahan pemikiran terhadap ketentuan yang dimuat didalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama

Perselisihan Kepentingan
Adalah perselisihan yang didasari dari ketidaksamaan pemahamaan dan kepentingan atas pelaksanaan dari pembuatan ataupun perubahan syarat-syarat kerja 


Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
Adalah perselisihan mengenai penghentian hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak;

Perselisihan Antarserikat Pekerja 
Adalah perselisihan antar serikat pekerja dengan serikat pekerja  yang lain dalam satu perusahaan, didasari dari tidak adanya kesemufakatan mengenai keanggotaan, pelaksanaan hak dan kewajiban serikat pekerja
 
 
Tinjauan Hasan & Hasan
Sebagai kantor hukum yang memiliki team didalam mengkhususkan diri dalam penanganan kasus-kasus hukum perusahaan dan ketenagakerjaan, beberapa kasus hukum dalam bidang ketenagakerjaan yang dapat team kami bantu penanganannya adalah :
  • Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
  • Sengketa hubungan kerja dengan karyawan
  • Beracara di Pengadilan Hubungan Industrial
  • Pembuatan draft Perjanjian Kerja
  • Review Dokumen Ketenagakerjaan
Jika perusahaan Anda membutuhkan lawyer untuk mengurusi dan menangani kasus dan permasalahan ketenagakerjaan di perusahaan Anda, silahkan menghubungi kami

Salam
A.F.Hasan S.H
HP: 081905057198
Email: a.f.hasanlawoffice@gmail.com
Pin BB: 74f84658

Wednesday, 7 October 2015

PERIHAL REVISI UU PPHI

Komisi IX DPR mulai membahas revisi UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Kali ini Panja DPR meminta masukan sejumlah akademisi.

Pensiunan dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Brawijaya, Umu Hilmy, mengatakan jika arah revisi UU PPHI itu ujungnya akan membentuk lembaga baru penyelesaian  perselisihan hubungan industrial, sebaiknya lembaga itu tidak berada di bawah pemerintah daerah.

Jika berada di bawa pemerintahan daerah, Umu khawatir lembaga ini mudah diintervensi kepala daerah. Ia melihat peluang itu besar, sebab saat ini saja pengusaha yang melanggar hak normatif seringkali tidak dijerat sanksi karena pengawas ketenagakerjaan diinternvensi kepala daerah. Sehingga pengawas menghentikan kasus yang mereka tangani.

Umu mengingatkan hukum acara UU PPHI sangat ketat sehingga menuntut keahlian para pihak untuk mampu beracara di pengadilan hubungan industrial (PHI). Dalam konteks ini harus diakui bahwa kedudukan buruh lemah ketimbang pengusaha. Walau dalam praktik ada pengacara yang membantu buruh berperkara di PHI tapi Umu mencatat jumlahnya sangat sedikit. Kebanyakan, buruh atau serikat pekerja yang berperkara di PHI tanpa didampingi pengacara. Sementara pihak pengusaha tergolong mudah menyewa pengacara bonafid untuk beracara di PHI.

“Karena tidak menguasai hukum acara, buruh kerap kalah di PHI. Itu patut dicermati dalam merevisi UU PPHI” kata Umu dalam rapat Panitia Kerja (panja) RUU PPHI di ruang sidang Komisi IX DPR, Selasa (06/10).

UU PPHI juga membuka peluang untuk memperselisihkan hak-hak normatif buruh. Padahal, hak-hak normatif itu wajib dipenuhi, jika dilanggar sanksi harus dijatuhkan. Sayangnya, selama ini hal itu tidak terjadi karena perselisihan hak seperti upah buruh yang dibayar di bawah upah minimum dan buruh tidak diberi cuti hamil seringkali masuk ranah perselisihan hubungan industrial. Mestinya, itu menjadi hak-hak normatif buruh yang wajib dipenuhi dan ditegakkan.

Harusnya, Umu melanjutkan, pelanggaran hak-hak normatif itu tidak perlu masuk sampai PHI, tapi cukup petugas pengawas yang menjatuhkan sanksi kepada pengusaha. “Akibatnya saat ini pengusaha bebas dari sanksi ketika melanggar hak-hak normatif buruh karena kasusnya masuk sampai PHI,” ujarnya.

UU PPHI menempatkan pengusaha dan buruh pada kedudukan yang sama. Padahal, posisi pengusaha hakikatnya lebih tinggi ketimbang buruh. Sekalipun bangkrut, kata Umu, pengusaha masih punya dana untuk menyewa pengacara berperkara di PHI. Tapi ketika buruh sudah tidak mendapat upah mereka dan keluarganya akan kesulitan memenuhi kebutuhan hidup, apalagi untuk memperjuangkan hak-hak mereka sampai PHI dengan menyewa pengacara.

Untuk itu Umu menyebut pemerintah harus hadir dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial terutama perlindungan terhadap buruh. Menurutnya negara harus hadir menjalankan peran tersebut. “Maka perspektif perlindungan terhadap buruh dan serikat buruh itu harus ada dalam revisi UU PPHI,” usulnya.

Dosen FH Universitas Airlangga, Herlambang P Wiratraman, mengusulkan agar proses penyelesaian melalui PHI dihentikan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan 2005-2007, Herlambang menyimpulkan pelaksanaan UU PPHI keliru untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial dalam bentuk PHI. Ini juga diperkuat hasil kajian Komisi Hukum Nasional  di 7 wilayah industri di Indonesia. KHN menyarankan Pemerintah perlu berperan dalam menyelesaikan masalah perselisihan hubungan industrial.

Herlambang menuding UU PPHI lahir karena ada tekanan dari lembaga-lembaga keuangan internasional yang ingin meminjamkan utang kepada pemerintah Indonesia. Terbitnya UU PPHI menyebabkan pasar tenaga kerja di Indonesia makin liberal atau dikenal pasar tenaga kerja fleksibel. Kondisi nasional ketika itu juga mendukung diterbitkannya UU PPHI.

Dengan lahirnya UU PPHI maka perselisihan hubungan industrial bisa dibawa ke ranah PHI. Kedudukan buruh dan pengusaha dianggap sama. Akibatnya pemerintah tidak berperan lagi dalam pemenuhan HAM terhadap buruh. PHI juga membatasi ruang negosiasi buruh karena tidak memberi kesempatan bagi gabungan serikat buruh untuk berunding menyelesaikan perselisihan hubungan industrial yang dihadapi. Menurutnya, hal itu bertentangan dengan konvensi ILO No. 154 Tahun 1981.

“Ruang negosiasi bagi gabungan serikat pekerja untuk menyelesaikan masalah hubungan industrial ditutup oleh mekanisme PHI. Oleh karenanya yang terjadi di PHI adalah pertarungan antara buruh dengan pengacara yang dibayar pengusaha,” urai Herlambang.

Herlambang ikut menyoroti lokasi PHI yang hanya ada di tingkat provinsi. Menurutnya itu menyulitkan buruh terutama yang bekerja di lokasi yang jauh dari provinsi. Akibatnya buruh yang berada di lokasi terpencil itu minim perlindungan, seperti buruh di sektor perkebunan.

Herlambang berpendapat sebelum UU PPHI diterbitkan, peran negara hadir dalam panitia penyelesaian perselisihan perburuhan daerah (P4D) dan panitia penyelesaian perselisihan perburuhan pusat (P4P). Namun dengan dibentuknya PHI peran negara untuk melindungi buruh dicabut. “Revisi sistem PPHI harus menempatkan negara dalam konteks pemenuhan HAM sesuai mandat konstitusi. Negara harus hadir melindungi buruh,” paparnya.

Untuk itu Herlambang mengusulkan agar revisi UU PPHI mengarah pada pembentukan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang sifatnya seperti P4D dan P4P. Namun, putusannya tidak boleh menjadi obyek PTUN sehingga putusan yang diterbitkan itu memiliki kepastian hukum.

Dosen FH Atma Jaya, Daniel Yusmik, menekankan peran negara untuk melindungi buruh harus ada dalam revisi UU PPHI. Ia melihat peran negara itu ada di tiga lembaga yakni eksekutif, legislatif dan yudikatif. Praktik PHI selama ini menggunakan hukum acara perdata sehingga posisi hakim pasif. Itu menunjukan minimnya peran yudisial dalam melindungi buruh. “Posisi buruh itu selalu lebih rendah daripada pengusaha. Makanya negara perlu hadir melindungi buruh,” tukasnya.

Daniel menilai hukum acara yang selama ini digunakan di PHI harus diganti karena tidak memberi perlindungan terhadap buruh. Ia mengusulkan hukum acara yang digunakan seperti yang digunakan oleh peradilan Tata Usaha Negara (TUN). Putusan PHI selama ini menurut Daniel tidak punya kekuatan eksekusi, misalnya pada putusan yang intinya mempekerjakan kembali pekerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK).

“Saya merekomendasikan agar UU PPHI ini tidak sekedar direvisi tapi diperbaiki total karena sama sekali tidak melindungi buruh,” usul Daniel.

Mediasi yang berlangsung di dinas ketenagakerjaan dalam menangani perselisihan hubungan indsutrial menurut Daniel kurang efektif. Biasanya setelah proses mediasi dilakukan salah satu pihak yang tidak puas mengajukan gugatan ke PHI. Ia mengusulkan kedepan mediasi itu dilakukan langsung oleh hakim. Ketika mediasi tidak berhasil maka perkara berlanjut di persidangan.

Komposisi hakim adhoc juga perlu ditambah bukan saja mewakili pengusaha, buruh dan pemerintah tapi juga akademisi dan tokoh masyarakat. Ia yakin dengan jumlah hakim yang lebih banyak putusan yang dihasilkan lebih mendekati rasa keadilan. Ia pun mengusulkan putusan yang dihasilkan juga final dan mengikat, tidak bisa dijadikan obyek kasasi atau TUN. “Lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial itu harus ada........

Sumber:
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt56148f0863579/inilah-masukan-akademisi-terhadap-revisi-uu-pphi

Salam

A.F.Hasan S.H
HP: 081905057198
Email: a.f.hasanlawoffice@gmail.com
Pin BB: 74f84658

Sunday, 4 October 2015

PERIHAL ATURAN DALUWARSA PHK

DALUWARSA PHK

Sejumlah buruh mempersoalkan aturan daluwarsa (lewat waktu) pengajuan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Pemohonnya, sepuluh buruh yang berasal dari Jabotabek yakni Muhammad Hafidz, Wahidin, Chairul Eillen Kurniawan, Solihin, Labahari, Afrizal, Deda Priyatna, Muhammad Arifin, Abdul Ghofar, dan Surahman.  

Mereka memohon pengujian Pasal 171 UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Pasal 82 UU Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI). Alasannya, ketentuan itu dinilai merugikan hak buruh, seperti kehilangan hak pesangon dan hak-hak lainnya. Sebab, praktiknya aturan daluwarsa ini ditafsirkan keliru oleh Mahkamah Agung (MA) dengan cara memukul rasa semua jenis PHK.  

Menurut pemohon, aturan daluwarsa PHK hanya terbatas pada tiga hal. Pertama, pelanggaran berat (pidana) dalam Pasal 158 ayat (1) yang telah dibatalkan MK. Kedua, PHK setelah 6 bulan sejak pekerja ditahan oleh polisi yang diatur Pasal 160 ayat (3). Ketiga, PHK karena mengundurkan diri seperti diatur Pasal 162 UU Ketenagakerjaan. Dengan kondisi ini setelah satu tahun, pengajuan PHK bisa daluwarsa. 

“Persoalannya, praktiknya semua pengajuan kasasi semua jenis PHK ditolak hakim agung dengan alasan daluwarsa. Padahal, daluwarsa PHK hanya berlaku tiga kondisi itu, yang lain tidak ada daluwarsa, seperti di PHI,” ujar salah satu pemohon, Muhammad Hafidz usai sidang pemeriksaan pendahuluan di Gedung MK, Rabu (30/9).

Pasal 171 UU Ketenagakerjaan menyebut pekerja/buruh yang di-PHK tanpa penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial seperti dimaksud Pasal 158 ayat (1), Pasal 160 ayat (3), dan Pasal 162 dan tidak dapat menerima PHK tersebut, dapat mengajukan gugatan ke lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial paling lama paling lama 1 tahun sejak tanggal dilakukan PHK. 

Sedangkan Pasal 82 UU PPHI menyebutkan gugatan oleh pekerja/buruh atas PHK seperti dimaksud Pasal 159 dan Pasal 171 UU Ketenagakerjaan dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu 1 tahun sejak diterima atau diberitahukannya keputusan (PHK) dari pihak pengusaha. 

Hafidz melanjutkan atas dasar itu, dirinya bersama sembilan buruh lain mengajukan uji materi dua pasal yang mengatur daluwarsa PHK itu. Dalam persidangan perdana ini, Anggota Majelis Panel Suhartoyo menyarankan agar kedua pasal itu jangan dihapus, tetapi dimaknai secara bersyarat yakni satu tahun sejak putusan pidana berkekuatan hukum baru pengusaha bisa mem-PHK. 

“Tetapi, kalau saran seperti itu pasal yang diuji jadi berbeda, menjadi pengujian Pasal 163 UU Ketenagakerjaan, sehingga permohonan ini harus dirumuskan ulang,” kata Hafidz dalam sidang pendahuluan ini diketuai Anwar Usman beranggotakan Suhartoyo dan Patrialis Akbar.       

Meski begitu, pihaknya tetap meminta MK membatalkan Pasal 171 UU Ketenagakerjaan dan Pasal 82 UU PPHI karena bertentangan dengan UUD 1945. “Jadi, kita minta PHK dengan alasan apapun tidak ada daluwarsa untuk mengajukan 

Sumber:
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt560ba2a1dff73/buruh-minta-mk-cabut-aturan-daluwarsa-phk

Tinjauan

PHK merupakan salah satu objek perselisihan hubungan industrial. Perselisihan PHK merupakan perselisihan yang ada sebagaimana konsekuensi dari ketidaksesuaian pendapat tentang cara pengakhiran hubungan kerja antara pemberi kerja dengan penerima kerja

pengajuan gugatan dengan objek PHK ke pengadilan hubungan industrial diatur dalam ketentuan sbb:

Pasal 82 UU No 2 Tahun 2004
Gugatan  oleh  pekerja/buruh  atas  pemutusan  hubungan  kerja  sebagaimana  dimaksud dalam Pasal 159 dan Pasal 171 Undang-undang nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu 1 (satu) tahun sejak diterimanya atau diberitahukannya keputusan dari pihak pengusaha.


Ps.159 UU No 13 Tahun 2013
Apabila pekerja/buruh tidak menerima pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 158 ayat (1), pekerja/buruh yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan ke lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

Pasal 171 UU No 13 Tahun 2013
 Pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 158 ayat (1), Pasal 160 ayat (3), dan Pasal 162, dan pekerja/buruh yang bersangkutan tidak dapat menerima pemutusan hubungan kerja tersebut, maka pekerja/oburuh dapat mengajukan gugatan ke lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak tanggal dilakukan pemutusan hubungan kerjanya.


Salam

A.F.Hasan S.H
HP: 081905057198
Email: a.f.hasanlawoffice@gmail.com
Pin BB: 74f84658