Sunday, 5 February 2017

UMSK Medan 2017 akan Digugat ke PTUN


Jumat, 03 Feb 2017 07:01 WIB - http://mdn.biz.id/n/281467/
Kasus UMK Medan Belum Tuntas
 
UMSK Medan 2017 akan Digugat ke PTUN
MedanBisnis - Medan. Dunia usaha di Kota Medan, Provinsi Sumatera Utara (Sumut) menghendaki pemerintah memberikan kepastian hukum. Pasalnya, para pelaku usaha menilai regulasi atau kebijakan yang dikeluarkan pemerintah daerah (pemda) melanggar ketentuan.
Belum tuntas sengketa di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Medan soal Upah Minimum Kota (UMK) Medan 2017 yang dikeluarkan Walikota dengan "restu" Gubernur Sumut melalui Keputusan Gubernur Sumut No 188.44/26/KPTS/2016 tentang Penetapan Upah Minimum Kota Medan Tahun 2017, kini muncul Keputusan Gubernur Sumut No 188.44/33/KPTS/2017 tentang Upah Minimum Sektoral Kota Medan 2017, yang membuat "panas" dunia usaha.
 
Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) angkat bicara menyikapi keluarnya Keputusan Gubernur Sumut No 188.44/33/KPTS/2017 tentang Upah Minimum Sektoral Kota Medan 2017 itu.
 
Menurut Ketua Dewan Pimpinan Kota (DPK) Apindo Kota Medan Rusmin Lawin, keluarnya peraturan daerah terkait upah minimum sektoral kota (UMSK) itu menjadi preseden buruk bagi dunia usaha di Indonesia khususnya Kota Medan. "Sebab, dalam penghitungan UMK maupun UMSK telah memiliki payung hukum yang jelas pada Peraturan Pemerintah No 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan," jelasnya, Kamis (2/2).
 
Namun, lanjut Rusmin, meskipun peraturan pemerintah itu telah ditetapkan namun masih ada pejabat publik yang "berani" mengeluarkan kebijakan melanggar konstitusi. "Kok masih ada pejabat publik di daerah yang mengeluarkan kebijakan mengangkangi peraturan pemerintah?" ujarnya.
 
Menurut Rusmin, persoalan itu menjadi kesempatan bagi dunia usaha untuk menguji pelaksanaan hukum di tanah air. "Apindo dalam hal UMSK 2017 akan menguji SK Gubernur Sumut No 188.44/33/KPTS/2017 tentang Upah Minimum Sektoral Kota Medan 2017 ke jalur hukum dengan mem-PTUN-kannya. Apindo akan uji ini semua sampai di mana hirarki perundangan kita," tandasnya.
 
Menyikapi beredarnya Keputusan Gubernur Sumut No 188.44/33/KPTS/2017 tentang Upah Minimum Sektoral Kota Medan 2017, Pengurus Dewan Pimpinan Provinsi (DPP) Apindo Sumut pun memberikan komentarnya.
 
Wakil Ketua Apindo Sumut Ng Pin Pin beserta Johan Brien dan Hendra Agata mengatakan, kalangan dunia usaha di Sumut saat ini sedang tidak kondusif dengan ketidakpastian hukum tterhadap pelaku usaha. "Masalah UMK dan UMSK Kota Medan 2017 adalah bentuk ketidakpastian hukum dan berinvestasi bagi investor. Preseden buruk ini menjadi dilema dunia usaha," tegas Ng Pin Pin.
 
Ditambahkan Johan Brien, fenomena seperti ini bakal berimbas pada tingkat kepercayaan dunia usaha untuk menanamkan modalnya di Kota Medan yang merupakan barometer dari Provinsi Sumut dan salah satu barometer daerah secara nasional. Dia menegaskan, dalam penetapan UMSK Medan 2017 itu unsur dunia usaha tidak dilibatkan dan kabarnya tanpa adanya kajian-kajian.
 
"Harusnya pemerintah daerah di Sumut belajar dari persoalan UMSK di Jawa Timur. Oleh Kementerian Ketenagakerjaan dikeluarkan surat yang menerangkan gubernur dapat menetapkan upah minimum sektoral provinsi/kabupaten/kota berdasarkan hasil kesepakatan asosiasi pengusaha dengan serikat pekerja/serikat buruh pada sektor bersangkutan. Ditegaskan juga dalam surat tersebut, gubernur tidak dapat menetapkan upah minimum sektoral kabupaten/kota tanpa kesepakatan antara asosiasi pengusaha dengan serikat pekerja/serikat buruh," ungkap Johan.
 
Dia pun menegaskan, jika ini tidak direalisasi di Sumut maka pihaknya akan melakukan class action dengan menggugat Keputusan Gubernur Sumut No 188.44/33/KPTS/2017 tentang Upah Minimum Sektoral Kota Medan 2017 ke PTUN Medan. (ys rat)
 
Tanggapan
Pokok-pokok masalah:
 
-        Proses Penetapan UMSK
-        Perihal Gugatan TUN
 
Pembahasan
Proses / mekanisme penetapa upah minimum:

Upah minimum

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Upah Minimum adalah upah bulanan terendah yang terdiri atas upah pokok termasuk tunjangan tetap yang ditetapkan oleh gubernur sebagai jaring pengaman[1].
Upah minimum terdiri dari[1] :
*       Upah minimum provinsi (UMP) yaitu upah Minimum yang berlaku untuk seluruh kabupaten/kota di satu provinsi.
*       Upah minimum kabupaten/kota (UMK)yaitu upah minimum yang berlaku di wilayah kabupaten/kota.
*       Upah minimum sektoral provinsi (UMSP) yaitu upah minimum yang berlaku secara sektoral di satu provinsi.
*       Upah minimum sektoral kabupaten/kota (UMSK) adalah upah minimum yang berlaku secara sektoral di wilayah kabupaten/kota.

Dasar penetapan upah minimum .[1]

Penetapan Upah Minimum didasarkan pada Kebutuhan Hidup Layak (KHL) dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi. Komponen Kebutuhan hidup layak digunakan sebagai dasar penentuan Upah Minimum, dimana dihitung berdasarkan kebutuhan hidup pekerja dalam memenuhi kebutuhan mendasar yang meliputi kebutuhan akan pangan 2100kkal perhari, perumahan, pakaian, pendidikan dan sebagainya

Wewenang penetapan upah minimum [1]

UMP ditetapkan dan diumumkan oleh gubernur secara serentak setiap tanggal 1 November. Selain UMP, gubernur dapat menetapkan UMK atas rekomendasi Dewan Pengupahan Provinsi dan rekomendasi bupati/walikota. UMK ditetapkan dan diumumkan oleh gubernur selambat-lambatnya tanggal 21 November setelah penetapan UMP dengan jumlah yang lebih besar dari UMP. Upah Minimum yang telah ditetapkan, berlaku terhitung mulai tanggal 1 Januari tahun berikutnya dan ditinjau kembali setiap tahun.
Sumber
 
 
-        Perihal Gugatan KTUN
 
Dengan merujuk pada Undang-Undang NOMOR 51 TAHUN 2009 dan Undang-Undang NOMOR 9 TAHUN 2004:
Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata
 
 
Tidak termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara:
 
a.      Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata;
b.     Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum;
c.      Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan
d.     Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana;
e.      Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
f.       Keputusan Tata Usaha Negara mengenai tata usaha Tentara Nasional Indonesia;
g.     Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik di pusat maupun di daerah mengenai hasil pemilihan umum.
 
Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
 
Gugatan adalah permohonan yang berisi tuntutan terhadap badan atau pejabat tata usaha negara dan diajukan ke pengadilan untuk mendapatkan putusan
 
Legal Standing Pemohon Yang Mengajukan Gugatan TUN
Pasal 53
(1) Orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan yang berwenang yang berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau direhabilitasi.
 
(2) Alasan-alasan yang dapat digunakan dalam gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
a. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundang undangan yang berlaku;
b. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.
 
Asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Menurut UU Administrasi Pemerintahan AUPB terdiri dari 8 (delapan) asas sebagai berikut.
 
Asas Kepastian Hukum:adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan ketentuan  peraturan perundang-undangan, kepatutan, keajegan, dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggaraan pemerintahan.
 
Asas Kemanfaatan adalah manfaat yang harus diperhatikan secara seimbang antara: (1) kepentingan  individu yang satu dengan kepentingan individu yang lain; (2) kepentingan  individu dengan masyarakat; (3) kepentingan Warga Masyarakat  dan  masyarakat   asing;   (4)   kepentingan   kelompok masyarakat yang satu dan kepentingan kelompok masyarakat yang lain; (5) kepentingan pemerintah dengan Warga Masyarakat; (6) kepentingan generasi yang sekarang dan kepentingan generasi mendatang; (7) kepentingan manusia dan ekosistemnya; (8) kepentingan pria dan wanita
 
Asas Ketidakberpihakan adalah asas yang mewajibkan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam  menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan dengan mempertimbangkan kepentingan para pihak secara keseluruhan dan tidak diskriminatif.
 
Asas Kecermatan adalah asas yang mengandung arti bahwa suatu Keputusan dan/atau Tindakan harus didasarkan pada informasi dan dokumen yang lengkap untuk mendukung legalitas penetapan dan/atau pelaksanaan Keputusan dan/atau Tindakan sehingga Keputusan dan/atau Tindakan yang bersangkutan dipersiapkan dengan cermat sebelum Keputusan dan/atau Tindakan tersebut ditetapkan dan/atau dilakukan.
 
Asas Tidak Menyalahgunakan Kewenangan adalah asas yang mewajibkan setiap Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan  tidak menggunakan kewenangannya untuk kepentingan pribadi atau kepentingan yang lain dan tidak sesuai dengan tujuan pemberian kewenangan tersebut, tidak melampaui, tidak menyalahgunakan, dan/atau tidak mencampuradukkan kewenangan.
 
Asas Keterbukaan adalah asas  yang melayani masyarakat untuk mendapatkan akses dan memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif dalam penyelenggaraan pemerintahan dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan, dan rahasia  negara.
 
Asas Kepentingan Umum adalah asas yang mendahulukan kesejahteraan dan kemanfaatan umum   dengan     cara     yang aspiratif, akomodatif, selektif, dan tidak diskriminatif.
 
Asas Pelayanan Yang Baik adalah asas yang memberikan pelayanan yang tepat waktu, prosedur dan biaya yang jelas, sesuai dengan standar pelayanan, dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Selain itu dari beberapa asas diatas terdapat pula asas-asas umum lainnya di luar AUPB yakni asas umum pemerintahan yang baik yang bersumber dari putusan pengadilan negeri yang tidak dibanding, atau putusan pengadilan tinggi yang tidak dikasasi atau putusan Mahkamah Agung
 
Sumber:
 
 Salam
 
Aslam Hasan
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

Mantan Menkes Siti Fadilah Jalani Sidang Perdana Hari Ini 6 Februari 2016

Mantan Menkes Siti Fadilah Jalani Sidang Perdana Hari Ini 6 Februari 2017

Liputan6.com, Jakarta Mantan Menteri Kesehatan (Menkes) Siti Fadilah Supari akan menjalani sidang perdana hari ini. Jaksa akan membacakan dakwaannya pada sidang tersebut.

 "Iya, rencananya hari ini sidang perdana Siti Fadilah," ujar Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Febri Diansyah, ketika dihubungi Liputan6.com, Jakarta, Senin (6/2/2017).

Sidang Siti Fadilah itu terkait dengan dua perkara pengadaan alat kesehatan.

Sebelumnya, Siti dijerat KPK karena diduga terlibat dalam dua perkara. Yang pertama yaitu kasus dugaan korupsi pengadaan alkes untuk kebutuhan antisipasi kejadian luar biasa masalah kesehatan akibat bencana di Pusat Masalah Kesehatan Depkes tahun 2005.

Kedua proyek pengadaan alat kesehatan (alkes) untuk kebutuhan pusat penanggulangan krisis Departemen Kesehatan dari dana Daftar Isian Pelaksana Anggaran (DIPA) Perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2007.

Oleh KPK, Siti Fadilah Supari dijerat dengan Pasal 12 huruf b atau Pasal 5 ayat 2 jo Pasal 5 ayat 1 huruf b atau Pasai 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).


 
Tanggapan:

Kasus yang dihadapi oleh Siti Fadilah dimana oleh KPK dijerat dengan pasal Pasal 12 huruf b atau Pasal 5 ayat 2 jo Pasal 5 ayat 1 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) berlangsung pada Tanggal 6 dengan agenda berupa pembacaan surat dakwaan oleh JPU.

 

Pasal 12 huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001:

‘’pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya’’

 

Unsur-unsur dalam pasal diatas:

-        Pegawai negeri yang menerima hadiah atau

-        penyelenggara negara yang menerima hadiah

-        padahal diketahui bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat karena telah melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya

-        patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan disebabkan tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya

 

Pasal 5 ayat 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001

‘’Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)’’

 

Unsur-unsur dalam pasal diatas:

Penekanannya pada subyek hukumnya yakni: Bagi pegawai negeri yang menerima pemberian atau janji atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji

 

 

Pasal 5 ayat 1 huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001

“Pasal 5

 

(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang:

 

b. memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.

 

Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999  sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001

 

‘’Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya’’

 

Inti dari beberapa ketentuan pasal diatas adalah mengenai larangan bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji yang bertentangan dengan kewajiban hukumnya terkait jabatan yang diembannya


Salam

Aslam Hasan
 

Tuesday, 3 January 2017

REORGANISASI ASLAM HASAN & PARTNERS LAW OFFICE

REORGANISASI ASLAM HASAN & PARTNERS LAW OFFICE

Bersama dengan postingan ini, kami sampaikan bahwa saat ini Aslam Hasan & Partners  sedang melakukan reorganisasi kantor hukum sehingga penanganan layanan jasa hukum yang diberikan dan kegiatan administratif  akan ditangani sepenuhnya oleh partner-partner yang bernaung di Aslam Hasan & Partners Law Office

Demikian pemberitahuan ini kami sampaikan

Salam

Aslam Hasan

Sunday, 6 November 2016

BMPK BAGI BANK PERKREDITAN RAKYAT


PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 11/13/PBI/2009

TENTANG BATAS MAKSIMUM PEMBERIAN KREDIT BANK PERKREDITAN RAKYAT

 
Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 17 April 2009. GUBERNUR BANK INDONESIA
BOEDIONO

 
Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 17 April 2009. MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA ANDI MATTALATTA

 

Dalam bisnis perbankan, perkreditan memiliki porsi terbesar dari aktivitas/ kegiatan usaha yang dilakukan. Bank yang mengelola dana masyarakat dalam bentuk Tabungan, Giro dan Deposito untuk kemudian disalurkan kembali dalam bentuk pemberian kredit perlu dilaksanakan dengan hati-hati.

 
Peraturan Bank Indonesia No. 11/13/PBI/2009 merupakan salah satu bentuk pengaturan di bidang perbankan dalam menjalankan prinsip kehati-hatian bagi Bank Perkreditan Rakyat mengenai Batas Maksimum Pemberian Kredit

 
Didalam PBI ini mengatur hal-hal pokok sebagai berikut:

 
DEFINISI

Bank adalah Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 dan Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah

   
Bank Perkreditan Rakyat, yang selanjutnya disebut BPR, adalah Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional
 
Batas Maksimum Pemberian Kredit yang selanjutnya disebut dengan BMPK adalah persentase maksimum realisasi penyediaan dana yang diperkenankan terhadap modal BPR.

 
Pelanggaran BMPK adalah selisih lebih antara persentase Penyediaan Dana pada saat direalisasikan terhadap Modal BPR dengan BMPK yang diperkenankan.
 
Pelampauan BMPK adalah selisih lebih antara persentase Penyediaan Dana yang telah direalisasikan terhadap Modal BPR pada saat tanggal laporan dengan BMPK yang diperkenankan dan tidak termasuk Pelanggaran BMPK

 
KEWAJIBAN BAGI BPR

BPR wajib memperhatikan prinsip kehati-hatian dalam penyediaan dananya
 
BPR wajib  menjaga perjanjian kredit terhadap debitur untuk tidak mengakibatkan terjadinya pelanggaran BMPK
 
BPR wajib menjaga kegiatan penempatan dana agar tidak mengakibatkan Pelanggaran BMPK

 
PROSENTASE PENYEDIAAN DANA

 
Bagi Pihak Terkait

Penyediaan Dana kepada seluruh Pihak Terkait ditetapkan paling tinggi 10% (sepuluh persen) dari Modal BPR.

 

BMPK Kepada Pihak Tidak Terkait

Penyediaan Dana dalam bentuk Penempatan Dana Antar Bank kepada BPR lain yang merupakan Pihak Tidak Terkait ditetapkan paling tinggi 20% (dua puluh persen) dari Modal BPR.
 
Penyediaan Dana dalam bentuk Kredit kepada 1 (satu) Peminjam Pihak Tidak Terkait ditetapkan paling tinggi 20% (dua puluh persen) dari Modal BPR.
 
Penyediaan Dana dalam bentuk Kredit kepada 1 (satu) kelompok Peminjam Pihak Tidak Terkait ditetapkan paling tinggi 30% (tiga puluh persen) dari Modal BPR.

 

Penyelesaian Pelanggaran/ Pelampauan BMPK

Kewajiban untuk menyusun dan menyampaikan rencana tindak (action plan) untuk penyelesaian Pelanggaran BMPK dan/atau Pelampauan BMPK.

 
Pengecualian

Penempatan Dana Antar Bank pada Bank Umum, termasuk Bank Umum yang memenuhi kriteria Pihak Terkait
 
Bagian Penyediaan Dana yang dijamin oleh:1) Agunan dalam bentuk agunan tunai berupa deposito atau tabungan di BPR; 2) Emas dan/atau logam mulia; dan/atau 3) Sertifikat Bank Indonesia,
 
Bagian Penyediaan Dana yang dijamin oleh Pemerintah Indonesia secara langsung maupun melalui Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD)
 
Penyediaan dana BPR berupa Kredit dengan pola kemitraan inti-plasma atau pola Pengembangan Hubungan Bank dan Kelompok Swadaya Masyarakat (PHBK)

 

Sanksi
Sanksi penilaian tingkat kesehatan BPR
Denda
Sanksi administratif

 
Pelayanan jasa dari Aslam Hasan & Partners Law Office dengan profesionalitas penanganan yang terbaik dan tuntas. Kami berupaya maksimal memberikan layanan sebagai berikut:
  1. Legal Due Diligence / Legal Audit dan memberikan Legal Opini untuk setiap transaksi yang akan, sedang maupun telah dilakukan oleh Klien dibidang perkreditan, merger dan akuisisi, penanaman modal
  2. Menjadi Penasehat Hukum bagi perorangan maupun perusahaan atau lembaga lain.
  3. Kegiatan Advokat (mendampingi Klien di Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan maupun di luar Pengadilan).
  4. Membantu membuat, menyusun dan menyiapkan Draft Perjanjian, Surat Kuasa, Memory of Understanding (MoU)
  5. Menyiapkan segala upaya penyelesaian hukum baik litigasi maupun non-litigasi.
  6. Menyelesaikan perselisihan/sengketa dibidang Pidana, Perdata, Tata Usaha Negara, Ketenagakerjaan, Perpajakan dan Kepailitan
  7. Membantu pengurusan perijinan-perijinan yang berhubungan dengan perusahaan dan lain-lain.
  8. Membantu membuat permohonan kredit bank, Kelayakan Usaha, penanganan dan penyelesaian kredit bermasalah, peningkatan jaminan serta eksekusi jaminan.
  9. Khusus dibidang ketenagakerjaan kami menangani penyelesaian perselisihan perburuhan, pembuatan peraturan perusahaan (PP), membuat Kesepakatan Kerja Bersama (KKB), termasuk mendampingi dalam berbagai negosiasi.

Salam

Aslam Fetra Hasan S.H.,C.L.A
HP: 081905057198
Email: a.f.hasanlawoffice@gmail.com
Blog: hukumacara1.blogspot.co.id

Sunday, 30 October 2016

PERIHAL EKSEKUSI OBYEK JAMINAN KREDIT

ATURAN EKSEKUSI OBYEK JAMINAN KREDIT
 
Kreditur selaku pemegang jaminan kebendaan didalam perjanjian pemberian kredit kepada Debitur memiliki hak untuk mengeksekusi obyek jaminan kredit. Kewenangan kreditur  untuk mengeksekusi jaminan diatur didalam peraturan perundang-undangan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata  (“KUHPer”) dan beberapa peraturan perundang-undangan lainnya sebagai berikut ini:

1.   Pasal 1155 KUHPer: Eksekusi terhadap obyek jaminan yang dibebani dengan Gadai

2.    Pasal 15 jo. Pasal 29 Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia: Eksekusi terhadap obytek jaminan yang dibebani dengan Fidusia

3.     Pasal 6 jo. Pasal 20 Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah:  Eksekusi terhadap obyek jaminan yang dibebani dengan Hak Tanggungan



Salam

Aslam Fetra Hasan S.H.,C.L.A
HP: 081905057198
Email: a.f.hasanlawoffice@gmail.com
Blog: hukumacara1.blogspot.co.id

Tuesday, 30 August 2016

MEDIASI PERBANKAN

Dalam hubungan antara Nasabah dengan pihak Bank tidak selamanya dapat berjalan selaras dan serasi, ada kalanya muncul permasalahan/ ketidaksepahaman atas kesepakatan yang terjalin baik didalam hubungan pemberian kredit ataupun penghimpunan dana

Adapun setiap permasalahan/kesetidakpahaman yang terjadi seyogyanya perlu untuk segera ditindaklanjuti upaya penyelesaiannya secara kekeluargaan, Adapun langkah yang dapat ditempuh yakni sebagai berikut:


Setiap permasalahan perlu untuk diselesaikan secara tuntas secara kekeluargaaan


 
Salam

Aslam Fetra Hasan S.H.,C.L.A
HP: 081905057198
Email: a.f.hasanlawoffice@gmail.com
Blog: hukumacara1.blogspot.co.id

sumber gambar:
http://www.bi.go.id/id/iek/mediasi-perbankan/tata-cara/Contents/Default.aspx

Friday, 29 July 2016

MEMAHAMI PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR: 1/POJK.07/2013 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN SEKTOR JASA KEUANGAN

POJK No 1/POJK.07/2013
 
 
POJK No 1/POJK.07/2013 Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 26 Juli 2013 terdiri dari 8 Bab dan  57 pasal, Diundangkan di Jakarta  pada tanggal 6 Agustus 2013

Ketentuan-ketentuan yang termuat dalam POJK ini sebagian besar memuat mengenai kewajiban dari pelaku usaha, diantaranya sebagai berikut:

-        Pelaku Usaha Jasa Keuangan adalah Bank Umum, Bank Perkreditan Rakyat, Perusahaan Efek, Penasihat Investasi, Bank Kustodian, Dana Pensiun, Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Gadai, dan Perusahaan Penjaminan, baik yang melaksanakan kegiatan usahanya secara konvensional maupun secara syariah.

-        Konsumen adalah pihak-pihak yang menempatkan dananya dan/atau memanfaatkan pelayanan yang tersedia di Lembaga  Jasa Keuangan antara lain nasabah pada Perbankan, pemodal di Pasar Modal, pemegang polis pada perasuransian, dan peserta pada Dana Pensiun, berdasarkan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.

-        Pelaku Usaha Jasa Keuangan berhak untuk memastikan adanya itikad baik Konsumen dan mendapatkan informasi dan/atau dokumen mengenai Konsumen yang akurat, jujur, jelas, dan tidak menyesatkan.

-        Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib menyediakan dan/atau menyampaikan informasi mengenai produk dan/atau layanan yang akurat, jujur, jelas, dan tidak menyesatkan

-        Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib menggunakan istilah, frasa, dan/atau kalimat yang sederhana dalam Bahasa Indonesia yang mudah dimengerti oleh Konsumen

-        Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib menyusun dan menyediakan ringkasan informasi produk dan/atau layanan

-        Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib memberikan pemahaman kepada Konsumen mengenai hak dan kewajiban Konsumen.

-        Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib memberikan informasi mengenai biaya yang harus ditanggung Konsumen untuk setiap produk dan/atau layanan yang disediakan oleh Pelaku Usaha Jasa Keuangan

-        Pelaku Usaha Jasa Keuangan dilarang memberikan fasilitas secara otomatis yang mengakibatkan tambahan biaya tanpa persetujuan tertulis dari Konsumen.

-        Sebelum Konsumen menandatangani dokumen dan/atau perjanjian produk dan/atau layanan, Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib menyampaikan dokumen yang berisi syarat dan ketentuan produk dan/atau layanan kepada Konsumen.

-        Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib menginformasikan kepada Konsumen setiap perubahan manfaat, biaya, risiko, syarat, dan ketentuan yang tercantum dalam dokumen dan/atau perjanjian mengenai produk dan/atau layanan Pelaku Usaha Jasa Keuangan

-        Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib menyusun pedoman penetapan biaya atau harga produk dan/atau layanan jasa keuangan

-        Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib menyelenggarakan edukasi dalam rangka meningkatkan literasi keuangan kepada Konsumen dan/atau masyarakat.

-        Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib memberikan akses yang setara kepada setiap Konsumen sesuai klasifikasi Konsumen atas produk dan/atau layanan Pelaku Usaha Jasa Keuangan.

-        Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib memperhatikan kesesuaian antara kebutuhan dan kemampuan Konsumen dengan produk dan/atau layanan ditawarkan kepada Konsumen

-        Pelaku Usaha Jasa Keuangan dilarang menggunakan strategi pemasaran produk dan/atau layanan yang merugikan Konsumen dengan memanfaatkan kondisi Konsumen yang tidak memiliki pilihan lain dalam mengambil keputusan

-        Pelaku Usaha Jasa Keuangan dilarang melakukan penawaran produk dan/atau layanan kepada Konsumen dan/atau masyarakat melalui sarana komunikasi pribadi tanpa persetujuan Konsumen.

-        Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib memenuhi keseimbangan, keadilan, dan kewajaran dalam pembuatan perjanjian dengan Konsumen.

-        Dalam hal Pelaku Usaha Jasa Keuangan menggunakan perjanjian baku, perjanjian baku tersebut wajib disusun sesuai dengan peraturan perundang undangan.

-        Pelaku Usaha Jasa Keuangan, agen penjual, dan pengurus/pegawai dari Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib menghindari benturan kepentingan antara Pelaku Usaha Jasa Keuangan dengan Konsumen

-        Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib menyediakan layanan khusus kepada Konsumen dengan kebutuhan khusus.

-        Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib menjaga keamanan simpanan, dana, atau aset Konsumen yang berada dalam tanggung jawab Pelaku Usaha Jasa Keuangan.

-        Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib memberikan tanda bukti kepemilikan produk dan/atau pemanfaatan layanan kepada Konsumen tepat pada waktunya sesuai dengan perjanjian dengan Konsumen.

-        Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib memberikan laporan kepada Konsumen tentang posisi saldo dan mutasi simpanan, dana, aset, atau kewajiban Konsumen secara akurat, tepat waktu, dan dengan cara atau sarana sesuai dengan perjanjian dengan Konsumen.

-       Beberapa kewajiban dari pelaku usaha yang tercantum didalam pasal 28,29,30,31,32,33,34,35,36,38

-        Dalam hal tidak mencapai kesepakatan penyelesaian pengaduan, Konsumen dapat melakukan penyelesaian sengketa di luar pengadilan atau melalui pengadilan

-        Konsumen dapat menyampaikan pengaduan yang berindikasi sengketa dan pelanggaran ketentuan peraturan peundang-undangan di sektor keuangan  antara Pelaku Usaha Jasa Keuangan dengan Konsumen kepada Otoritas Jasa Keuangan

-        Pelaku Usaha Jasa Keuangan dan/atau pihak yang melanggar ketentuan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dikenakan sanksi administratif, antara lain berupa: Peringatan tertulis; Denda yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu; Pembatasan kegiatan usaha; Pembekuan kegiatan usaha; dan Pencabutan izin kegiatan usaha

Sumber:
POJK No 1/POJK.07/2013

Salam

Aslam Hasan S.H., C.L.A