Praktik Kefarmasian Ilegal: Kasus "Apoteker" Tanpa Izin
Di sebuah desa terpencil yang jauh dari pusat kota, seorang wanita bernama Mayaa dikenal sebagai "apoteker" oleh penduduk setempat meskipun Mayaa menyadari bahwa dirinya tidak memiliki keahlian atau kewenangan yang sah untuk praktik kefarmasian. Mayaa menjual obat-obatan tanpa izin, memberikan saran pengobatan medis, dan meracik obat-obatan medis tanpa pengetahuan medis dan uji klinis yang memadai.
Suatu ketika, seorang pasien datang kepadanya untuk mengatasi penyakit yang sudah lama dideritanya. Setelah menggunakan obat yang diracik dan direkomendasikan oleh Mayaa, pasien tersebut mengalami reaksi alergi yang berat dan harus dilarikan ke rumah sakit di kota. Keluarga pasien merasa dirugikan dan melaporkan Mayaa kepada pihak berwenang.
Setelah dilakukan penyelidikan, terungkap bahwa Mayaa telah melakukan praktik kefarmasian ilegal dan tanpa izin selama beberapa bulan. Ia kemudian dihadapkan pada perbuatan melawan hukum sesuai Pasal 436 Undang-Undang No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, yang mengatur bahwa setiap orang yang tidak memiliki keahlian tetapi melakukan praktik kefarmasian dapat dikenakan denda paling banyak Rp200 juta.
Gambaran dalam Kasus ini menekankan pentingnya regulasi dalam praktik kefarmasian untuk melindungi masyarakat dari risiko yang diakibatkan oleh praktik yang tidak profesional.
Salam
AHP Advokat