Wednesday, 14 October 2015

SEPUTAR PENOLAKAN PHK

Proses pembuktian dalam persidangan sangat penting untuk dihadirkan oleh masing-masing pihak yang berperkara, tak terkecuali dalam sidang di pengadilan hubungan industrial (PHI). Itu dapat dilihat dalam perkara antara PT Bank Rakyat Indonesia (BRI) yang menggugat pekerjanya bernama Casmuna Dwi Arifianti di PHI Jakarta.

BRI mengajukan gugatan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap Casmuna karena sang pekerja dituding membocorkan user ID/password. Akibatnya, password itu disalahgunakan orang lain untuk mencairkan deposito nasabah yang totalnya mencapai Rp150 juta.

Casmuna sebagai tergugat membantah dalil-dalil tergugat dengan alasan pencairan deposito itu dilakukan karena berkas pengajuan dan syarat-syarat sudah terpenuhi. Lagipula pencairan sebagian deposito bukan tanggung jawabnya, melainkan tanggung jawab Area Manager Branch Mikro (AMBM).

Majelis hakim yang terdiri dari Wiwik Suhartono, Juanda Pangaribuan dan Sweden Simarmata mengutip kaidah pembuktian dalam Pasal 163 HIR. Ini berarti beban pembuktian ada pada pihak yang mendalilkan tuduhan. BRI wajib membuktikan tudingannya. “Pembebanan pembuktian kepada salah satu pihak dapat diarahkan dengan memperhatikan kapasitas dan kemampuan salah satu pihak, terutama dilihat dari segi kewenangan dan kekuasaan yang dimiliki,” ucap Juanda saat mendapat giliran membacakan putusan bernomor 102/Pdt.Sus-PHI/2015/PN.JKT.PST itu di ruang sidang 1 di gedung PHI Jakarta, Kamis (17/9).

Majelis mengatakan dalil penggugat yaitu menuduh tergugat melakukan suatu perbuatan yang merugikan nasabah dan perusahaan dengan cara mencairkan deposito milik nasabah bernama Lay Tho Tjhu. Salah satu cara yang dituduhkan penggugat kepada tergugat dalam mencairkan deposito itu dengan membocorkan password. Majelis berpendapat pencairan deposito milik nasabah tidak mungkin bisa dilakukan oleh seorang Kepala unit atau teller saja.

Melihat substansi masalah yang ada dalam perkara tersebut, majelis berpendapat kedudukan penggugat sebagai pengusaha memiliki kemampuan menghadirkan bukti surat dan saksi yang relevan dengan pembuktian perkara. Untuk itu kewajiban membuktikan kesalahan yang dituduhkan kepada tergugat menurut majelis harus dibebankan kepada penggugat.

Tergugat, menurut majelis, sudah tidak dibolehkan masuk bekerja, sehingga menjadi penghalang utama bagi tergugat untuk menghadirkan rekan kerjanya sebagai saksi di persidangan. Tanpa mengajukan dokumen-dokumen yang lengkap terkait dengan pencairan deposito dan pembocoran password tergugat, majelis merasa sulit untuk menguji kebenaran semua dalil penggugat.

Mengingat penggugat tidak mengajukan bukti mengenai nama orang lain yang mengajukan permohonan pencairan deposito milik Lay Tho Tjhu, majelis berpendapat dalil penggugat yang mengatakan tergugat mencairkan deposito milik Lay Tho Tjhu atas permintaan orang lain harus dianggap tidak terbukti.

Untuk menemukan fakta, majelis mengatakan penggugat harusnya mengajukan AMBM sebagai saksi. Tanpa mendengar keterangan AMBM yang bertugas saat itu, tidak ada alasan untuk membenarkan dalil penggugat yang menuduh tergugat mencairkan deposito Lay Tho Tjhu ataupun membocorkan password. Menimbang seluruh bukti yang ada dalam perkara, majelis menilai penggugat tidak sungguh-sungguh membuktikan dasar alasan PHK yang dituduhkan kepada tergugat.

Majelis berkesimpulan penggugat tidak berhasil membuktikan kesimpulan dan tuduhannya yang mengatakan tergugat membocorkan password. Maka majelis menyatakan tergugat tidak terbukti membocorkan password miliknya dan tidak terbukti mencairkan deposito milik Lay Tho Tjhu dengan cara melanggar prosedur atau peraturan internal perusahaan (fraud). “Dengan demikian alasan PHK terhadap tergugat sepanjang didasarkan pada alasan pembocoran password dinyatakan tidak terbukti dan ditolak,” ujar Juanda.

Selain itu penggugat mendalilkan tergugat saat menjabat sebagai Kepala Unit BRI Kelapa Dua Wetan pernah menyerahkan dua sertifikat agunan kredit kepada pihak yang tidak berhak. Lagi-lagi majelis berpendapat alasan itu tidak dapat digunakan untuk melakukan PHK terhadap tergugat. Sebab, penggugat tidak membuktikan dalilnya tersebut. Tuduhan yang tidak didukung dengan bukti merupakan dalil yang tidak mengikat dan karenannya harus dikesampingkan. Mengacu pasal 163 HIR setiap dalil harus dibuktikan.

Penggugat juga beralasan pada September 2012 telah menjatuhkan hukuman disiplin berupa penurunan jabatan dua golongan kepada tergugat karena yang bersangkutan memproses pemberian kredit tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Menurut majelis itu tidak dapat dijadikan alasan melakukan PHK terhadap tergugat. Alasannya, penggugat sudah menggunakan tuduhan itu untuk menjatuhkan hukuman kepada tergugat, yakni penurunan jabatan sampai dua golongan.

Tapi jika pelanggaran tersebut terbukti, bisa dijadikan alasan melakukan PHK bila terhadap pelanggaran itu penggugat belum pernah menjatuhkan sanksi atau hukuman. “Kalau alasan perbuatan tergugat tersebut dijadikan alasan tambahan melakukan PHK terhadap tergugat, sama artinya penggugat menjatuhkan hukuman sebanyak dua kali terhadap satu pelanggaran,” urai Juanda.

Memperhatikan dalil dan bukti yang diajukan penggugat, majelis menyatakan penggugat tidak dapat membuktikan semua tuduhannya terhadap tergugat. “Majelis hakim berkesimpulan penggugat cenderung mengemukakan permasalahan atau tuduhan terhadap tergugat tanpa disertai bukti yang akurat,” tukas Juanda.

Gugatan ganti rugi yang diajukan Lay Tho Tjhu terhadap penggugat menurut majelis tidak dapat dijadikan alasan untuk melakukan PHK terhadap tergugat karena belum tentu pengadilan mengabulkan gugatan ganti rugi tersebut. Putusan pengadilan itu baru dapat dijadikan alasan PHK terhadap tergugat apabila pengadilan yang memeriksa gugatan Lay Tho Tjhu itu menyatakan tergugat melakukan perbuatan sebagaimana dituduhkan oleh penggugat (PT BRI). “Berdasarkan pemeriksaan terhadap bukti penggugat majelis hakim menyatakan tuduhan penggugat terhadap tergugat tidak terbukti secara hukum,” papar Juanda.

Bergantian membacakan putusan, ketua majelis hakim, Wiwik Suhartono, mengatakan alasan penggugat mengakhiri hubungan kerja tergugat terbukti tidak didukung dengan alasan yang sah. Oleh karena itu majelis hakim menyatakan gugatan penggugat ditolak untuk seluruhnya. Mengingat majelis hakim menolak gugatan maka hubungan kerja antara penggugat dan tergugat dinyatakan belum pernah putus.

“Mengadili, menolak eksepsi tergugat untuk seluruhnya. Dalam pokok perkara, menolak gugatan penggugat untuk seluruhnya,” kata Wiwik membacakan putusan.

Dosen FH Universitas Airlangga, Hadi Subhan, mengatakan beban pembuktian yang berlaku di PHI itu mengacu HIR atau hukum acara perdata. Dalam ketentuan itu diatur siapa yang mendalilkan dia yang harus membuktikan. Sehingga mengacu kasus tersebut maka jika bank menggugat pekerjanya dengan tuduhan membocorkan password maka dia harus membuktikannya.

Selain itu secara subtantif Subhan menilai PHK yang dilakukan bank dengan alasan pekerja yang bersangkutan membocorkan password tidak bisa digunakan sebagai dalih melakukan PHK. Menurutnya, alasan PHK sebagaimana diatur pasal 161 UU Ketenagakerjaan yakni melanggar perjanjian kerja, Peraturan Perusahaan atau PKB. Sebelum PHK dijatuhkan ketentuan itu mengatur pemberi kerja harus menjatuhkan skorsing terlebih dulu kepada pekerja.

“Dalam perkara itu saya berpendapat dari pembuktiannya pemberi kerja tidak bisa membuktikan dalilnya dan secara substansi......

Sumber:
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt561b59e718582/bukti-minim--hakim-phi-tolak-gugatan-phk

Tinjauan:
Terlepas dari proses pembuktian dalam hukum perdata dalam kasus diatas, proses PHK dapat dikategorikan dalam 3 hal yakni: PHK demi hukum, PHK oleh karyawan/pekerja dan PHK dari pihak Pengusaha. 

Untuk PHK dari pihak pengusahapun masih dibagi lagi kategorinya yakni PHK dari sisi pekerjanya sendiri ( faktor pelanggaran disiplin, melakukan tindak pidana, pelanggaran berat) dan dari sisi Pengusaha sendiri/internal ( faktor force majeur,efisiensi, kerugian yang mengakibatkan bangkrutnya usaha dll)

Untuk itu proses PHK didasarkan karena pembocoran password memang tidak bisa dijadikan alasan PHK. 

Perlu ditilik kembali bahwasanya setiap karyawan bank yang memegang password pasti menandatangi form/ Surat pernyataan atau apapun itu namanya yang pada intinya sanggup untuk menjaga kerahasiaan password serta dapat dimintai pertanggungjawabannya bila passwordnya dibocorkan/bocor/disalahgunakan. Ketentuan kesanggupan ini pun umumnya sudah terdapat disetiap peraturan perusahaan yang bisnisnya perbankan maupun di perjanjian kerjanya

Bila terjadi penyalahgunaan berarti ada pelanggaran terhadap peraturan perusahaan serta perjanjian kerja,sehingga dalih PHK yang tepat yang harus digunakan adalah karena adanya pelanggaran disiplin khususnya pelanggaran terhadap peraturan perusahaan 

Saat ini setiap karyawan yang bekerja di bank kebanyakan selalu ada pengkinian pernyataan untuk tunduk dan patuh pada aturan perusahaan yang dibuktikan dengan pernyataan yang ditandatanganinya.

Salam

A.F.Hasan S.H
HP: 081905057198
Email: a.f.hasanlawoffice@gmail.com
Pin BB: 74f84658

Friday, 9 October 2015

PERSELISIHAN DALAM BIDANG KETENAGAKERJAAN

Perselisihan yang timbul dalam hubungan ketenagakerjaan dikategorikan menjadi 4 macam yakni:

Perselisihan Hak
Merupakan perselisihan yang didasari dari adanya hak dari pekerja (umumnya) yang tidak dipenuhi oleh pengusaha sebagaimana akibat dari berbedanya penerapan/ terjemahan pemikiran terhadap ketentuan yang dimuat didalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama

Perselisihan Kepentingan
Adalah perselisihan yang didasari dari ketidaksamaan pemahamaan dan kepentingan atas pelaksanaan dari pembuatan ataupun perubahan syarat-syarat kerja 


Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
Adalah perselisihan mengenai penghentian hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak;

Perselisihan Antarserikat Pekerja 
Adalah perselisihan antar serikat pekerja dengan serikat pekerja  yang lain dalam satu perusahaan, didasari dari tidak adanya kesemufakatan mengenai keanggotaan, pelaksanaan hak dan kewajiban serikat pekerja
 
 
Tinjauan Hasan & Hasan
Sebagai kantor hukum yang memiliki team didalam mengkhususkan diri dalam penanganan kasus-kasus hukum perusahaan dan ketenagakerjaan, beberapa kasus hukum dalam bidang ketenagakerjaan yang dapat team kami bantu penanganannya adalah :
  • Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
  • Sengketa hubungan kerja dengan karyawan
  • Beracara di Pengadilan Hubungan Industrial
  • Pembuatan draft Perjanjian Kerja
  • Review Dokumen Ketenagakerjaan
Jika perusahaan Anda membutuhkan lawyer untuk mengurusi dan menangani kasus dan permasalahan ketenagakerjaan di perusahaan Anda, silahkan menghubungi kami

Salam
A.F.Hasan S.H
HP: 081905057198
Email: a.f.hasanlawoffice@gmail.com
Pin BB: 74f84658

Wednesday, 7 October 2015

PERIHAL REVISI UU PPHI

Komisi IX DPR mulai membahas revisi UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Kali ini Panja DPR meminta masukan sejumlah akademisi.

Pensiunan dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Brawijaya, Umu Hilmy, mengatakan jika arah revisi UU PPHI itu ujungnya akan membentuk lembaga baru penyelesaian  perselisihan hubungan industrial, sebaiknya lembaga itu tidak berada di bawah pemerintah daerah.

Jika berada di bawa pemerintahan daerah, Umu khawatir lembaga ini mudah diintervensi kepala daerah. Ia melihat peluang itu besar, sebab saat ini saja pengusaha yang melanggar hak normatif seringkali tidak dijerat sanksi karena pengawas ketenagakerjaan diinternvensi kepala daerah. Sehingga pengawas menghentikan kasus yang mereka tangani.

Umu mengingatkan hukum acara UU PPHI sangat ketat sehingga menuntut keahlian para pihak untuk mampu beracara di pengadilan hubungan industrial (PHI). Dalam konteks ini harus diakui bahwa kedudukan buruh lemah ketimbang pengusaha. Walau dalam praktik ada pengacara yang membantu buruh berperkara di PHI tapi Umu mencatat jumlahnya sangat sedikit. Kebanyakan, buruh atau serikat pekerja yang berperkara di PHI tanpa didampingi pengacara. Sementara pihak pengusaha tergolong mudah menyewa pengacara bonafid untuk beracara di PHI.

“Karena tidak menguasai hukum acara, buruh kerap kalah di PHI. Itu patut dicermati dalam merevisi UU PPHI” kata Umu dalam rapat Panitia Kerja (panja) RUU PPHI di ruang sidang Komisi IX DPR, Selasa (06/10).

UU PPHI juga membuka peluang untuk memperselisihkan hak-hak normatif buruh. Padahal, hak-hak normatif itu wajib dipenuhi, jika dilanggar sanksi harus dijatuhkan. Sayangnya, selama ini hal itu tidak terjadi karena perselisihan hak seperti upah buruh yang dibayar di bawah upah minimum dan buruh tidak diberi cuti hamil seringkali masuk ranah perselisihan hubungan industrial. Mestinya, itu menjadi hak-hak normatif buruh yang wajib dipenuhi dan ditegakkan.

Harusnya, Umu melanjutkan, pelanggaran hak-hak normatif itu tidak perlu masuk sampai PHI, tapi cukup petugas pengawas yang menjatuhkan sanksi kepada pengusaha. “Akibatnya saat ini pengusaha bebas dari sanksi ketika melanggar hak-hak normatif buruh karena kasusnya masuk sampai PHI,” ujarnya.

UU PPHI menempatkan pengusaha dan buruh pada kedudukan yang sama. Padahal, posisi pengusaha hakikatnya lebih tinggi ketimbang buruh. Sekalipun bangkrut, kata Umu, pengusaha masih punya dana untuk menyewa pengacara berperkara di PHI. Tapi ketika buruh sudah tidak mendapat upah mereka dan keluarganya akan kesulitan memenuhi kebutuhan hidup, apalagi untuk memperjuangkan hak-hak mereka sampai PHI dengan menyewa pengacara.

Untuk itu Umu menyebut pemerintah harus hadir dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial terutama perlindungan terhadap buruh. Menurutnya negara harus hadir menjalankan peran tersebut. “Maka perspektif perlindungan terhadap buruh dan serikat buruh itu harus ada dalam revisi UU PPHI,” usulnya.

Dosen FH Universitas Airlangga, Herlambang P Wiratraman, mengusulkan agar proses penyelesaian melalui PHI dihentikan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan 2005-2007, Herlambang menyimpulkan pelaksanaan UU PPHI keliru untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial dalam bentuk PHI. Ini juga diperkuat hasil kajian Komisi Hukum Nasional  di 7 wilayah industri di Indonesia. KHN menyarankan Pemerintah perlu berperan dalam menyelesaikan masalah perselisihan hubungan industrial.

Herlambang menuding UU PPHI lahir karena ada tekanan dari lembaga-lembaga keuangan internasional yang ingin meminjamkan utang kepada pemerintah Indonesia. Terbitnya UU PPHI menyebabkan pasar tenaga kerja di Indonesia makin liberal atau dikenal pasar tenaga kerja fleksibel. Kondisi nasional ketika itu juga mendukung diterbitkannya UU PPHI.

Dengan lahirnya UU PPHI maka perselisihan hubungan industrial bisa dibawa ke ranah PHI. Kedudukan buruh dan pengusaha dianggap sama. Akibatnya pemerintah tidak berperan lagi dalam pemenuhan HAM terhadap buruh. PHI juga membatasi ruang negosiasi buruh karena tidak memberi kesempatan bagi gabungan serikat buruh untuk berunding menyelesaikan perselisihan hubungan industrial yang dihadapi. Menurutnya, hal itu bertentangan dengan konvensi ILO No. 154 Tahun 1981.

“Ruang negosiasi bagi gabungan serikat pekerja untuk menyelesaikan masalah hubungan industrial ditutup oleh mekanisme PHI. Oleh karenanya yang terjadi di PHI adalah pertarungan antara buruh dengan pengacara yang dibayar pengusaha,” urai Herlambang.

Herlambang ikut menyoroti lokasi PHI yang hanya ada di tingkat provinsi. Menurutnya itu menyulitkan buruh terutama yang bekerja di lokasi yang jauh dari provinsi. Akibatnya buruh yang berada di lokasi terpencil itu minim perlindungan, seperti buruh di sektor perkebunan.

Herlambang berpendapat sebelum UU PPHI diterbitkan, peran negara hadir dalam panitia penyelesaian perselisihan perburuhan daerah (P4D) dan panitia penyelesaian perselisihan perburuhan pusat (P4P). Namun dengan dibentuknya PHI peran negara untuk melindungi buruh dicabut. “Revisi sistem PPHI harus menempatkan negara dalam konteks pemenuhan HAM sesuai mandat konstitusi. Negara harus hadir melindungi buruh,” paparnya.

Untuk itu Herlambang mengusulkan agar revisi UU PPHI mengarah pada pembentukan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang sifatnya seperti P4D dan P4P. Namun, putusannya tidak boleh menjadi obyek PTUN sehingga putusan yang diterbitkan itu memiliki kepastian hukum.

Dosen FH Atma Jaya, Daniel Yusmik, menekankan peran negara untuk melindungi buruh harus ada dalam revisi UU PPHI. Ia melihat peran negara itu ada di tiga lembaga yakni eksekutif, legislatif dan yudikatif. Praktik PHI selama ini menggunakan hukum acara perdata sehingga posisi hakim pasif. Itu menunjukan minimnya peran yudisial dalam melindungi buruh. “Posisi buruh itu selalu lebih rendah daripada pengusaha. Makanya negara perlu hadir melindungi buruh,” tukasnya.

Daniel menilai hukum acara yang selama ini digunakan di PHI harus diganti karena tidak memberi perlindungan terhadap buruh. Ia mengusulkan hukum acara yang digunakan seperti yang digunakan oleh peradilan Tata Usaha Negara (TUN). Putusan PHI selama ini menurut Daniel tidak punya kekuatan eksekusi, misalnya pada putusan yang intinya mempekerjakan kembali pekerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK).

“Saya merekomendasikan agar UU PPHI ini tidak sekedar direvisi tapi diperbaiki total karena sama sekali tidak melindungi buruh,” usul Daniel.

Mediasi yang berlangsung di dinas ketenagakerjaan dalam menangani perselisihan hubungan indsutrial menurut Daniel kurang efektif. Biasanya setelah proses mediasi dilakukan salah satu pihak yang tidak puas mengajukan gugatan ke PHI. Ia mengusulkan kedepan mediasi itu dilakukan langsung oleh hakim. Ketika mediasi tidak berhasil maka perkara berlanjut di persidangan.

Komposisi hakim adhoc juga perlu ditambah bukan saja mewakili pengusaha, buruh dan pemerintah tapi juga akademisi dan tokoh masyarakat. Ia yakin dengan jumlah hakim yang lebih banyak putusan yang dihasilkan lebih mendekati rasa keadilan. Ia pun mengusulkan putusan yang dihasilkan juga final dan mengikat, tidak bisa dijadikan obyek kasasi atau TUN. “Lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial itu harus ada........

Sumber:
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt56148f0863579/inilah-masukan-akademisi-terhadap-revisi-uu-pphi

Salam

A.F.Hasan S.H
HP: 081905057198
Email: a.f.hasanlawoffice@gmail.com
Pin BB: 74f84658

Sunday, 4 October 2015

PERIHAL ATURAN DALUWARSA PHK

DALUWARSA PHK

Sejumlah buruh mempersoalkan aturan daluwarsa (lewat waktu) pengajuan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Pemohonnya, sepuluh buruh yang berasal dari Jabotabek yakni Muhammad Hafidz, Wahidin, Chairul Eillen Kurniawan, Solihin, Labahari, Afrizal, Deda Priyatna, Muhammad Arifin, Abdul Ghofar, dan Surahman.  

Mereka memohon pengujian Pasal 171 UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Pasal 82 UU Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI). Alasannya, ketentuan itu dinilai merugikan hak buruh, seperti kehilangan hak pesangon dan hak-hak lainnya. Sebab, praktiknya aturan daluwarsa ini ditafsirkan keliru oleh Mahkamah Agung (MA) dengan cara memukul rasa semua jenis PHK.  

Menurut pemohon, aturan daluwarsa PHK hanya terbatas pada tiga hal. Pertama, pelanggaran berat (pidana) dalam Pasal 158 ayat (1) yang telah dibatalkan MK. Kedua, PHK setelah 6 bulan sejak pekerja ditahan oleh polisi yang diatur Pasal 160 ayat (3). Ketiga, PHK karena mengundurkan diri seperti diatur Pasal 162 UU Ketenagakerjaan. Dengan kondisi ini setelah satu tahun, pengajuan PHK bisa daluwarsa. 

“Persoalannya, praktiknya semua pengajuan kasasi semua jenis PHK ditolak hakim agung dengan alasan daluwarsa. Padahal, daluwarsa PHK hanya berlaku tiga kondisi itu, yang lain tidak ada daluwarsa, seperti di PHI,” ujar salah satu pemohon, Muhammad Hafidz usai sidang pemeriksaan pendahuluan di Gedung MK, Rabu (30/9).

Pasal 171 UU Ketenagakerjaan menyebut pekerja/buruh yang di-PHK tanpa penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial seperti dimaksud Pasal 158 ayat (1), Pasal 160 ayat (3), dan Pasal 162 dan tidak dapat menerima PHK tersebut, dapat mengajukan gugatan ke lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial paling lama paling lama 1 tahun sejak tanggal dilakukan PHK. 

Sedangkan Pasal 82 UU PPHI menyebutkan gugatan oleh pekerja/buruh atas PHK seperti dimaksud Pasal 159 dan Pasal 171 UU Ketenagakerjaan dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu 1 tahun sejak diterima atau diberitahukannya keputusan (PHK) dari pihak pengusaha. 

Hafidz melanjutkan atas dasar itu, dirinya bersama sembilan buruh lain mengajukan uji materi dua pasal yang mengatur daluwarsa PHK itu. Dalam persidangan perdana ini, Anggota Majelis Panel Suhartoyo menyarankan agar kedua pasal itu jangan dihapus, tetapi dimaknai secara bersyarat yakni satu tahun sejak putusan pidana berkekuatan hukum baru pengusaha bisa mem-PHK. 

“Tetapi, kalau saran seperti itu pasal yang diuji jadi berbeda, menjadi pengujian Pasal 163 UU Ketenagakerjaan, sehingga permohonan ini harus dirumuskan ulang,” kata Hafidz dalam sidang pendahuluan ini diketuai Anwar Usman beranggotakan Suhartoyo dan Patrialis Akbar.       

Meski begitu, pihaknya tetap meminta MK membatalkan Pasal 171 UU Ketenagakerjaan dan Pasal 82 UU PPHI karena bertentangan dengan UUD 1945. “Jadi, kita minta PHK dengan alasan apapun tidak ada daluwarsa untuk mengajukan 

Sumber:
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt560ba2a1dff73/buruh-minta-mk-cabut-aturan-daluwarsa-phk

Tinjauan

PHK merupakan salah satu objek perselisihan hubungan industrial. Perselisihan PHK merupakan perselisihan yang ada sebagaimana konsekuensi dari ketidaksesuaian pendapat tentang cara pengakhiran hubungan kerja antara pemberi kerja dengan penerima kerja

pengajuan gugatan dengan objek PHK ke pengadilan hubungan industrial diatur dalam ketentuan sbb:

Pasal 82 UU No 2 Tahun 2004
Gugatan  oleh  pekerja/buruh  atas  pemutusan  hubungan  kerja  sebagaimana  dimaksud dalam Pasal 159 dan Pasal 171 Undang-undang nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu 1 (satu) tahun sejak diterimanya atau diberitahukannya keputusan dari pihak pengusaha.


Ps.159 UU No 13 Tahun 2013
Apabila pekerja/buruh tidak menerima pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 158 ayat (1), pekerja/buruh yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan ke lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

Pasal 171 UU No 13 Tahun 2013
 Pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 158 ayat (1), Pasal 160 ayat (3), dan Pasal 162, dan pekerja/buruh yang bersangkutan tidak dapat menerima pemutusan hubungan kerja tersebut, maka pekerja/oburuh dapat mengajukan gugatan ke lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak tanggal dilakukan pemutusan hubungan kerjanya.


Salam

A.F.Hasan S.H
HP: 081905057198
Email: a.f.hasanlawoffice@gmail.com
Pin BB: 74f84658

Saturday, 3 October 2015

PERIHAL PENOLAKAN KEPAILITAN

JAKARTA- Perusahaan pertambangan batubara, PT Karya Putra Borneo (KPB) digugat pailit oleh PT Niungriam Gemilang, di Pengadilan Niaga (PN) Jakarta Pusat.

Kuasa Hukum PT KPB, Maqdir Ismail menduga ada kecenderungan penyalahgunaan hukum dalam perkara pailit dengan Nomor 10/Pdt.Sus-Pailit/2014/PN.Niaga.Jkt.Pst itu
Menurut Maqdir, sejatinya, ada pembatasan nyata yang dilakukan oleh pengadilan agar tidak terjadi penyalahgunaan hukum untuk melakukan perbuatan tidak terpuji seperti melakukan permohonan pailit terhadap perusahaan yang tidak mengalami insolvesi.

"Terhadap perusahaan yang sehat, sepatutnya pengadilan menolak permohonan pailit, apalagi kalau permohonan pailit itu dilakukan tidak secara murni berasal dari masalah utang piutang untuk kegiatan perusahaan," kata Maqdir, Senin (7/4/2014).

Dia menjelaskan, permohonan yang bersumber dari perselisihan kontrak seharusnya tidak pernah menjadi kasus kepailitan, tetapi melalui putusan pengadilan umum. Kalau permohonan pailit ini dikabulkan kata dia, maka keputusan akan menjadi kekalahan akal sehat dan kekalahan hukum.

“Hakim mempunyai kewajiban hukum untuk menolak permohonan pailit yang tidak berdasar ini," sambungnya. 

Lebih lanjut dia menegaskan, undang-undang kepailitan sejatinya tidak digunakan untuk menghukum perusahaan yang tidak patut untuk pailit. Bahkan asetnya melebihi utang dan tidak dalam kondisi tidak mampu membayar, karena ini akan mencederai kredibilitas dunia usaha dan akal sehat.

“Proses hukum itu untuk mendapatkan keadilan bukan untuk menghukum pihak yang tidak melakukan kejahatan, yang harus dihukum oleh pengadilan adalah para kreditur abal-abal dan tidak bertanggungjawab seperti pemohon pailit dalam perkara ini," pungkasnya.

Sekedar diketahui, perusahaan pertambangan batubara, PT Karya Putra Borneo (KPB) dimohonkan pailit oleh PT Niungriam Gemilang, di Pengadilan Niaga (PN) Jakarta Pusat.

Niungriam menuding perusahaan yang sahamnya dimiliki PT United Coal Indonesia dan Oorja (Batua) Pte Ltd yang merupakan anak usaha dari Mercator Lines Limited yang tercatat di Bombay Stock Exchange India ini, tidak dapat membayar utang yang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih.

Sengketa ini terdaftar di Pengadilan Niaga (PN) Jakarta Pusat dengan nomor 10/Pdt.Sus-Pailit/2014/PN.Niaga.Jkt.Pst pada 12 Maret 2014 yang lalu.

Sumber:
http://m.okezone.com/read/2014/04/07/339/966767/hakim-berhak-tolak-permohonan-kepailitan?=utm_source=br

Tinjauan
Pengajuan kepailitan dapat diajukan dengan tetap mengacu pada Undang-Undang Kepailitan Sbb:

UU Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
BAB II KEPAILITAN
Bagian Kesatu Syarat dan Putusan Pailit
Pasal 2

(1) Debitor yang mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya.

Selanjutnya dalam pasal 8:
UU Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
BAB II KEPAILITAN


Pasal 8 (4) Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) telah dipenuhi.

Dengan demikian permohonan kepailitan dapat diajukan bilamana ada debitur yang memiliki minimal 2 kreditur dan tidak membayar sedikitnya 1 utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih

Salam

A.F.Hasan S.H
HP: 081905057198
Email: a.f.hasanlawoffice@gmail.com
Pin BB: 74f84658

KANTOR HUKUM ASLAM HASAN & PARTNERS

ASLAM HASAN & PARTNERS 

ASLAM HASAN & PARTNERS adalah sebuah kantor hukum yang berlokasi di Jakarta Timur  dan team kami  sudah berpengalaman menangani banyak perkara pidana, Tata Usaha Negara dan perdata, serta perkara perburuhan baik mendampingi dan mewakili klien sebagai penggugat, tergugat, pemohon, termohon, mendampingi tersangka, membela terdakwa, membela hak-hak buruh, menangani sengketa merek, patent, terlibat dalam perkara  kepailitan dan PKPU, masalah perusahaan dan perbankan, perkreditan dan sampai ke perusahaan pembiayaan (multi finance)
Kantor ini menangani dan memberikan Audit hukum, konsultasi maupun pelatihan khususnya dalam masalah maupun perkara pidana, Tata Usaha Negara dan perdata seperti dalam bidang perusahaan, hak milik intelektual, merek dagang, paten, kepailitan, pertanahan, perjanjian, perkreditan, asuransi dan perbankan, partai politik, sengketa pilkada, perkawinan, perburuhan dan tenaga kerja serta multifinance
Kantor hukum Aslam Hasan & Partners mempunyai team yang pengalaman melakukan audit Hukum, ber-acara di dalam dan di luar pengadilan dengan mendarmabaktikan ketrampilan hukum yang dimiliki untuk melindungi hak-hak hukum klien yang di semua tingkat peradilan
Kami terbuka dan sangat senang membantu anda. Silahkan menghubungi kami atau mengirimkan pertanyaan atau pesan anda melalui email atau telepon langsung 
Salam
A.F.Hasan S.H
HP: 081905057198
Email: a.f.hasanlawoffice@gmail.com

KEPAILITAN

JAKARTA - Sidang kasus gugatan permohonan kepailitan terhadap termohon PT United Coal Indonesia (UCI) digelar di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, Jalan Gajah Mada, Gambir, Jakarta Pusat, Senin (13/10/2014).
Selaku pemohon, CV Satria Duta Perdana dan CV Exsiss Jaya mengajukan permohonan kepailitan kepada PT United Coal Indonesia yang bergerak sebagai perusahaan pertambangan batubara di Samarinda, Kalimantan Timur
Sidang yang dipimpin hakim Titik Tejaningsih itu turut dihadiri oleh pihak kuasa hukum pemohon dan termohon pailit.
Kuasa hukum pemohon, Bagus Wicaksono, mengatakan, permohonan kepailitan yang diajukan kepada PT UCI teregister dengan nomor perkara Nomor 32/Pdt. Sus/ Pailit/2014/PN. Niaga. Jkt merupakan sebuah bentuk upaya proses hukum akibat tidak dibayarnya utang para kreditur PT UCI dan utang tersebut telah jatuh tempo serta dapat ditagih.
"Permohonan kepailitan tersebut diajukan karena adanya hak-hak kreditur lain yang diajukan, yaitu untuk membantu lima karyawan PT UCI cabang site Palaran yang upahnya tidak dibayar selama tiga bulan berturut-turut sejak bulan Juni, Juli dan Agustus oleh PT UCI danhutang tersebut sudah jatuh tempo," paparnya.
Seperti diketahui, proses hukum pengajuan kepailitan dalam Undang-undang Kepailitan diperuntukkan untuk memaksa pengusaha nakal yang tidak mempunyai itikad baik dalam membayar utang yang telah jatuh tempo dan utang itu berasal dari kegiatan bisnis.
Untuk itu, CV Satria Duta Perdana dan CV Exsiss Jaya mengajukan permohonan perkara kepailitan yang ditujukan ke PT UCI.
Adapun dasar diajukannya permohonan perkara kepailitan lantaran PT UCI mengalami kegagalan dalam melunasi pembayaran tagihan yang timbul atas pembelian alat-alat kebutuhan operasional PT UCI yang dilakukan berdasarkan pemesanan (purchase order) yang jatuh tempo pembayaran dengan jumlah nilai total tagihan yang sampai saat ini mencapai Rp116.137.500 dan Rp103.817.700. Sehingga, jumlah total tagihan sebesar Rp219.955.200.
"Walaupun jumlah utang yang ditagih tidak besar, namun dilihat dari syarat Undang-undang kepailitan yaitu jumlah kreditur minimal dua kreditur. Utang yang telah jatuh tempo dapat ditagih. Hal tersebut sudah memenuhi unsur dalam UU Kepailitan pada perkara ini," paparnya.
"Maka demi hukum secara yudiris dan faktual, permohonan kepailitan ini seharusnya bisa dikabulkan oleh Majelis Hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat," timpalnya lagi.
Namun dari hasil persidangan permohonan kepailitan yang diajukan tim kuasa hukum CV Satria Duta Perdana dan CV Exsiss Jaya kepada Majelis Hakim, ternyata ditangguhkan menjadi Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU)
"Upaya permohonan pailit kita ditangguhan menjadi PKPU. Mereka (pihak termohon) mengajukan PKPU. Sidang akan dilanjutkan Selasa, 14 Oktober besok tentang jawaban kita terkait PKPU dari pihak termohon. Namun kita terus upayakan pengajuan pailit," tutupnya.

Sumber:
http://m.okezone.com/read/2014/10/13/337/1051700/gara-gara-utang-perusahaan-ini-digugat-pailit

Tinjauan:
Proses pengajuan kepailitan mengacu undang-undang kepailitan yakni:
Pasal 2

UU Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
BAB II KEPAILITAN
Bagian Kesatu Syarat dan Putusan Pailit
Pasal 2
(1) Debitor yang mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya.

Kesimpulan:
Bilamana ada utang yang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih serta sedikitnya ada 2 pihak kreditur maka permohonan kepailitan dapat diajukan ke pengadilan Niaga

Salam
A.F.Hasan S.H
HP: 081905057198
Email: a.f.hasanlawoffice@gmail.com