Saturday, 28 November 2015

KEBERSAMAAN BAPAK BASUKI KOORAKREDITOR DIVPROPAM POLRI

KEBERSAMAAN DENGAN BAPAK BASUKI KOORAKREDITOR DIVPROPAM POLRI


UPAYA HUKUM KASASI

PROSEDUR UPAYA HUKUM KASASI DALAM PROSES PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

Upaya Hukum Kasasi adalah salah satu upaya hukum biasa yang dapat diminta oleh salah satu pihak atau kedua belah pihak terhadap putusan Pengadilan Hubungan Industrial, pemeriksaan kasasi hanya meliputi seluruh putusan hakim yang mengenai hukumnya.
Alasan-alasan mengajukan kasasi

1. Tidak berwenang atau melampaui batas wewenang;
2. Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku;
3. Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan;


Di dalam UU No.2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial kasasi diatur sebagai berikut :

Pasal 110
Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri mengenai perselisihan hak dan perselisihan pemutusan hubungan kerja mempunyai kekuatan hukum tetap apabila tidak diajukan permohonan kasasi kepada Mahkamah Agung dalam waktu selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja:
a. bagi pihak yang hadir, terhitung sejak putusan dibacakan dalam sidang majelis hakim;
b. bagi pihak yang tidak hadir, terhitung sejak tanggal menerima pemberitahuan putusan.

Pasal 111
Salah satu pihak atau para pihak yang hendak mengajukan permohonan kasasi harus menyampaikan secara tertulis melalui Sub Kepaniteraan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri setempat.

Pasal 112
Sub Kepaniteraan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri dalam waktu selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal penerimaan permohonan kasasi harus sudah menyampaikan berkas perkara kepada Ketua Mahkamah Agung.

Pasal 113
Majelis Hakim Kasasi terdiri atas satu orang Hakim Agung dan dua orang Hakim Ad-Hoc yang ditugasi memeriksa dan mengadili perkara perselisihan hubungan industrial pada Mahkamah Agung yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung.

Pasal 114
Tata cara permohonan kasasi serta penyelesaian perselisihan hak dan perselisihan pemutusan hubungan kerja oleh Hakim Kasasi dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 115
Penyelesaian perselisihan hak atau perselisihan pemutusan hubungan kerja pada Mahkamah Agung selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal penerimaan permohonan kasasi.

PENDAFTARAN PERKARA KASASI
1. Berkas perkara diserahkan pada Panitera Muda Perdata sebagai petugas pada meja/loket pertama, yang menerima pendaftaran terhadap permohonan Kasasi

2. Permohonan Kasasi dapat diajukan di kepaniteraan Pengadilan Negeri dalam waktu 14 (empat belas) hari kalender terhitung keesokan harinya setelah putusan Pengadilan Tinggi diberitahukan kepada para pihak. Apabila hari ke 14 (empat belas) jatuh pada hari Sabtu, Minggu atau Hari Libur, maka penentuan hari ke 14 (empat belas) jatuh pada hari kerja berikutnya.

3. Permohonan Kasasi yang melampaui tenggang waktu tersebut di atas tidak dapat diterima dan berkas perkaranya tidak dikirimkan ke Mahkamah Agung dengan Penetapan Ketua Pengadilan (Pasal 45 A UU No. 5/2004).

4. Ketua Pengadilan Negeri menetapkan panjar biaya Kasasi yang dituangkan dalam SKUM, yang diperuntukkan:
a. Biaya pencatatan pernyataan Kasasi;
b. Besarnya biaya Kasasi yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung ditambah biaya pengiriman melalui bank ke rekening Mahkamah Agung;
c. Biaya pengiriman berkas perkara ke Mahkamah Agung;
d. Biaya Pemberitahuan (BP):
1) BP pernyataan Kasasi;
2) BP memori Kasasi;
3) BP kontra memori Kasasi;
4) BP untuk memeriksa kelengkapan berkas (inzage) bagi pemohon;
5) BP untuk memeriksa kelengkapan berkas (inzage) bagi termohon;
6) BP amar putusan Kasasi kepada pemohon;
7) BP amar putusan Kasasi kepada termohon.
SKUM (Surat Kuasa Untuk Membayar) dibuat dalam rangkap tiga:
a. lembar pertama untuk pemohon;
b. lembar kedua untuk kasir;
c. lembar ketiga untuk dilampirkan dalam berkas perkara;

5. Menyerahkan SKUM kepada pihak yang bersangkutan agar membayar uang panjar yang tercantum dalam SKUM kepada pemegang kas Pengadilan Negeri.

6. Pemegang kas setelah menerima pembayaran menandatangani dan membubuhkan cap stempel lunas pada SKUM.

7. Pernyataan Kasasi dapat diterima apabila panjar biaya perkara Kasasi yang ditentukan dalam SKUM telah dibayar lunas.

8. Pemegang kas kemudian membukukan uang panjar biaya perkara sebagaimana tercantum dalam SKUM pada buku jurnal keuangan perkara.

9. Apabila panjar biaya Kasasi telah dibayar lunas maka pengadilan pada hari itu juga wajib membuat akta pernyataan Kasasi yang dilampirkan pada berkas perkara dan mencatat permohonan Kasasi tersebut dalam register induk perkara perdata dan register permohonan Kasasi.

10. Permohonan Kasasi dalam waktu 7 (tujuh) hari kalender harus telah disampaikan kepada pihak lawan.

11. Memori Kasasi harus telah diterima di Kepaniteraan Pengadilan Negeri selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kalender terhitung sejak keesokan hari setelah pernyataan Kasasi. Apabila hari ke 14 (empat belas) jatuh pada hari Sabtu, Minggu atau Hari Libur, maka penentuan hari ke 14 (empat belas) jatuh pada hari kerja berikutnya.

12. Panitera wajib memberikan tanda terima atas penerimaan memori Kasasi dan dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kalender salinan memori Kasasi tersebut disampaikan kepada pihak lawan.

13. Kontra memori Kasasi harus telah diterima di Kepaniteraan Pengadilan Negeri selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kalender sesudah disampaikannya memori Kasasi.

14. Sebelum berkas perkara dikirim ke Mahkamah Agung harus diberikan kesempatan kepada kedua belah untuk mempelajari/ memeriksa kelengkapan berkas perkara (inzage) dan dituangkan dalam akta.

15. Dalam waktu 65 (enam puluh lima) hari sejak permohonan Kasasi diajukan, berkas Kasasi berupa bundel A dan B harus sudah dikirim ke Mahkamah Agung.

16. Biaya permohonan Kasasi untuk Mahkamah Agung harus dikirim oleh pemegang kas melalui Bank BRI Cabang Veteran - Jl. Veteran Raya No. 8 Jakarta Pusat; Rekening Nomor 31.46.0370.0 dan bukti pengirimannya dilampirkan dalam berkas perkara yang bersangkutan.

17. Tanggal penerimaan memori dan kontra memori Kasasi harus dicatat dalam buku register induk perkara perdata dan register permohonan Kasasi.

18. Fotocopy relaas pemberitahuan putusan Mahkamah Agung wajib dikirim ke Mahkamah Agung.

19. Pencabutan permohonan Kasasi diajukan kepada Ketua Mahkamah Agung melalui Ketua Pengadilan Negeri yang ditandatangani oleh pemohon Kasasi. Apabila pencabutan permohonan Kasasi diajukan oleh kuasanya maka harus diketahui oleh principal.

20. Pencabutan permohonan Kasasi harus segera dikirim oleh Panitera ke Mahkamah Agung disertai akta pencabutan permohonan Kasasi yang ditandatangani oleh Panitera.

Sumber: 

https://m.facebook.com/permalink.php?id=337468389674464&story_fbid=430183400402962

Undang-Undang No 2 Tahun 2004

Salam

KANTOR AUDITOR HUKUM
Aslam Hasan &Partners
A.F. Hasan

Email: a.f.hasanlawoffice@gmail.com
HP: 081905057198
PIN BB: 74F84658

Friday, 20 November 2015

KEPEMILIKAN PROPERTY OLEH WNA

Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Ferry Mursyidan Baldan mengatakan, kepemilikan hak pakai warga negara asing (WNA) dibatasi pada lokasi strategis.

Hal ini diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 41 Tahun 1996 tentang pemilikan Rumah Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing dan Peraturan Menteri Negara/Kepala BPN Nomor 7 Tahun 1996 tentang Persyaratan Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing.

"WNA tidak boleh menyewa ataupun membeli lokasi strategis seperti tempat wisata, termasuk menyewa bangunan 'second', kecuali kalau membangun baru," kata Ferry disela-sela kongres Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia (PP INI) XXII di Makassar, Jumat (20/11).

Dalam regulasi itu, lanjut Ferry, selain diatur masa kepemilikan, juga nilai properti yang dapat dimiliki WNA. Sebagai gambaran, untuk harga properti seperti apartemen yang dapat dimiliki oleh WNA dibatasi hanya yang harganya Rp5 miliar hingga Rp10 miliar saja.

Pembatasan termasuk untuk kepemilikan satu unit atau paling banyak dua unit yang boleh dimiliki orang asing dengan jangka waktu 30 tahun dan dapat diperpanjang selama 20 tahun. Kemudian diperbaharui selama 30 tahun, sehingga total waktunya 80 tahun.

Sedang hak pakai bagi WNA untuk rumah hunian dibatasi satu unit saja dengan jangka kepemilikan hak pakai 25 tahun dan dapat diperpanjang lagi selama 25 tahun, sehingga total waktunya adalah 50 tahun. "Apabila WNA yang memiliki properti meninggal dunia, maka dapat diwariskan kepada ahli warisnya," katanya.

Menyinggung mengenai ada calon bupati/walikota yang memanfaatkan kampanye sertifikat tanah gratis kepada calon pemilih, Ferry mengatakan, itu sah-sah saja."Justru itu akan membantu masyarakat jika memang terpilih dan dapat mewujudkan janjinya. Kan sebenarnya memang pemerintah juga menyiapkan sertifikat tanah gratis melalui Prona," katanya.

Selain itu, Ferry mengatakan, kebijakan pemerintah dalam regulasi kepemilikan properti bagi WNA dapat merangsang penambahan devisa."Dengan adanya kebijakan itu, diharapkan dapat mengalir dana dari luar negeri ke Indonesia (devisa) sepanjang WNA memenuhi persyaratannya," katanya.

Ia mengatakan, peraturan tersebut juga memberikan manfaat lebih pada pembangunan nasional. "Bagi WNA yang memiliki properti di Indonesia itu hanya memiliki hak pakai dengan beberapa syarat seperti WNA itu kehadirannya di Indonesia memberikan manfaat bagi pembangunan nasional," katanya.

Selain Ferry, dalam Pra Kongres XXII PP INI di Makassar itu, juga dihadiri Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly. Kegiatan tersebut dihadiri sedikitnya 800 orang perwakilan notaris dari .....

Sumber:
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt564f40a7ab1dc/menteri-agraria--kepemilikan-properti-oleh-wna-dibatasi

Salam

A.f.Hasan

Monday, 16 November 2015

MK Tolak Gugatan Kewenangan Polri Terbitkan SIM

JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) menegaskan, kewenangan Polri mengurus dan menerbitkan ‎Surat Izin Mengemudi (SIM), Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK), dan Bukti Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB) telah sesuai konstitusi dan tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Hal itu sebagaimana putusan MK atas uji ‎materi sejumlah pasal di ‎‎Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI (UU Polri) dan UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ)‎.
"Mengadili, menolak permohonan para pemohon secara seluruhnya," kata Ketua Majelis Hakim Konstitusi, Arief Hidayat saat membacakan amar putusan di Ruang Sidang Utama Gedung MK, Jakarta, Senin (16/11/2015).
Majelis Hakim menilai, permohonan pemohon tidak beralasan menurut hukum. Majelis Hakim dalam pertimbangannya berpendapat, tidak ada pelanggaran konstitusional pada kewenangan Polri dalam menerbitkan SIM, STNK, dan BPKB.
"Kepengurusan SIM dan STNK adalah bagian dari pengamanan yang dilakukan kepolisian," ucap Arief.
Anggota Majelis Hakim Konstitusi, Manahan Sitompul menambahkan, bahwa Mahkamah berpendapat registerasi dan identifikasi kendaraan bermotor dan menerbitkan SIM, STNK, dan BPKB merupakan persoalan kewenangan. Menurut Mahkamah, sudah tepat kewenangan itu diberikan kepada Polri.
"Menerbiatkan SIM harus dlihat pula dari relevansinya, terutama dalam keahlian forensik jika terjadi kejahatan," ucap Manahan.

Sumber:
http://www.skanaa.com/en/news/detail/mk-tolak-gugatan-kewenangan-polri-terbitkan-sim/okezone

A.F. Hasan
Email: a.f.hasanlawoffice@gmail.com
HP: 081905057198
PIN BB: 74F84658


PERSOALAN KEWENANGAN PENERBITAN SIM, STNK, BPKB

Yusril: Penerbitan SIM oleh Kemenhub Tidak Akan Efektif

By Oscar Ferri on 22 Okt 2015 at 16:00 WIB
Liputan6.com, Jakarta - Pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra mengatakan, kewenangan penerbitan Surat Izin Mengemudi (SIM), Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK), dan Bukti Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB) sudah tepat di tangani Polri. Sebab, kewenangan itu menyangkut efektifitas dan sisi historis.

‎"Dalam identifikasi dan registrasi kendaraan bermotor, kewenangan pada Polri semata-mata soal efektifitas dan historis penyelenggaraan negara," ujar Yusril di ruang sidang utama Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Kamis (22/10/2015).

Yusril hadir menjadi ahli dari kepolisian. Dia diminta memberikan pandangannya dalam sidang uji materi sejumlah pasal ‎‎Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI (UU Polri) dan UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ)‎.‎ Dalam uji materi ini dipermasalahkan soal kewenangan penerbitan SIM, STNK, dan BPKB.

‎Menurut Yusril, jika kewenangan penerbitan itu dilimpahkan ke pihak lain, misalnya Kementerian Perhubungan, seperti yang diutarakan para pemohon, maka tidak akan efektif. Sebab, Kemenhub tidak punya aparat langsung di daerah.

‎"Kalau dikasih ke Kemenhub tidak akan efektif. Karena tidak punya aparat di daerah-daerah. Dinas Perhubungan di daerah bukan netwrok Kemenhub, tapi Pemda. Jadi negara akan alami kesulitan identifikasi kendaraan bermotor," jelas dia.

Bisa Dibatalkan
Yusril menilai uji materi ini lebih kepada konstitusional komplain. Bukan objek konstitusional yang harus diuji ke MK. Apalagi uji materi ini tidak punya batu uji dalam UUD 1945, sebab kewenangan itu hanya diatur oleh undang-undang.

Karena tak punya batu uji, Yusril berpendapat, kemungkinan besar uji materi ini akan ditolak MK. Sebab, tidak cukup alasan pasal-pasal yang diuji bertentangan dengan UUD 1945, karena memang tidak mengatur mengenai kewenangan itu.

"Artinya itu pilihan. Pilihan pembuat undang-undang mau dikasih ke siapa. Dan pembuat undang-undang sudah memberikan registrasi dan identifikasi kendarana ini diberikan ke Polri. Registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor itu tidak diatur oleh UUD 1945. Tidak ada batu uji. Jadi kemungkinan ini ditolak. Karena MK itu menguji konstitusionalitas‎," papar dia.

Lagi pula, lanjut Yusril, ‎registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor sangat penting, untuk mencegah agar orang-orang tidak sembarangan dalam berkendara.

"Jadi orang-orang tidak sembarangan membawa kendaraan. Karena dia harus punya SIM. Kalau pun kita tidak puas dengan polisi, itu bukan kewenangan untuk diuji MK. Itu masalah implementasi," tegas Yusril.

Koalisi untuk Reformasi Polri yang terdiri dari Indonesia Legal Roundtable (ILR) diwakili Erwin Natosmal Oemar, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) diwakili Julius Ibrani, dan lainnya menggugat sejumlah pasal dalam UU Kepolisian dan UU LLAJ ke MK.

Mereka menggugat kewenangan kepolisian dalam menerbitkan SIM, STNK, dan BPKB sebagaimana tertuang dalam Pasal 15 ayat (2) huruf b dan huruf c UU Polri serta Pasal 64 ayat (4) dan ayat (6), Pasal 67 ayat (3), Pasal 68 ayat (6), Pasal 69 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 72 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 75, Pasal 85 ayat (5), Pasal 87 ayat (2) dan Pasal 88‎ UU LLAJ. (Rmn/Sun)

Sumber:
http://m.liputan6.com/news/read/2346661/yusril-penerbitan-sim-oleh-kemenhub-tidak-akan-efektif

Salam
Hasan
A.F. Hasan
Email: a.f.hasanlawoffice@gmail.com
HP: 081905057198
PIN BB: 74F84658


Sunday, 8 November 2015

UJI MATERIl PRAPERADILAN


Praperadilan
Chairul Huda: Aturan Gugurnya Praperadilan Multitafsir
Saturday 07 Nov 2015 08:14:01

JAKARTA, Berita HUKUM - Setelah melalui sidang keempat, rangkaian sidang pemeriksaan perkara uji materiil Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) memasuki tahap akhir, pada Kamis (5/11).

Dalam sidang tersebut, Pemohon mengadirkan Chairul Huda, pakar hukum pidana dari Universitas Muhammadiyah Jakarta. Chairul menyampaikan keahliannya di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Arief Hidayat.

Chairul menyampaikan pendapatnya terkait dalil Pemohon yang menyatakan Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 karena bersifat multitafsir. Chairul membenarkan dalil tersebut. Sebab, kata Chairul, dalam praktiknya memang banyak menimbulkan penafsiran. Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP menyatakan, dalam hal suatu perkara sudah mulai diperiksa oleh pengadilan negeri sedangkan pemeriksaan mengenai permintaan kepada praperadilan belum selesai, maka permintaan tersebut gugur.

“Ketentuan ini menurut pendapat saya walaupun sederhana tampaknya, tetapi menimbulkan banyak tafsiran di dalam praktik hukum. Terutama berkenaan dengan penggunaan frasa mulai diperiksa oleh pengadilan negeri,” ujar Chairul, di Ruang Sidang Pleno MK.

Chairul menjelaskan, banyaknya penafsiran terhadap Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP, maka mengakibatkan munculnya persoalan dalam praktik praperadilan. Misalnya saja bila dihubungkan dengan Pasal 77 KUHAP. Pasal tersebut menentukan bahwa pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus praperadilan. Bila dilihat dari ketentuan Pasal 77 KUHAP tersebut, Chairul mengatakan dapat diartikan bahwa praperadilan juga menjadi kewenangan pengadilan negeri.

“Kalau memang praperadilan juga menjadi kewenangan pengadilan negeri, mengapa permohonan praperadilan menjadi gugur ketika perkara mulai diperiksa di pengadilan negeri? Bukankah pemeriksaan praperadilan juga pemeriksaan di pengadilan negeri? Jadi karena menggunakan nomenklatur mulai diperiksa oleh pengadilan negeri ini, sebenarnya seolah-olah pemeriksaan di praperadilan itu bukan pemeriksaan di pengadilan negeri,” papar Chairul lagi.

Selain itu, ketentuan mengenai gugurnya praperadilan dalam Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP juga akan menjadi multitafsir ketika dihubungkan dengan Pasal 147 KUHAP. Pasal 147 KUHAP menyatakan, setelah pengadilan negeri menerima surat pelimpahan perkara dari penuntut umum, ketua mempelajari apakah perkara itu termasuk wewenang pengadilan yang dipimpinnya. Sebab, jelas Chairul, kata mempelajari dalam Pasal 147 KUHAP juga memiliki pengertian memeriksa.

“Kata mempelajari dalam pasal ini (Pasal 147 KUHAP, red), dalam pengertian yang lebih umum, juga termasuk dalam pengertian memeriksa. Karena ketika ketua pengadilan negeri mempelajari surat dakwaan, pada dasarnya dia memeriksa, apakah dakwaan tersebut termasuk kompetensi relatifnya atau tidak. Nah, artinya, mulai memeriksa oleh ketua pengadilan negeri, juga boleh jadi menjadi makna mulai diperiksa di pengadilan negeri berkenaan dengan gugurnya praperadilan,” papar Chairul.

Setelah mengkaitkan Pasal 82 ayat (1) huruf d dengan beberapa pasal dalam KUHAP, Chairul menegaskan bahwa ketentuan gugurnya praperadilan dikarenakan perkara sudah mulai diperiksa oleh pengadilan negeri adalah mutitafsir. Chairul pun memberikan pandangannya, bahwa seharusnya frasa mulai diperiksa oleh pengadilan negeri dalam Pasal Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP ditafsirkan setelah hakim menetapkan hari sidang dan memerintahkan penuntut umum memanggil terdakwa.

“Jadi menurut pendapat saya sekali lagi, Yang Mulia, bahwa jika frasa mulai diperiksa oleh pengadilan negeri itu ditafsirkan setelah hakim menetapkan hari sidang dan memerintahkan penuntut umum memanggil terdakwa, maka benarlah pada saat itu seseorang telah menjadi terdakwa dan kemudian secara logis seharusnya permohonannya kemudian masuk menjadi bagian dari permohonan-permohonannya yang diajukan di pokok perkaranya, tidak lagi kemudian diputus oleh hakim praperadilan,” tandasnya.

Untuk diketahui, Pemohon dalam perkara yang terdaftar dengan nomor 102/PUU-XIII/2015 ini adalah Bupati Kabupaten Morotai Periode 2012-2016, Rusli Sibua. Pemohon ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus tindak pidana suap terkait pemenangan sengketa perselisihan hasil pemilihan kepala daerah Kabupaten Morotai tahun 2011. Adapun ketentuan yang duijikan oleh Pemohon yakni Pasal 50 ayat (2) dan ayat (3) KUHAP yang mengatur hak tersangka agar perkaranya segera dimajukan ke pengadilan dan hak terdakwa agar perkaranya segera diadili oleh pengadilan. Pemohon juga menguji Pasal 82 ayat (1) KUHAP yang mengatur gugurnya permintaan praperadilan dikarenakan perkara sudah mulai diperiksa oleh pengadilan. Selain itu, Pemohon menguji Pasal 137 dan Pasal 143 ayat (1) KUHAP serta Pasal 52 ayat (1) dan ayat (2) UU KPK.

Menurut Pemohon, pasal-pasal yang diujikan tersebut telah disalahartikan dalam proses penegakkan hukum, khususnya dalam hal penanganan perkara tindak pidana suap yang disangkakan kepada Pemohon. Pemohon menceritakan, telah mengajukan permohonan praperadilan atas status tersangkanya. Namun, Pemohon menganggap ada unsur kesengajaan dari pihak KPK agar permohonan praperadilan Pemohon digugurkan.

“Mereka sengaja untuk menggugurkan praperadilan ini, karena untuk menggugurkan dengan alasan bahwa perkara sudah dilimpahkan. Padahal kami mengajukan praperadilan sebelum tersangka Bupati Rusli itu diperiksa sebagai tersangka sekalipun, dan bahkan pada tanggal tersebut juga masih belum ada pemeriksaan. Sehingga kami menilai bahwa hal ini telah dilakukan atau melanggar undang-undang atau melanggar KUHAP dan SOP KPK itu sendiri,” ujar Ahmad Rifai selaku kuasa hukum Pemohon pada sidang pendahuluan Rabu (9/9).(YustiNurulAgustin/IR/mk/bh/sya)

Sumber:
http://m.beritahukum.com/detail_berita.php?judul=Chairul+Huda%3A+Aturan+Gugurnya+Praperadilan+Multitafsir&subjudul=Praperadilan

Salam


A.F. Hasan
Email: a.f.hasanlawoffice@gmail.com
HP: 081905057198
PIN BB: 74F84658