Thursday, 26 June 2025

Proses Penegakan Hukum Pidana dan Perdata bagi Pelaku Perusakan Lingkungan Hidup

Proses Penegakan Hukum Pidana dan Perdata bagi Pelaku Perusakan Lingkungan Hidup

Pelaku dan akibat dari perusakan lingkungan hidup bukan hanya menimbulkan dampak ekologis, tetapi juga sosial dan ekonomi. Oleh karena itu, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) mengatur mekanisme penegakan hukum atas perusakan lingkungan melalui tiga jalur: administratif, perdata, dan pidana. Artikel ini akan mengupas lebih lanjut proses penegakan hukum perdata dan pidana.

1. Penegakan Hukum Pidana Lingkungan

UU PPLH membuka ruang sanksi pidana terhadap individu dan/atau korporasi yang terbukti secara sah dan menyakinkan melakukan pencemaran atau perusakan lingkungan. Berikut pasal-pasal kunci:

Pasal 98: Pidana untuk Perbuatan Sengaja

Setiap orang yang dengan sengaja:

  • Melakukan perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu lingkungan hidup, atau
  • Mengakibatkan kerusakan lingkungan,

Dipidana:

  • penjara 3 tahun hingga 10 tahun,
  • denda Rp3 miliar hingga Rp10 miliar.

Jika perbuatan tersebut mengakibatkan orang luka berat atau mati, sanksinya meningkat menjadi:

  • penjara 5 tahun hingga 15 tahun,
  • denda Rp5 miliar hingga Rp15 miliar.

Pasal 99: Pidana karena Kelalaian

Jika perusakan atau pencemaran dilakukan karena kelalaian, maka pelaku tetap dipidana:

  • penjara 1 tahun hingga 3 tahun,
  • denda Rp1 miliar hingga Rp3 miliar.

Jika akibat kelalaian itu menyebabkan korban luka berat atau mati, maka ancaman hukuman menjadi:

  • penjara 3 tahun hingga 9 tahun,
  • denda Rp3 miliar hingga Rp9 miliar.

Pasal 109: Tanpa Izin Lingkungan

Setiap orang yang menjalankan usaha atau kegiatan tanpa izin lingkungan:

  • dipidana penjara paling lama 3 tahun,
  • dan/atau denda paling banyak Rp3 miliar.

Proses Penegakan Pidana

Penegakan pidana dilakukan oleh aparat penegak hukum (penyidik, jaksa, dan hakim). Proses umumnya meliputi:

  1. Pelaporan/Pengaduan masyarakat atau hasil temuan pengawasan.
  2. Penyelidikan dan Penyidikan oleh PPNS Lingkungan atau Kepolisian.
  3. Penuntutan oleh Kejaksaan.
  4. Sidang pidana di pengadilan negeri.
  5. Putusan pengadilan yang dapat berupa pidana badan, pidana denda, atau pidana tambahan seperti pemulihan lingkungan.

2. Penegakan Hukum Perdata Lingkungan

Selain jalur pidana, korban atau masyarakat yang dirugikan oleh perusakan lingkungan dapat mengajukan gugatan perdata.

Pasal 87: Gugatan Ganti Rugi dan Tindakan Tertentu

  • Pemerintah, masyarakat, atau organisasi lingkungan dapat menggugat pelaku pencemaran/perusakan lingkungan.
  • Gugatan bisa diajukan untuk ganti rugi dan/atau pemulihan lingkungan hidup.

Pasal 88: Tanggung Jawab Mutlak (Strict Liability)

Pelaku yang menimbulkan pencemaran atau kerusakan bertanggung jawab mutlak (tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan), apabila kegiatan yang dilakukan berisiko tinggi terhadap lingkungan.

Contoh kegiatan: penambangan, penggunaan B3, dan pembukaan lahan skala besar.

Proses Penegakan Perdata

  1. Pendaftaran gugatan ke pengadilan negeri.
  2. Persidangan perdata dengan pembuktian:
    • bahwa terjadi kerusakan atau pencemaran,
    • bahwa kerugian terjadi akibat aktivitas tergugat.
  3. Putusan pengadilan yang bisa memerintahkan ganti rugi materiil dan/atau tindakan pemulihan lingkungan.
  4. Eksekusi putusan perdata oleh juru sita jika tidak dilaksanakan sukarela.

Penutup

Penegakan hukum atas perusakan lingkungan kini tidak hanya bersifat administratif. Negara memberi kewenangan luas untuk menindak secara pidana dan perdata. Efektivitas penegakan hukum ini bergantung pada sinergi aparat penegak hukum, pengawasan yang tegas, serta keberanian masyarakat untuk melapor dan menggugat

Salam
Tim Hukum AHP ADVOKAT
Ahli: Advokat Aslam Fetra Hasan

Saturday, 21 June 2025

Opini Hukum : Prioritas Sertifikat Pertama dalam Kasus Sertifikat Ganda

 

OPINI HUKUM

Perihal: Prioritas Sertifikat Pertama dalam Kasus Sertifikat Ganda
Dasar Hukum: Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 jo. land registration act


I. LATAR BELAKANG

Persoalan hukum sertifikat ganda yang kerap terjadi ketika terdapat dua atau lebih sertifikat otentik yang terbit atas satu bidang tanah dengan pemilik berbeda masih menjadi persoalan yang membingungkan. Sertifikat merupakan bukti hak kepemilkan yang tercatat dalam buku tanah dihadapkan dengan Situasi demikian menimbulkan konflik kepemilikan dan sering membingungkan pihak yang berupaya membeli atau melakukan tindakan hukum atas tanah. Perlu dipahami mekanisme keabsahan mana yang harus diakui berdasarkan urutan penerbitan sertifikat.

II. PERMASALAHAN HUKUM

Sertifikat mana yang harus diprioritaskan dalam hal terdapat sertifikat ganda atas bidang tanah yang sama: sertifikat yang diterbitkan terlebih dahulu atau yang kemudian? Apa konsekuensi hukumnya bagi pihak ketiga yang telah bertransaksi atas penggunaan sertifikat setelahnya?

III. ANALISIS HUKUM

1.      Otentisitas Sertifikat

Kedua sertifikat adalah dokumen otentik dan tercatat secara resmi, sehingga keduanya memenuhi syarat legal formal.

2.      Prinsip Lex Specialis dan Lex Posterior

Ketika terdapat dua bukti otentik, yang berlaku adalah asas waktu—sertifikat yang terbit lebih dulu diakui secara hukum. Dengan demikian, sertifikat berikutnya tidak dapat menimbulkan hak yang mengalahkan sertifikat pertama.

3.     Aplikasi terhadap Pelaku Transaksi

Calon pembeli perlu melakukan pengecekan urutan penerbitan sertifikat. Jika menggunakan sertifikat yang diterbitkan kemudian dalam transaksi hukum yang tanahnya telah dibebani sertifikat terdahulu, maka posisi hukum pembeli menjadi lemah, meskipun menggunakan sertifikat otentik.

IV. KESIMPULAN

  1. Sertifikat yang diterbitkan lebih awal memiliki kekuatan hukum yang lebih tinggi dibanding sertifikat yang terbit berikutnya terhadap objek bidang yang sama.
  2. Kedua sertifikat bersifat otentik, namun berlaku asas prioritas waktu.
  3. Pihak ketiga yang melakukan transaksi berdasarkan sertifikat kedua berada dalam risiko hukum karena haknya tidak dapat mengalahkan sertifikat yang lebih dahulu.
  4. Sertifikat kedua tidak otomatis batal, namun kekuatan pembuktiannya lebih rendah dalam sengketa hak.

V. SARAN HUKUM

  1. Bagi Pembeli dan Notaris
    • Lakukan pengecekan secara hati-hati terhadap riwayat sertifikat, khususnya tanggal penerbitan dan riwayat buku tanah.
    • Pertimbangkan untuk memasukkan otoritas terkait sebagai pihak turut tergugat saat mendaftarkan gugatan atas sengketa sertifikat ganda.
  2. Bagi Otoritas Pertanahan
    • Tingkatkan verifikasi internal terhadap penerbitan sertifikat guna meminimalisasi sertifikat ganda.
    • Siapkan pedoman operasional teknis untuk menangani kasus yang melibatkan sertifikat ganda.
  3. Bagi Legislator dan Mahkamah
    • Perlunya revisi regulasi secara tegas mengatur status dan korelasi antara sertifikat ganda, termasuk mekanisme penyelesaiannya.
    • Perlu dipertimbangkan ketentuan yang mewajibkan penarikan sertifikat ganda yang diterbitkan belakangan, terutama saat terbukti penerbitannya keliru atau tidak berdasarkan data asli.

Tim AHP Advokat

Sumber: Advokat Aslam Fetra Hasan

Opini Hukum Perihal Penafsiran Unsur “Patut Diduga” dalam Tindak Pidana Penadahan


OPINI HUKUM

Perihal: Penafsiran Unsur “Patut Diduga” dalam Tindak Pidana Penadahan
Dasar Hukum: Pasal 480 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)


I. LATAR BELAKANG

Pasal 480 KUHP mengurai  tindak pidana penadahan, berupa perbuatan membeli, menyimpan, menyembunyikan, atau memperjualbelikan suatu barang yang diperoleh dari kejahatan, dengan syarat bahwa pelaku mengetahui atau patut diduga bahwa barang tersebut berasal dari suatu tindak pidana.

Praktiknya, frasa “patut diduga” menimbulkan dinamika interpretatif karena KUHP tidak memberikan batasan atau definisi yang jelas. Persoalan ini memunculkan pertanyaan mengenai standar minimal kehati-hatian (due diligence) yang wajib dilakukan oleh pembeli supaya tidak terjerat tindak pidana penadahan.

Salah satu situasi yang acap kali menjadi sorotan yakni ketika seseorang membeli barang dengan harga jauh di bawah harga pasar, tanpa ada kejelasan asal usul atau bukti kepemilikan sah dari pihak penjual.

II. PERMASALAHAN HUKUM

Apakah pembelian suatu barang dengan harga yang tidak wajar dapat dijadikan dasar untuk membuktikan terpenuhinya unsur “patut diduga” dalam Pasal 480 KUHP?

III. ANALISIS HUKUM

Unsur “patut diduga” terkait Pasal 480 KUHP tidak menuntut adanya pengetahuan aktual dari pelaku tentang histotical barang yang berasal dari kejahatan, melainkan adanya standar objektif kehati-hatian yang harus dimiliki oleh orang pada umumnya dalam kondisi yang serupa.

Dalam hal seseorang membeli barang dengan harga yang jauh lebih murah dari harga pasaran normal, maka secara hukum dapat dikualifikasikan bahwa terdapat indikasi kuat yang seharusnya menimbulkan kecurigaan.

Fakta-fakta seperti berikut ini lazim dijadikan indikator pemenuhan unsur “patut diduga” diantaranya:

  • Harga barang tidak wajar dibanding harga pasarannya,

  • Transaksi dilakukan secara terburu-buru atau sembunyi-sembunyi,

  • Tidak disertai dokumen legalitas barang (nota, bukti kepemilikan),

  • Penjual tidak dapat menjelaskan asal usul barang secara logis.

Dengan kata lain, pelaku dapat dianggap lalai secara hukum (culpa lata) apabila tidak melakukan pemeriksaan memadai atas kondisi transaksi yang tidak lazim tersebut.

Namun demikian, unsur kehati-hatian perlu  diterapkan dalam menilai kondisi objektif yang mungkin membenarkan harga murah, seperti:

  • Barang hasil lelang atau likuidasi,

  • Barang dengan cacat fungsi atau rusak,

  • Barang bekas dengan umur ekonomis rendah,

  • Diskon musiman yang dibuktikan dengan dokumen sah.

IV. KESIMPULAN

  1. Pembelian barang dengan harga yang jauh dibawah harga pasarannya dapat dijadikan dasar pembuktian terhadap terpenuhinya unsur “patut diduga” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 480 KUHP.

  2. Penilaian atas unsur “patut diduga” bersifat objektif dan didasarkan pada prinsip kehati-hatian  yang seharusnya diterapkan dalam transaksi jual beli.

  3. Ketidakmampuan pembeli untuk menjelaskan mengapa ia tidak mencurigai kondisi transaksi yang tidak lazim dapat digunakan sebagai alat bukti adanya kelalaian hukum yang dapat dikenakan pertanggungjawaban pidana.

V. SARAN HUKUM

  1. Pihak yang melakukan pembelian barang, apapun itu barangnya harus melakukan pemeriksaan kelayakan (due diligence) dengan cara:

    • Meminta dokumen asal-usul barang,

    • Membandingkan harga pasar,

    • Merekam atau menyimpan bukti transaksi.

  2. Aparat Penegak hukum sebaiknya tidak hanya menilai dari aspek harga, tetapi juga memperhatikan konteks keseluruhan transaksi dan dokumen supaya tidak terjadi kriminalisasi terhadap pembeli yang beritikad baik.

  3. Diperlukan pengaturan tambahan atau pedoman teknis dari otoritas penegakan hukum untuk memperjelas parameter “patut diduga” guna mendukung penerapan yang konsisten dan adil di lapangan.

Salam 

Tim Advokat

Sumber: Advokat Aslam Fetra Hasan

Thursday, 12 June 2025

Gugatan Terhadap SK Menteri

Surat Keputusan (SK) Menteri  atau pejabat tata usaha negara  dapat diajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) apabila dianggap merugikan kepentingan seseorang atau badan hukum perdata.

Berikut ini kami paparkan  prosedur pengajuan gugatan ke PTUN terhadap SK Menteri atau keputusan Tata Usaha Negara (KTUN):

Dasar Hukum

  • UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (sebagaimana diubah dengan UU No. 9 Tahun 2004 dan UU No. 51 Tahun 2009)

  • Perma No. 6 Tahun 2018 tentang Pedoman Mengajukan Gugatan ke PTUN

  • SK yang digugat harus memenuhi unsur Keputusan TUN (bersifat konkret, individual, final, dan menimbulkan akibat hukum)


Sebagai gambaran bahwa: 
  • SK Menteri dianggap sebagai KTUN yang dapat digugat, meskipun dikeluarkan oleh menteri pusat, sepanjang berdampak langsung dan konkret terhadap pihak tertentu.

  • Jika SK yang digugat menyangkut izin kehutanan, lingkungan, pertambangan, atau sejenis, sering kali diperlukan keterlibatan ahli dan bukti teknis.

Pengajuan Gugatan ke PTUN

  • Gugatan diajukan ke Pengadilan TUN yang berwenang 

  • Batas waktu pengajuan: 90 hari kalender sejak tanggal diterimanya atau diketahuinya SK yang merugikan.

  • Membuat surat gugatan dengan struktur sebagai berikut:

    • Identitas para pihak

    • Objek sengketa (SK yang digugat)

    • Dasar hukum gugatan

    • Uraian kerugian

    • Petitum (permintaan agar SK dibatalkan dan dicabut)


Salam
Tim AHP Advokat



Wednesday, 5 February 2025

Bukti Fisik dan Argumentasi Hukum

Bukti fisik merupakan jenis bukti yang dapat dilihat, diraba, atau diukur, dan umumnya dianggap sebagai salah satu bentuk bukti yang paling kuat dalam proses pembuktian. Berikut ini beberapa cara di mana bukti fisik memberikan dukungan yang konkret dan signifikan bagi argumentasi hukum:

# 1. Konkret dan Terukur

Bukti fisik, diantaranya seperti senjata, dokumen tertulis, atau rekaman video, memiliki sifat yang nyata dan dapat diukur. Hal ini berarti bahwa bukti tersebut tidak bergantung pada interpretasi subjektif, melainkan dapat dilihat dan dianalisis secara langsung. Sebagai contoh, senjata yang ditemukan di lokasi kejadian dapat diuji untuk mendapatkan DNA atau sidik jari, sehingga memberikan bukti yang jelas mengenai keterlibatan seseorang dalam kejahatan.

# 2. Mendukung Kesaksian

Bukti fisik dapat berfungsi untuk mendukung atau membantah kesaksian yang diberikan oleh saksi. Contohnya, jika seorang saksi mengklaim melihat seseorang di lokasi kejadian, rekaman video dari kamera pengawas dapat memberikan bukti visual yang menguatkan atau menentang klaim tersebut. Dengan demikian, bukti fisik dapat meningkatkan kredibilitas kesaksian atau mengungkapkan ketidakakuratan dalam pernyataan saksi.

# 3. Menunjukkan Keterkaitan

Bukti fisik dapat digunakan untuk menunjukkan keterkaitan antara terdakwa dan kejahatan yang dituduhkan. Misalnya, jika pakaian atau barang pribadi ditemukan di lokasi kejadian dan dapat dihubungkan dengan terdakwa, bukti ini dapat menjadi penunjang kuat bahwa terdakwa terlibat dalam kejahatan tersebut. Keterkaitan ini dapat dibuktikan melalui analisis forensik atau bukti lain yang mengaitkan terdakwa dengan barang bukti tersebut.

# 4. Membuktikan Kejadian atau Kronologi

Bukti fisik juga dapat membantu dalam membangun kronologi kejadian. Sebagai contoh, jejak kaki, sidik jari, atau barang bukti yang ditemukan di lokasi kejadian dapat memberikan informasi mengenai urutan peristiwa. Dengan mengumpulkan dan menganalisis bukti fisik, pengacara dapat menyusun narasi yang jelas tentang apa yang terjadi dan kapan, yang akan mendukung argumentasi hukum mereka.

# 5. Mengurangi Keraguan

Bukti fisik yang kuat memiliki kemampuan untuk mengurangi keraguan yang mungkin ada di pikiran hakim atau juri. Ketika bukti fisik yang jelas dan konkret disajikan, ini dapat memberikan keyakinan tambahan bahwa klaim yang diajukan oleh pihak penuntut atau pembela adalah benar. Sebagai contoh, jika DNA seorang terdakwa ditemukan di lokasi kejadian, ini dapat menjadi bukti yang sangat kuat bahwa mereka terlibat dalam kejahatan tersebut.

# 6. Dapat Diterima di Pengadilan

Bukti fisik biasanya lebih mudah diterima di pengadilan dibandingkan bukti yang bersifat subjektif, seperti kesaksian saksi yang mungkin dipengaruhi oleh bias atau ketidakakuratan ingatan. Pengacara dapat memanfaatkan bukti fisik untuk membangun argumen yang lebih solid dan meyakinkan, karena bukti tersebut dapat diverifikasi dan diuji.

# Kesimpulan

Secara keseluruhan, bukti fisik memberikan dukungan yang kuat dan konkret bagi argumen hukum berkat sifatnya yang dapat diukur, kemampuannya untuk mendukung atau membantah kesaksian, serta kemampuannya untuk menunjukkan keterkaitan dan membangun kronologi kejadian. Oleh karena itu, bukti fisik memegang peranan penting dalam proses hukum dan dapat menjadi faktor penentu dalam hasil suatu kasus.

salam

AHP Advokat

Tuesday, 4 February 2025

Hearsay Rule (Testimonium Auditu Excluditur)

Hearsay Rule (Testimonium Auditu Excluditur)

Aturan hearsay menyatakan bahwa pernyataan yang dibuat di luar pengadilan, yang dikenal sebagai hearsay, umumnya tidak dapat diterima sebagai bukti dalam proses hukum. Ada beberapa alasan yang mendasari hal ini, terutama terkait dengan keandalan dan validitas bukti tersebut.

Keandalan Bukti: Aturan ini dirancang untuk memastikan bahwa hanya bukti yang dapat dipertanggungjawabkan dan bisa diuji kebenarannya yang diizinkan dalam pengadilan. Bukti yang dapat diuji kebenarannya adalah bukti yang bisa diperiksa dan diverifikasi melalui proses hukum, termasuk pemeriksaan silang oleh pihak-pihak yang terlibat.

Keterbatasan Pemeriksaan Silang: Hearsay dianggap tidak dapat diandalkan karena pernyataan tersebut tidak bisa diuji melalui pemeriksaan silang. Pemeriksaan silang adalah proses di mana seorang pengacara dapat mengajukan pertanyaan kepada saksi untuk menguji keakuratan, konsistensi, dan kredibilitas dari pernyataan yang diberikan. Dalam kasus hearsay, saksi yang membuat pernyataan tersebut tidak hadir di pengadilan untuk memberikan penjelasan atau membela pernyataannya, sehingga menurunkan kemampuan pihak lain untuk menilai kebenaran dari pernyataan tersebut.

Risiko Kesalahan: Mengingat hearsay melibatkan pernyataan yang disampaikan oleh pihak ketiga yang tidak hadir, terdapat risiko bahwa informasi yang disampaikan mungkin tidak akurat atau bisa dipengaruhi oleh bias. Hal ini berpotensi menyebabkan kesalahan dalam penilaian fakta-fakta relevan dalam sebuah kasus.

Rujukan Penulisan:
1. Dr. Neel Mani Tripathi
2. Advokat Aslam Fetra Hasan

salam

AHP Advokat

Penerapan Alat Bukti Asli Pembuktian

Pentingnya Penerapan Alat Bukti Tertulis Asli Dalam Proses Hukum 

Dalam sistem proses  peradilan perdata, dalam hukum acara pembuktian prinsip keaslian alat bukti memiliki peranan yang sangat penting guna memastikan keadilan dan akurasi dalam pengambilan keputusan. Sesuai dengan prinsip ini, setiap bukti yang diajukan di pengadilan haruslah yang paling akurat dan dapat diandalkan. Sebagai contoh, dalam kasus kontrak tertulis, dokumen asli wajib disajikan sebagai bukti, bukan hanya mengandalkan kesaksian saksi mengenai isi dokumen tersebut.

Pengadilan berhak menolak bukti sekunder, seperti fotokopi, kecuali ada alasan yang sah yang mengakibatkan tidak tersedianya dokumen asli, seperti kehilangan atau penghancuran. Oleh karena itu, pengacara memiliki tanggung jawab untuk menjaga dan melindungi dokumen asli yang berkaitan dengan perkara yang ditangani. Apabila dokumen asli tidak dapat disajikan, pengacara harus berusaha untuk mendapatkan salinan yang disertifikasi, yang diakui sebagai salinan resmi dan dapat dipercaya.

Dengan menekankan bukti yang tidak terdistorsi dan dapat dipertanggungjawabkan, penerapan prinsip bukti terbaik ini memiliki tujuan untuk menjaga integritas proses hukum. Ini memastikan bahwa keputusan yang diambil oleh pengadilan didasarkan pada fakta yang jelas dan akurat, sehingga menciptakan keadilan bagi semua pihak yang terlibat dalam proses hukum.

Rujukan Penulisan:
1. Dr. Neel Mani Tripathi
2. Advokat Aslam Fetra Hasan

Salam

AHP Advokat


Saturday, 1 February 2025

Aturan Hukum Mengenai Hibah Tanah

Aturan Hukum mengenai Hibah Atas Tanah : Bagian 1

Dasar Hukum

  1. Pasal 26 UU No 5 Tahun 1960
  2. Pasal 37 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997
  3. Pasal 112 Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997
  4.  Pasal 1666-1693 KUH Perdata

Dengan merujuk kepada ketentuan dalam Pasal 26 UU No 5 Tahun 1960, Hibah merupakan salah satu alas hak untuk memindahkan kepemilikan hak milik. Lebih lanjut pengaturannya sebagaimana dimuat dalam Pasal 37 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 jo pasal Pasal 112 Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997.

Pasal 37 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997: Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 112 Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 sbb:

Dalam hal pewarisan disertai dengan hibah wasiat, maka: 

a. jika hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang dihibahkan sudah tertentu, maka pendaftaran peralihan haknya dilakukan atas permohonan penerima hibah dengan melampirkan:

1) sertipikat hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun atas nama pewaris, atau apabila hak atas tanah yang dihibahkan belum terdaftar, bukti pemilikan tanah atas nama pemberi hibah sebagaimana dimaksud Pasal 24 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997;

2) surat kematian pemberi hibah wasiat dari Kepala Desa/Lurah tempat tinggal pemberi hibah wasiat tersebut waktu meninggal dunia, rumah sakit, petugas kesehatan, atau intansi lain yang berwenang;

3) a) Putusan Pengadilan atau Penetapan Hakim/Ketua Pengadilan mengenai pembagian harta waris yang memuat penunjukan hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang bersangkutan sebagai telah dihibah wasiatkan kepada pemohon, atau

b) Akta PPAT mengenai hibah yang dilakukan oleh Pelaksana Wasiat atas nama pemberi hibah wasiat sebagai pelaksanaan dari wasiat yang dikuasakan pelaksanaannya kepada Pelaksana Wasiat tersebut,

atau

c) akta pembagian waris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 ayat (2) yang memuat penunjukan hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang bersangkutan sebagai telah dihibah wasiatkan kepada pemohon,

4) surat kuasa tertulis dari penerima hibah apabila yang mengajukan permohonan pendaftaran peralihan hak bukan penerima hibah;

5) bukti identitas penerima hibah;

6) bukti pelunasan pembayaran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan  sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997, dalam hal bea tersebut terutang;

7) bukti pelunasan pembayaran PPh sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 dan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1996, dalam hal pajak tersebut terutang.

b.  jika hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang dihibahkan belum tertentu, maka pendaftaran peralihan haknya dilakukan kepada para ahli waris dan penerima hibah wasiat sebagai harta bersama

 

Selanjutnya dengan merujuk kepada ketentuan dalam KUHP Perdata pasal 1666-1693 KUH Perdata seperangkat aturan mengenai Hibah dan tatacaranya juga diatur secara rinci.Beraap pasal yang menjadi sorotan bersama.

Pasal 1666 KUH Perdata:

Penghibahan adalah suatu persetujuan dengan mana seorang penghibah menyerahkan suatu barang secara cuma-cuma, tanpa dapat menariknya kembali, untuk kepentingan seseorang yang menerima penyerahan barang itu. Undang-undang hanya mengakui penghibahan- penghibahan antara orang-orang yang masih hidup

Penjelasan:

Pasal 1666 KUH Perdata menjelaskan tentang penghibahan sebagai berikut:

1.Definisi Penghibahan: Penghibahan merupakn perjanjian di mana seorang penghibah menyerahkan barang kepada penerima hibah secara cuma-cuma, tanpa mengharapkan imbalan atau pembayaran.

2. Tanpa Dapat Menarik Kembali: bahwa penghibah tidak dapat menarik kembali barang yang telah dihibahkan setelah penyerahan dilakukan.

3. Kepentingan Penerima: Penghibahan dilakukan untuk kepentingan penerima hibah

4. Penghibahan Antara Orang Hidup: Pasal ini juga menegaskan bahwa undang-undang hanya mengakui penghibahan yang dilakukan antara orang-orang yang masih hidup.

Secara keseluruhan, Pasal 1666 KUH Perdata memberikan kerangka hukum mengenai definisi penghibahan, menekankan sifat sukarela, ketidakmampuan untuk menarik kembali, dan batasan bahwa penghibahan hanya berlaku antara orang yang masih hidup.

Salam

Tim AHP Advokat