Friday, 9 October 2015

PERSELISIHAN DALAM BIDANG KETENAGAKERJAAN

Perselisihan yang timbul dalam hubungan ketenagakerjaan dikategorikan menjadi 4 macam yakni:

Perselisihan Hak
Merupakan perselisihan yang didasari dari adanya hak dari pekerja (umumnya) yang tidak dipenuhi oleh pengusaha sebagaimana akibat dari berbedanya penerapan/ terjemahan pemikiran terhadap ketentuan yang dimuat didalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama

Perselisihan Kepentingan
Adalah perselisihan yang didasari dari ketidaksamaan pemahamaan dan kepentingan atas pelaksanaan dari pembuatan ataupun perubahan syarat-syarat kerja 


Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
Adalah perselisihan mengenai penghentian hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak;

Perselisihan Antarserikat Pekerja 
Adalah perselisihan antar serikat pekerja dengan serikat pekerja  yang lain dalam satu perusahaan, didasari dari tidak adanya kesemufakatan mengenai keanggotaan, pelaksanaan hak dan kewajiban serikat pekerja
 
 
Tinjauan Hasan & Hasan
Sebagai kantor hukum yang memiliki team didalam mengkhususkan diri dalam penanganan kasus-kasus hukum perusahaan dan ketenagakerjaan, beberapa kasus hukum dalam bidang ketenagakerjaan yang dapat team kami bantu penanganannya adalah :
  • Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
  • Sengketa hubungan kerja dengan karyawan
  • Beracara di Pengadilan Hubungan Industrial
  • Pembuatan draft Perjanjian Kerja
  • Review Dokumen Ketenagakerjaan
Jika perusahaan Anda membutuhkan lawyer untuk mengurusi dan menangani kasus dan permasalahan ketenagakerjaan di perusahaan Anda, silahkan menghubungi kami

Salam
A.F.Hasan S.H
HP: 081905057198
Email: a.f.hasanlawoffice@gmail.com
Pin BB: 74f84658

Wednesday, 7 October 2015

PERIHAL REVISI UU PPHI

Komisi IX DPR mulai membahas revisi UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Kali ini Panja DPR meminta masukan sejumlah akademisi.

Pensiunan dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Brawijaya, Umu Hilmy, mengatakan jika arah revisi UU PPHI itu ujungnya akan membentuk lembaga baru penyelesaian  perselisihan hubungan industrial, sebaiknya lembaga itu tidak berada di bawah pemerintah daerah.

Jika berada di bawa pemerintahan daerah, Umu khawatir lembaga ini mudah diintervensi kepala daerah. Ia melihat peluang itu besar, sebab saat ini saja pengusaha yang melanggar hak normatif seringkali tidak dijerat sanksi karena pengawas ketenagakerjaan diinternvensi kepala daerah. Sehingga pengawas menghentikan kasus yang mereka tangani.

Umu mengingatkan hukum acara UU PPHI sangat ketat sehingga menuntut keahlian para pihak untuk mampu beracara di pengadilan hubungan industrial (PHI). Dalam konteks ini harus diakui bahwa kedudukan buruh lemah ketimbang pengusaha. Walau dalam praktik ada pengacara yang membantu buruh berperkara di PHI tapi Umu mencatat jumlahnya sangat sedikit. Kebanyakan, buruh atau serikat pekerja yang berperkara di PHI tanpa didampingi pengacara. Sementara pihak pengusaha tergolong mudah menyewa pengacara bonafid untuk beracara di PHI.

“Karena tidak menguasai hukum acara, buruh kerap kalah di PHI. Itu patut dicermati dalam merevisi UU PPHI” kata Umu dalam rapat Panitia Kerja (panja) RUU PPHI di ruang sidang Komisi IX DPR, Selasa (06/10).

UU PPHI juga membuka peluang untuk memperselisihkan hak-hak normatif buruh. Padahal, hak-hak normatif itu wajib dipenuhi, jika dilanggar sanksi harus dijatuhkan. Sayangnya, selama ini hal itu tidak terjadi karena perselisihan hak seperti upah buruh yang dibayar di bawah upah minimum dan buruh tidak diberi cuti hamil seringkali masuk ranah perselisihan hubungan industrial. Mestinya, itu menjadi hak-hak normatif buruh yang wajib dipenuhi dan ditegakkan.

Harusnya, Umu melanjutkan, pelanggaran hak-hak normatif itu tidak perlu masuk sampai PHI, tapi cukup petugas pengawas yang menjatuhkan sanksi kepada pengusaha. “Akibatnya saat ini pengusaha bebas dari sanksi ketika melanggar hak-hak normatif buruh karena kasusnya masuk sampai PHI,” ujarnya.

UU PPHI menempatkan pengusaha dan buruh pada kedudukan yang sama. Padahal, posisi pengusaha hakikatnya lebih tinggi ketimbang buruh. Sekalipun bangkrut, kata Umu, pengusaha masih punya dana untuk menyewa pengacara berperkara di PHI. Tapi ketika buruh sudah tidak mendapat upah mereka dan keluarganya akan kesulitan memenuhi kebutuhan hidup, apalagi untuk memperjuangkan hak-hak mereka sampai PHI dengan menyewa pengacara.

Untuk itu Umu menyebut pemerintah harus hadir dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial terutama perlindungan terhadap buruh. Menurutnya negara harus hadir menjalankan peran tersebut. “Maka perspektif perlindungan terhadap buruh dan serikat buruh itu harus ada dalam revisi UU PPHI,” usulnya.

Dosen FH Universitas Airlangga, Herlambang P Wiratraman, mengusulkan agar proses penyelesaian melalui PHI dihentikan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan 2005-2007, Herlambang menyimpulkan pelaksanaan UU PPHI keliru untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial dalam bentuk PHI. Ini juga diperkuat hasil kajian Komisi Hukum Nasional  di 7 wilayah industri di Indonesia. KHN menyarankan Pemerintah perlu berperan dalam menyelesaikan masalah perselisihan hubungan industrial.

Herlambang menuding UU PPHI lahir karena ada tekanan dari lembaga-lembaga keuangan internasional yang ingin meminjamkan utang kepada pemerintah Indonesia. Terbitnya UU PPHI menyebabkan pasar tenaga kerja di Indonesia makin liberal atau dikenal pasar tenaga kerja fleksibel. Kondisi nasional ketika itu juga mendukung diterbitkannya UU PPHI.

Dengan lahirnya UU PPHI maka perselisihan hubungan industrial bisa dibawa ke ranah PHI. Kedudukan buruh dan pengusaha dianggap sama. Akibatnya pemerintah tidak berperan lagi dalam pemenuhan HAM terhadap buruh. PHI juga membatasi ruang negosiasi buruh karena tidak memberi kesempatan bagi gabungan serikat buruh untuk berunding menyelesaikan perselisihan hubungan industrial yang dihadapi. Menurutnya, hal itu bertentangan dengan konvensi ILO No. 154 Tahun 1981.

“Ruang negosiasi bagi gabungan serikat pekerja untuk menyelesaikan masalah hubungan industrial ditutup oleh mekanisme PHI. Oleh karenanya yang terjadi di PHI adalah pertarungan antara buruh dengan pengacara yang dibayar pengusaha,” urai Herlambang.

Herlambang ikut menyoroti lokasi PHI yang hanya ada di tingkat provinsi. Menurutnya itu menyulitkan buruh terutama yang bekerja di lokasi yang jauh dari provinsi. Akibatnya buruh yang berada di lokasi terpencil itu minim perlindungan, seperti buruh di sektor perkebunan.

Herlambang berpendapat sebelum UU PPHI diterbitkan, peran negara hadir dalam panitia penyelesaian perselisihan perburuhan daerah (P4D) dan panitia penyelesaian perselisihan perburuhan pusat (P4P). Namun dengan dibentuknya PHI peran negara untuk melindungi buruh dicabut. “Revisi sistem PPHI harus menempatkan negara dalam konteks pemenuhan HAM sesuai mandat konstitusi. Negara harus hadir melindungi buruh,” paparnya.

Untuk itu Herlambang mengusulkan agar revisi UU PPHI mengarah pada pembentukan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang sifatnya seperti P4D dan P4P. Namun, putusannya tidak boleh menjadi obyek PTUN sehingga putusan yang diterbitkan itu memiliki kepastian hukum.

Dosen FH Atma Jaya, Daniel Yusmik, menekankan peran negara untuk melindungi buruh harus ada dalam revisi UU PPHI. Ia melihat peran negara itu ada di tiga lembaga yakni eksekutif, legislatif dan yudikatif. Praktik PHI selama ini menggunakan hukum acara perdata sehingga posisi hakim pasif. Itu menunjukan minimnya peran yudisial dalam melindungi buruh. “Posisi buruh itu selalu lebih rendah daripada pengusaha. Makanya negara perlu hadir melindungi buruh,” tukasnya.

Daniel menilai hukum acara yang selama ini digunakan di PHI harus diganti karena tidak memberi perlindungan terhadap buruh. Ia mengusulkan hukum acara yang digunakan seperti yang digunakan oleh peradilan Tata Usaha Negara (TUN). Putusan PHI selama ini menurut Daniel tidak punya kekuatan eksekusi, misalnya pada putusan yang intinya mempekerjakan kembali pekerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK).

“Saya merekomendasikan agar UU PPHI ini tidak sekedar direvisi tapi diperbaiki total karena sama sekali tidak melindungi buruh,” usul Daniel.

Mediasi yang berlangsung di dinas ketenagakerjaan dalam menangani perselisihan hubungan indsutrial menurut Daniel kurang efektif. Biasanya setelah proses mediasi dilakukan salah satu pihak yang tidak puas mengajukan gugatan ke PHI. Ia mengusulkan kedepan mediasi itu dilakukan langsung oleh hakim. Ketika mediasi tidak berhasil maka perkara berlanjut di persidangan.

Komposisi hakim adhoc juga perlu ditambah bukan saja mewakili pengusaha, buruh dan pemerintah tapi juga akademisi dan tokoh masyarakat. Ia yakin dengan jumlah hakim yang lebih banyak putusan yang dihasilkan lebih mendekati rasa keadilan. Ia pun mengusulkan putusan yang dihasilkan juga final dan mengikat, tidak bisa dijadikan obyek kasasi atau TUN. “Lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial itu harus ada........

Sumber:
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt56148f0863579/inilah-masukan-akademisi-terhadap-revisi-uu-pphi

Salam

A.F.Hasan S.H
HP: 081905057198
Email: a.f.hasanlawoffice@gmail.com
Pin BB: 74f84658

Sunday, 4 October 2015

PERIHAL ATURAN DALUWARSA PHK

DALUWARSA PHK

Sejumlah buruh mempersoalkan aturan daluwarsa (lewat waktu) pengajuan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Pemohonnya, sepuluh buruh yang berasal dari Jabotabek yakni Muhammad Hafidz, Wahidin, Chairul Eillen Kurniawan, Solihin, Labahari, Afrizal, Deda Priyatna, Muhammad Arifin, Abdul Ghofar, dan Surahman.  

Mereka memohon pengujian Pasal 171 UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Pasal 82 UU Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI). Alasannya, ketentuan itu dinilai merugikan hak buruh, seperti kehilangan hak pesangon dan hak-hak lainnya. Sebab, praktiknya aturan daluwarsa ini ditafsirkan keliru oleh Mahkamah Agung (MA) dengan cara memukul rasa semua jenis PHK.  

Menurut pemohon, aturan daluwarsa PHK hanya terbatas pada tiga hal. Pertama, pelanggaran berat (pidana) dalam Pasal 158 ayat (1) yang telah dibatalkan MK. Kedua, PHK setelah 6 bulan sejak pekerja ditahan oleh polisi yang diatur Pasal 160 ayat (3). Ketiga, PHK karena mengundurkan diri seperti diatur Pasal 162 UU Ketenagakerjaan. Dengan kondisi ini setelah satu tahun, pengajuan PHK bisa daluwarsa. 

“Persoalannya, praktiknya semua pengajuan kasasi semua jenis PHK ditolak hakim agung dengan alasan daluwarsa. Padahal, daluwarsa PHK hanya berlaku tiga kondisi itu, yang lain tidak ada daluwarsa, seperti di PHI,” ujar salah satu pemohon, Muhammad Hafidz usai sidang pemeriksaan pendahuluan di Gedung MK, Rabu (30/9).

Pasal 171 UU Ketenagakerjaan menyebut pekerja/buruh yang di-PHK tanpa penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial seperti dimaksud Pasal 158 ayat (1), Pasal 160 ayat (3), dan Pasal 162 dan tidak dapat menerima PHK tersebut, dapat mengajukan gugatan ke lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial paling lama paling lama 1 tahun sejak tanggal dilakukan PHK. 

Sedangkan Pasal 82 UU PPHI menyebutkan gugatan oleh pekerja/buruh atas PHK seperti dimaksud Pasal 159 dan Pasal 171 UU Ketenagakerjaan dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu 1 tahun sejak diterima atau diberitahukannya keputusan (PHK) dari pihak pengusaha. 

Hafidz melanjutkan atas dasar itu, dirinya bersama sembilan buruh lain mengajukan uji materi dua pasal yang mengatur daluwarsa PHK itu. Dalam persidangan perdana ini, Anggota Majelis Panel Suhartoyo menyarankan agar kedua pasal itu jangan dihapus, tetapi dimaknai secara bersyarat yakni satu tahun sejak putusan pidana berkekuatan hukum baru pengusaha bisa mem-PHK. 

“Tetapi, kalau saran seperti itu pasal yang diuji jadi berbeda, menjadi pengujian Pasal 163 UU Ketenagakerjaan, sehingga permohonan ini harus dirumuskan ulang,” kata Hafidz dalam sidang pendahuluan ini diketuai Anwar Usman beranggotakan Suhartoyo dan Patrialis Akbar.       

Meski begitu, pihaknya tetap meminta MK membatalkan Pasal 171 UU Ketenagakerjaan dan Pasal 82 UU PPHI karena bertentangan dengan UUD 1945. “Jadi, kita minta PHK dengan alasan apapun tidak ada daluwarsa untuk mengajukan 

Sumber:
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt560ba2a1dff73/buruh-minta-mk-cabut-aturan-daluwarsa-phk

Tinjauan

PHK merupakan salah satu objek perselisihan hubungan industrial. Perselisihan PHK merupakan perselisihan yang ada sebagaimana konsekuensi dari ketidaksesuaian pendapat tentang cara pengakhiran hubungan kerja antara pemberi kerja dengan penerima kerja

pengajuan gugatan dengan objek PHK ke pengadilan hubungan industrial diatur dalam ketentuan sbb:

Pasal 82 UU No 2 Tahun 2004
Gugatan  oleh  pekerja/buruh  atas  pemutusan  hubungan  kerja  sebagaimana  dimaksud dalam Pasal 159 dan Pasal 171 Undang-undang nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu 1 (satu) tahun sejak diterimanya atau diberitahukannya keputusan dari pihak pengusaha.


Ps.159 UU No 13 Tahun 2013
Apabila pekerja/buruh tidak menerima pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 158 ayat (1), pekerja/buruh yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan ke lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

Pasal 171 UU No 13 Tahun 2013
 Pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 158 ayat (1), Pasal 160 ayat (3), dan Pasal 162, dan pekerja/buruh yang bersangkutan tidak dapat menerima pemutusan hubungan kerja tersebut, maka pekerja/oburuh dapat mengajukan gugatan ke lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak tanggal dilakukan pemutusan hubungan kerjanya.


Salam

A.F.Hasan S.H
HP: 081905057198
Email: a.f.hasanlawoffice@gmail.com
Pin BB: 74f84658